Esok pagi hari, Ana terbangun seperti biasa. Dia sedang membuat secangkir teh panas dan menyiapkan sepiring potongan buah pir. "Selamat Pagi Bapak." Ucapnya sambil mengetuk pintu kamar. Namun tidak terdengar suara dari dalam kamarnya. Tangan kanannya berkali-kali mengetuk kamar. "Bapak .... Selamat Pagi, Bapak! ..." Kata Ana pelan.Â
Kok tidak ada suara balasan? Lalu Ana perlahan membuka pintu kamarnya. Wajahnya bingung. Kamar Bapak kosong. Ke mana dia pergi? Kedua langkahnya berlari ke sana kemari. Mencari Bapak di seluruh ruangan. "Bapak ... Bapak dimana!" Teriak Ana lantang.
Namun hening menemani Ana selama mencari Bapak. Apakah yang terjadi? Dia membuka pintu depan rumah, rambutnya yang panjang di kuncir kuda bergoyang kencang. Tidak ada! Suasana rumah terasa sunyi. Namun kedua matanya mencari tubuh Bapak di dalam rumah. Tidak ada. Aduh, ke mana Bapak pergi? Dia tidak menemukan tubuh Bapaknya.Â
Lalu Ana terus mencarinya ke ruangan lain. Berlarian kesana kemari. Dia tidak temukan juga Bapak di kamar. Â Wajahnya panik. Hatinya gusar. Bahkan ia tidak perdulikan dengan kedua kakinya yang kecapekan terus mencari Bapak. Selama ini mereka tinggal berdua. Lalu kemana Ayahnya berada? Selang beberapa menit Ana mendengar suara Bapak memanggil-manggil namanya.Â
Dia melihat tangan kanannya melambai kepada Ana. Tersenyum ramah seperti biasa. Ah, senyum itu kemanakah akan pergi? Bukankah sudah di rumah ini tujuan kita hidup bersama.
 "Ana kemarilah.. Ini Bapakmu." Suaranya. Itu suara Bapak. Dan aku selalu menyayanginya selama hidupku. "Ana minta maaf, Bapak! Tolong jangan pergi tinggalkan Ana!" Katanya pelan. Firasatnya tidak enak. Gelisah menyelimuti jiwanya. Ia mengikuti bayangan Bapak semakin menjauh ke arah cahaya itu. Suara Bapak berulang kali berkata sama," Ana, Bapak sayang kepadamu." Tiada berhenti.Â
Namun punggung Bapak pergi semakin menjauh darinya. Hatinya pilu. Jantungnya berdetak lamban karena ingin kembali seperti dahulu. Lalu perasaan apakah ini? Penyesalan apa yang telah terjadi dan tersimpan erat di dalam dadanya? Bayangan punggung Bapak berjalan semakin menjauh dan langkah kaki terdengar pelan. Kegelapan menenggelamkan tubuhnya. "Bapak mau kemana? Jangan tinggalkan, Ana!" Teriak Ana semakin kencang.
Tiba-tiba suara langkah kakinya berhenti. Ia berdiri di depan makam. Namun yang membuatnya tidak dapat dipercaya adalah nama Bapaknya tertera disitu. Muhammad Fikri Irawan. Lahir 11 Juni 1954. Meninggal Tanggal 08 Maret 2018. Lho, Sekarang bukankah bulan Desember? Berarti Bapak sudah meninggal 10 bulan yang lalu. Ana tidak percaya! Bukankah Bapak masih hidup? Kenapa ada kuburan atas nama Bapak disini? Pikiran-pikiran itu berkecamuk di dalam kepalanya. Dia berusaha memahami ini semua. Namun apakah ini benar terjadi? "Assalammualaikum, Mbak. Apa kabar Mbak Ana?" Katanya.
 Berdiri seseorang lelaki berumur senja. Ia kenakan Peci dan baju Koko. Sepertinya dia pengurus kuburan. "Mbak Ana lupa dengan saya? Saya Pak Cipto, Penjaga makam Bapak Fikri." Diperhatikannya bapak tersebut. Yang kenakan baju koko dan sarung. ada peci berwarna gelap dipakainya. Apakah mungkin? Tangan Ana menyentuh kepalanya sendiri. Dia merasakan kalau kepalanya pusing. Semua bergerak terlalu cepat. Bahkan dadanya terasa berat. Ada yang ganjil disini.
"Tidak mungkin! Saya tidak percaya kalau Bapak sudah meninggal." Ucapnya lagi. "Semua orang berkata kalau Bapak sudah meninggal. Hal itu tak mungkin terjadi. Selama ini saya selalu bersama dengan Bapak saya. " Katanya tegas. "Mbak Ana, Saya minta tolong istighfar ya. Tolong relakan Almarhum Bapak dengan ikhlas.Â
Apapun yang terjadi. Itu bukan kesalahan, Mbak Ana." Katanya lagi. "Kesalahan?" Katanya bingung. Â Kedua kakiku rasanya lemas. Kedua bola matanya mencari pembenaran. Apa yang sudah kulakukan hingga Bapak meninggal? Katanya dalam hati.