Kelima persoalan di atas bukanlah sebatas isu, tetapi fakta yang mengandung kejanggalan jika dihubungkan satu sama lain. Logika ilmiah saja tidak bisa menerima satu kesalahan dalil untuk menarik kesimpulan. Apalagi, putusan impor ini melingkupi setidaknya lima hal yang tidak sinkron. Dengan kata lain, pasti ada yang salah dan sifatnya fundamental atau tidak sekadar soal baik atau buruknya impor beras.
Pertama, paparan di atas telah menjawab mengenai kewenangan impor beras yang melibatkan Perum Bulog. Mendag sempat menunjuk satu BUMN, Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) guna melaksanakan tugas impor dan akhirnya dibatalkan. Pembatalan itu seyogyanya bisa menjawab isu miring tentang kemungkinan KKN yang melatarbelakangi keluarnya keputusan impor dari Mendag.
Kedua, Kementan lewat menterinya, Amran Sulaiman berulang kali menyebut produksi beras mengalami surplus bahkan setelah impor beras diputuskan. Ia sampaikan itu bertepatan panen raya yang dimulai dari Bojonegoro, Jawa Timur (Senin, 22/1). Akan tetapi, tidak demikian menurut Mendag. Rizal Ramli juga ikut berkomentar (Liputan6.com, 15/1),
"Dari dulu soal beras kan masalah puluhan tahun, data itu macam-macam, data BPS, data Kementan, data Kemendag, data Bulog. Kalau data Kementan cenderung berlebihan, maksudnya kadang-kadang terlalu tinggi. Dari jaman menteri pertanian dulu juga begitu, karena terkait dengan prestasi dia."
"Tapi data dari Kemendag, Bulog selalu kekurangan banyak, karena mereka motifnya mau impor. Dan sering ada permainan kalau impor, ada komisi US$ 20-US$ 30 per ton," katanya di Food Station Tjipinang, Jakarta
Menko Perekonomian, Darmin Nasution mengungkapkan pula perbedaan data itu. Maka, pemerintah mendorong BPS bekerjasama dengan BPPT agar membuat pendataan. Di sisi lain, Direktur Statistik Distribusi BPS, Anggoro Dwitjahyono menilai perbedaan data karena Kementan melihat dari sisi produksi dan Kemendag mengacu kenaikan harga beras yang terjadi di pasar.
Menanggapi komentar RR, apakah persoalan langsung disudahi dan semua orang bersikap permisif? Jika kata dia benar, semua dapat dibuktikan dengan metodologi statistik yang akurat dan data lapangan yang obyektif. Ini akan diurai di poin kelima.
Selanjutnya, poin ketiga sebagian berkaitan dengan poin pertama perihal kemungkinan spekulan yang mengambil peluang impor tatkala harga beras dalam negeri mengalami kenaikan. Wajar saja bila prasangka demikian muncul karena memang harga beras di negara tetangga (pengekspor beras) lebih murah dibandingkan di Indonesia. Kok, taraf kehidupan petani kita masih tetap tidak sejahtera, ya?
Keempat, Ombudsman sampai menegur Mentan supaya berhenti membangun opini yang menyimpulkan produksi beras surplus. Lembaga negara yang melayani pengaduan publik ini menemukan kenyataan yang berbeda di lapangan. Begitu pula, ungkap Ketua Koperasi Pasar Induk Cipinang, Zulkifli menuturkan pasokan beras medium sudah langka di pusat kulakan beras terbesar di Jakarta itu seperti dilansir Detik Finance.
Andai kelangkaan yang disertai kenaikan harga akibat ulah spekulan, sebenarnya bisa ditanggulangi. Pemerintah mengeluarkan kebijakan operasi pasar dan Bulog mengeluarkan stok beras untuk menurunkan harga. Apakah para mafia mampu menyaingi persediaan beras di pasaran dan milik pemerintah dalam kurun waktu lama? Tidak mungkin. Terbukti, cadangan beras Bulog masih ada sekitar 800 ribu ton. Mengapa Bulog menahan stok yang tersisa? Kecuali, ternyata terjadi kelangkaan dan tidak mampu menyerap beras dari petani.