Kekisruhan soal impor beras yang digagas oleh Menteri Perdagangan telah melibatkan banyak pihak turut berpolemik. Dua kementerian lantas menjadi sorotan publik, baik Kementerian Pertanian maupun Perdagangan. Wapres Jusuf Kalla pun angkat bicara seolah-olah persoalan mencapai antiklimaks.
"Mungkin Menteri Perdagangan kurang mempelajari tentang aturan-aturan itu," ujar Kalla di Kantor Wakil Presiden RI, Jakarta, Selasa (16/1/2018) - Kompas.com
Kalla menegaskan bahwa tugas impor beras diatur dalam Pasal 3 ayat (2) huruf d Perpres Nomor 48/2016 dan diktum ketujuh angka 3 Inpres Nomor 5/2015. Peraturan tersebut mengintegrasikan kebijakan impor beras dan kewenangan Bulog untuk menjaga stabilitas harga.
Namun, Kalla tidak membantah keputusan impor bertujuan untuk mengatasi permasalahan lonjakan harga beras dan pasokan beras yang sedang menurun. Hal ini menguatkan pernyataan Mendag Enggartiasto Lukita kepada media.
"Berdasarkan arahan Bapak Wakil Presiden dalam Rakortas (Rapat Koordinasi Terbatas) pada tanggal 9 Januari 2018, impor beras dapat dilakukan jika Cadangan Beras Pemerintah atau stok beras Bulog di bawah 1 Juta ton," ungkapnya dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP), di Jakarta Kamis (18/1) - Merdeka.com
Dalam penelusuran terkait polemik impor beras yang menghangat sepekan lalu, terdapat lima pokok persoalan, yakni:
1. Kontroversi kewenangan impor yang melibatkan BUMN;
2. Perbedaan data yang dijadikan alasan bahwa impor perlu dilakukan antara Kementan dan Kemendag;
3. Keputusan impor yang mendekati masa panen raya;
4. Kelangkaan beras dan kenaikan harga;
5. Klaim swasembada beras oleh Menteri Pertanian
Kelima persoalan di atas bukanlah sebatas isu, tetapi fakta yang mengandung kejanggalan jika dihubungkan satu sama lain. Logika ilmiah saja tidak bisa menerima satu kesalahan dalil untuk menarik kesimpulan. Apalagi, putusan impor ini melingkupi setidaknya lima hal yang tidak sinkron. Dengan kata lain, pasti ada yang salah dan sifatnya fundamental atau tidak sekadar soal baik atau buruknya impor beras.
Pertama, paparan di atas telah menjawab mengenai kewenangan impor beras yang melibatkan Perum Bulog. Mendag sempat menunjuk satu BUMN, Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) guna melaksanakan tugas impor dan akhirnya dibatalkan. Pembatalan itu seyogyanya bisa menjawab isu miring tentang kemungkinan KKN yang melatarbelakangi keluarnya keputusan impor dari Mendag.
Kedua, Kementan lewat menterinya, Amran Sulaiman berulang kali menyebut produksi beras mengalami surplus bahkan setelah impor beras diputuskan. Ia sampaikan itu bertepatan panen raya yang dimulai dari Bojonegoro, Jawa Timur (Senin, 22/1). Akan tetapi, tidak demikian menurut Mendag. Rizal Ramli juga ikut berkomentar (Liputan6.com, 15/1),
"Dari dulu soal beras kan masalah puluhan tahun, data itu macam-macam, data BPS, data Kementan, data Kemendag, data Bulog. Kalau data Kementan cenderung berlebihan, maksudnya kadang-kadang terlalu tinggi. Dari jaman menteri pertanian dulu juga begitu, karena terkait dengan prestasi dia."
"Tapi data dari Kemendag, Bulog selalu kekurangan banyak, karena mereka motifnya mau impor. Dan sering ada permainan kalau impor, ada komisi US$ 20-US$ 30 per ton," katanya di Food Station Tjipinang, Jakarta
Menko Perekonomian, Darmin Nasution mengungkapkan pula perbedaan data itu. Maka, pemerintah mendorong BPS bekerjasama dengan BPPT agar membuat pendataan. Di sisi lain, Direktur Statistik Distribusi BPS, Anggoro Dwitjahyono menilai perbedaan data karena Kementan melihat dari sisi produksi dan Kemendag mengacu kenaikan harga beras yang terjadi di pasar.
Menanggapi komentar RR, apakah persoalan langsung disudahi dan semua orang bersikap permisif? Jika kata dia benar, semua dapat dibuktikan dengan metodologi statistik yang akurat dan data lapangan yang obyektif. Ini akan diurai di poin kelima.
Selanjutnya, poin ketiga sebagian berkaitan dengan poin pertama perihal kemungkinan spekulan yang mengambil peluang impor tatkala harga beras dalam negeri mengalami kenaikan. Wajar saja bila prasangka demikian muncul karena memang harga beras di negara tetangga (pengekspor beras) lebih murah dibandingkan di Indonesia. Kok, taraf kehidupan petani kita masih tetap tidak sejahtera, ya?
Keempat, Ombudsman sampai menegur Mentan supaya berhenti membangun opini yang menyimpulkan produksi beras surplus. Lembaga negara yang melayani pengaduan publik ini menemukan kenyataan yang berbeda di lapangan. Begitu pula, ungkap Ketua Koperasi Pasar Induk Cipinang, Zulkifli menuturkan pasokan beras medium sudah langka di pusat kulakan beras terbesar di Jakarta itu seperti dilansir Detik Finance.
Andai kelangkaan yang disertai kenaikan harga akibat ulah spekulan, sebenarnya bisa ditanggulangi. Pemerintah mengeluarkan kebijakan operasi pasar dan Bulog mengeluarkan stok beras untuk menurunkan harga. Apakah para mafia mampu menyaingi persediaan beras di pasaran dan milik pemerintah dalam kurun waktu lama? Tidak mungkin. Terbukti, cadangan beras Bulog masih ada sekitar 800 ribu ton. Mengapa Bulog menahan stok yang tersisa? Kecuali, ternyata terjadi kelangkaan dan tidak mampu menyerap beras dari petani.
BPS tidak korek-korek data lapangan sampai menjangkau ke desa-desa dimana kurang lebih Indonesia mempunyai enam provinsi penghasil beras yang 50% kuantitasnya disumbang dari Pulau Jawa. Data produksi beras hanya bersumber dari Kementan yang membawahi dinas pertanian di daerah. Unsur kedinasan melakukan pencatatan data, lalu disampaikan ke Kementan dan BPS untuk diolah. Berpijak atas olahan data tersebut, BPS membuat prediksi berupa Angka Ramalan.
Proses pencatatan yang rinci di lapangan dan memerlukan perhitungan akurat itulah merupakan pangkal kerawanan, entah kesalahan teknis atau human error termasuk manipulasi. Adapun remote sensing (penginderaan jauh) dengan bantuan GPS dan satelit niscaya memakan waktu lebih lama dan biaya terlampau besar. Apakah setiap kali habis panen berulang menggunakan satelit?
Maka, bagaimana Mentan bisa mengatakan produksi surplus di awal Januari tahun ini dan Indonesia berhasil swasembada beras? Kalau mau jujur, hanya Angka Ramalan (ARAM II) BPS yang patut dipakai meski tidak riil. Terlebih, memasuki kwartal IV 2017 banyak terjadi kegagalan panen padi. Saya harap pemerintah berhenti menyampaikan kebohongan publik. Tidak layak dan sepantasnya urusan perut dijadikan komoditi politik pencitraan. Selain menyangkut hajat hidup orang banyak, pertanian padi adalah sakral dalam tradisi masyarakat.
***
Senang hati ketika pulang ke kampung halaman, warga desa merawat sawah kami dengan sukarela. Hargailah tanah kelahiran yang turut membesarkanmu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H