BPS tidak korek-korek data lapangan sampai menjangkau ke desa-desa dimana kurang lebih Indonesia mempunyai enam provinsi penghasil beras yang 50% kuantitasnya disumbang dari Pulau Jawa. Data produksi beras hanya bersumber dari Kementan yang membawahi dinas pertanian di daerah. Unsur kedinasan melakukan pencatatan data, lalu disampaikan ke Kementan dan BPS untuk diolah. Berpijak atas olahan data tersebut, BPS membuat prediksi berupa Angka Ramalan.
Proses pencatatan yang rinci di lapangan dan memerlukan perhitungan akurat itulah merupakan pangkal kerawanan, entah kesalahan teknis atau human error termasuk manipulasi. Adapun remote sensing (penginderaan jauh) dengan bantuan GPS dan satelit niscaya memakan waktu lebih lama dan biaya terlampau besar. Apakah setiap kali habis panen berulang menggunakan satelit?
Maka, bagaimana Mentan bisa mengatakan produksi surplus di awal Januari tahun ini dan Indonesia berhasil swasembada beras? Kalau mau jujur, hanya Angka Ramalan (ARAM II) BPS yang patut dipakai meski tidak riil. Terlebih, memasuki kwartal IV 2017 banyak terjadi kegagalan panen padi. Saya harap pemerintah berhenti menyampaikan kebohongan publik. Tidak layak dan sepantasnya urusan perut dijadikan komoditi politik pencitraan. Selain menyangkut hajat hidup orang banyak, pertanian padi adalah sakral dalam tradisi masyarakat.
***
Senang hati ketika pulang ke kampung halaman, warga desa merawat sawah kami dengan sukarela. Hargailah tanah kelahiran yang turut membesarkanmu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H