Dan bus semakin menjauh dari Nin yang melambai kepadaku sambil menangis.
---/---
Suatu hari saat pulang kuliah, ibu kost menghampiriku tergesa-gesa.
"Gun.. Kowe sudah lihat berita po? Ada TKW asal Indramayu mati disiksa, Gun! Namanya Saidah, puersis nama ibumu. Ya Allah Gusti, sing sabar yo le..."
Bagai tanpa tulang, seluruh tubuhku jatuh lunglai.
Setelah mencari informasi dengan jernih berpikir, kuputuskan untuk melihat jenazahnya. Sebagai laki-laki aku harus kuat. Setidaknya do'aku terkabul bahwa aku bisa bertemu ibuku kembali, walau mungkin tak bernyawa lagi.
"Silakan masuk, mas." ujar petugas.
Aroma formalin tajam menusuk hidung. Kakiku tiba-tiba kaku masuk ruangan sedingin kulkas. Setelah kami saling berhadapan, pelan-pelan dibuka kain putih itu. Aduh! Ku tak sanggup! Sebentar, tarik nafas dulu.
"Huffff....haaahhh..." Baiklah aku siap melihatnya dari dekat. Perlahan tersibak wajah biru dan data lengkap di sebelahnya.
"Ya Allah. Ini bukan Amah! Ini Saidah yang lain! Alhamdulillah!" jeritku dalam hati.
Namanya Ibu Saidah binti Saepulah. Aku tidak begitu mengenalnya karena ia tinggal di desa sebelah, namun aku kenal keluarganya. Ceu Kokom, adik bungsunya, menikah dengan guru ngaji di desaku. Tidak kusangka akhir hidup Ibu Saidah sangat naas. Tetapi, di sisi lain aku lega karena bukan Amah di posisi itu.
---/---
Tujuh tahun berlalu sejak peristiwa itu dan belum juga ada kabar dari ibuku. Aku pun bukan lagi mahasiswa. Sekarang statusku menjadi orang kantoran dengan penghasilan yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya. Sayangnya, Nin tidak sempat mencicip jerih payahku. Ia dipanggil ilahi tepat sehari aku wisuda. Dan aku masih ingat wasiat yang ia hembuskan di nafas terakhirnya.