"Mbak Ana meninggalkan Bapak seorang diri di rumah. Hingga kepleset di kamar mandi, Mbak." Katanya pelan. Degg... Bagai disambar petir di siang bolong. Aduh, Sungguh hal itu tidak mungkin terjadi. Saya tidak percaya. Pak Cipto pasti berbohong. Ia pasti berbohong. Saya tidak percaya hal itu. Kata-kata itu mengitari kepalanya. "Istirahatlah, Ana." Tiba-tiba teringat kata-kata Bapaknya. "Tolonglah kamu beristirahat, Ana. Sudah lama Bapak lihat kamu bekerja terlalu keras." Katanya pelan. Lelaki dengan rambut yang sudah memutih itu menatapnya resah. Hatinya tidak tenang. Berkali-kali Ana bolak-balik keluar kota menjadi pembicara di berbagai kampus.
Bapak khawatir akan terjadi sesuatu dengan dirinya. Kedua matanya layu melihat anak semata wayangnya pergi. Meninggalkannya seorang diri. "Ada apa, Bapak? Semua akan baik-baik saja, Kok." Katanya sambil bersiap-siap. Sudah cukup semuanya. Satu tas koper besar. Dan satu tas selempang untuk pertemuan nanti. Batin Ana dalam hati. "Sudahlah, Bapak. Wajahnya jangan muram seperti itu. Ana dua hari lagi sudah balik, Kok." Ucapnya terakhir kali kepada Ayahnya.
Bapak memperhatikan anak perempuannya semakin menjauh. Dia melihat kalender di dinding. Menatap dengan wajah sendu. Mungkin firasatnya benar. Akan terjadi sesuatu hal yang buruk. Dan hal itu terjadi dengan tepat. Tiga jam sebelumnya, Bapak sudah tergeletak tak berdaya. Di kamar mandi dekat ruang tamu. Tubuhnya terbaring ke arah samping. Tangan kanannya sambil memegang dada. Wajah Ana kaget. Dia berteriak memanggil Bapak berkali-kali. Meski ia sudah memanggil ambulans namun semuanya telah sia-sia.
Dalam perjalanan menuju rumah sakit, pihak medis tidak menemukan denyut nadi Bapak bergerak. Dan kedua matanya telah tertutup rapat seperti tertidur lelap. Namun dia tidak akan terbangun lagi. Ana tidak akan lagi melihat senyum sederhana Bapak mengembang setulus hati. Sejak hari itu ia menyesal. Ana selalu menyalahkan dirinya sendiri. Ini semua salahku. Semua salahku. Kata-katanya dalam hati. Namun yang paling memberatkan dirinya ketika Bapak meninggal di hari ulang tahunnya.
Sejak hari itu ia terus berkata Bapak masih hidup. Ana masih tidak percaya kalau Ana kini hidup seorang diri. Pikirannya berkecamuk kencang. Kalut dan resah.. Kepergian Ayahnya tak membuatnya berdiri tegak seperti dahulu. Penyesalan membawanya kepada imajinasi yang Ana buat sendiri. Maka ia mengurung diri dari lingkungan dan kawan-kawan.Â
Mereka berulang kali menghibur namun Ana masih tetap keras kepala. Terkadang suara pintu dan bisik-bisik orang dalam rumahnya adalah suara kawan dan kerabat yang berkunjung temaninya satu persatu.
"Tidak, Bapak jangan tinggalkan Ana!" Teriak Ana meraung di atas kuburan Bapak. "Maafkan Ana, Bapak! Ana minta maaf! Seharusnya saya tidak meninggalkan Bapak seorang diri!" Pak Cipto terdiam mendengar tangisan Ana. Wajahnya menunduk pilu. Dan bayangan matahari memayungi Ana dengan sinar yang menghangatkan.
 "Sudah Ya, Mbak. Tolong diikhlaskan kepergian Bapaknya Ana. Semuanya sudah suratan takdir dari Tuhan." Ia memperhatikan tubuh Ana yang kotor berpelukan di atas kuburan. Kotoran tanah dan bunga menempel pada bajunya.
Dia menangis kencang di atas pusara Bapaknya. Penyesalan yang terjadi selama ini, apakah mungkin dapat terulang kembali? "Sabar Ya, Mbak Ana. Tolong Istighfar." Ucapnya pelan. "Tolong direlakan ya, Mbak Ana." Katanya lagi. Ana berdiri pelan sambil sesenggukan. Ia berharap waktu bisa diputar kembali. Dan sekarang kedua kakinya berjalan menuju rumah. Seorang diri.
Ana kini sering terbangun malam, untuk melaksanakan sholat Tahajud. Dia tidak bisa mengembalikan waktu yang tidak mungkin di putar lagi. Pada malam yang sunyi, Ana terus merapal doa untuk almarhum Bapaknya. 3 bulan lamanya sejak kejadian tersebut. Semilir angin malam menari perlahan menyelimuti Ana di dalam kamar.Â
Dia membutuhkan bantuan dari-Nya untuk menjalani kehidupan sehari-hari. Kini penampilannya berbeda. Ada kerudung berwarna jingga membalut kepalanya untuk masa depan lebih baik. Serta busana lengan panjang menyelimuti tubuhnya.