"Gun, Nin sudah tidak kuat. Nin mau nyusul Aki." bisiknya lirih.
"Tunggu, Nin. Jangan tinggalin Igun, Nin. Igun sama siapa lagi? Igun engga punya siapa-siapa, Nin..." jawabku terisak.
"Gun, jangan pernah berpikir kamu sebatang kara di dunia ini. Ada Alloh, Gun, Gusti Alloh. Nin tenang karena Alloh selalu menjaga kamu." suaranya bergetar diiringi air mata deras. Jarinya yang berkeriput menggenggam tanganku erat. Kalimah tauhid menjadi kalimat terakhirnya yang keluar dari bibir mungilnya.
"La ilaha illallah..." tertutup sudah mata teduh itu, selamanya.
"Eniiiiiinnnn!!! Ya Alloh... kenapa pedih takdirku?!!" jeritku terdengar sampai rumah-rumah tetangga. Mereka bergegas menenangkanku dan membantu penguburan Nin.
Nin. Tumpah air mataku jika mengingatnya. Namun, wasiat itu lah yang menguatkanku dalam mengarungi hidup. Sejatinya ada keajaiban Tuhan melalui kebaikan orang-orang yang kujumpai. Aku tidak pernah diabaikan dunia, selalu ada sahabat penyemangat, guru-dosen yang penyayang dan ibu kos yang pengertian. Namun, rasa sepi itu tetap ada mengiris luka yang menganga menyisakan pertanyaan;
Amah, kenapa kau tak pulang-pulang?
Lupa kah engkau denganku?
Aku anakmu, lelaki kecil berambut merah yang selalu mimisan ini sudah jadi pria dewasa yang matang. Kulitku pun sudah lebih cerah kena AC kantoran. Amah pasti sulit mengenalku sepintas. Tenang Amah, aku yang akan lebih dulu mengenalmu. Tenang, kita pasti akan bertemu! Tahun depan tabunganku cukup untuk mencarimu di negeri itu.
Sambil batinku berbicara, kulanjutkan menyeruput teh buatan mas Gino, OB paling rajin di kantor ini.
-- bersambung --