Mohon tunggu...
Adhyatmoko
Adhyatmoko Mohon Tunggu... Lainnya - Warga

Profesional

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Sengkarut Impor dan Hoak Swasembada Beras

23 Januari 2018   00:31 Diperbarui: 23 Januari 2018   00:41 940
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman menghadiri panen raya 2018 di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur (Foto:Metrotvnews.com/Anggi Tondi Martaon)

Kelima persoalan di atas bukanlah sebatas isu, tetapi fakta yang mengandung kejanggalan jika dihubungkan satu sama lain. Logika ilmiah saja tidak bisa menerima satu kesalahan dalil untuk menarik kesimpulan. Apalagi, putusan impor ini melingkupi setidaknya lima hal yang tidak sinkron. Dengan kata lain, pasti ada yang salah dan sifatnya fundamental atau tidak sekadar soal baik atau buruknya impor beras.

Pertama, paparan di atas telah menjawab mengenai kewenangan impor beras yang melibatkan Perum Bulog. Mendag sempat menunjuk satu BUMN, Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) guna melaksanakan tugas impor dan akhirnya dibatalkan. Pembatalan itu seyogyanya bisa menjawab isu miring tentang kemungkinan KKN yang melatarbelakangi keluarnya keputusan impor dari Mendag.

Kedua, Kementan lewat menterinya, Amran Sulaiman berulang kali menyebut produksi beras mengalami surplus bahkan setelah impor beras diputuskan. Ia sampaikan itu bertepatan panen raya yang dimulai dari Bojonegoro, Jawa Timur (Senin, 22/1). Akan tetapi, tidak demikian menurut Mendag. Rizal Ramli juga ikut berkomentar (Liputan6.com, 15/1),

"Dari dulu soal beras kan masalah puluhan tahun, data itu macam-macam, data BPS, data Kementan, data Kemendag, data Bulog. Kalau data Kementan cenderung berlebihan, maksudnya kadang-kadang terlalu tinggi. Dari jaman menteri pertanian dulu juga begitu, karena terkait dengan prestasi dia."

"Tapi data dari Kemendag, Bulog selalu kekurangan banyak, karena mereka motifnya mau impor. Dan sering ada permainan kalau impor, ada komisi US$ 20-US$ 30 per ton," katanya di Food Station Tjipinang, Jakarta

Menko Perekonomian, Darmin Nasution mengungkapkan pula perbedaan data itu. Maka, pemerintah mendorong BPS bekerjasama dengan BPPT agar membuat pendataan. Di sisi lain, Direktur Statistik Distribusi BPS, Anggoro Dwitjahyono menilai perbedaan data karena Kementan melihat dari sisi produksi dan Kemendag mengacu kenaikan harga beras yang terjadi di pasar.

Menanggapi komentar RR, apakah persoalan langsung disudahi dan semua orang bersikap permisif? Jika kata dia benar, semua dapat dibuktikan dengan metodologi statistik yang akurat dan data lapangan yang obyektif. Ini akan diurai di poin kelima.

Selanjutnya, poin ketiga sebagian berkaitan dengan poin pertama perihal kemungkinan spekulan yang mengambil peluang impor tatkala harga beras dalam negeri mengalami kenaikan. Wajar saja bila prasangka demikian muncul karena memang harga beras di negara tetangga (pengekspor beras) lebih murah dibandingkan di Indonesia. Kok, taraf kehidupan petani kita masih tetap tidak sejahtera, ya?

Keempat, Ombudsman sampai menegur Mentan supaya berhenti membangun opini yang menyimpulkan produksi beras surplus. Lembaga negara yang melayani pengaduan publik ini menemukan kenyataan yang berbeda di lapangan. Begitu pula, ungkap Ketua Koperasi Pasar Induk Cipinang, Zulkifli menuturkan pasokan beras medium sudah langka di pusat kulakan beras terbesar di Jakarta itu seperti dilansir Detik Finance.

Andai kelangkaan yang disertai kenaikan harga akibat ulah spekulan, sebenarnya bisa ditanggulangi. Pemerintah mengeluarkan kebijakan operasi pasar dan Bulog mengeluarkan stok beras untuk menurunkan harga. Apakah para mafia mampu menyaingi persediaan beras di pasaran dan milik pemerintah dalam kurun waktu lama? Tidak mungkin. Terbukti, cadangan beras Bulog masih ada sekitar 800 ribu ton. Mengapa Bulog menahan stok yang tersisa? Kecuali, ternyata terjadi kelangkaan dan tidak mampu menyerap beras dari petani.

img-20180123-000914-5a661d9d5e137349d7566cb4.jpg
img-20180123-000914-5a661d9d5e137349d7566cb4.jpg
Kelima. Apa parameter yang digunakan untuk mengumbar klaim bahwa kini di era pemerintahan Jokowi telah berswasembada beras? Misal impor acuannya, BPS membocorkan data impor pula di tahun-tahun terdahulu. Pemerintah harus mengakui bahwa tidak memiliki data obyektif sehubungan produktivitas pertanian padi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun