(Ilustrasi/dok. Sindonews)
Ketika presiden singgung kerugian negara, KPK bisa saja bergeming. Berbeda halnya jika BPK berbicara, lembaga apapun di republik ini wajib menindaklanjutinya. Pencitraan buruk yang akhir-akhir ini santer dihembuskan ke BPK tak menjadi aral terjal bagi pengusutan kasus Sumber Waras. Suka atau tidak suka, pekerjaan auditor negara itu digaransi oleh konstitusi pada Bab VIII A UUD 1945 tentang Badan Pemeriksa Keuangan.
Pasal 23E
(1) Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri.
(2) Hasil pemeriksaan keuangan negara diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sesuai dengan kewenangannya.
(3) Hasil pemeriksaan tersebut ditindaklanjuti oleh lembaga perwakilan dan/atau badan sesuai dengan undang-undang.
Untuk pencegahan dan pemberantasan korupsi, KPK dibentuk sebagai lembaga ad hoc yang mensupervisi dan mengoordinasikan kepolisian dan kejaksaan. Belum pernah terjadi penanganan kasus korupsi yang ditangani oleh penyidik KPK dilimpahkan ke lembaga penegak hukum lainnya. Perkara Komjen Pol. Budi Gunawan pun tidak bisa diartikan kandas dan beralih di tangan Bareskrim Polri. KPK sebelumnya menyerahkan berkas perkara BG ke kejagung, lalu kejagung melimpahkannya ke Bareskrim.
Gugatan Praperadilan BG layak dijadikan studi kasus mengenai keberlangsungan kasus Sumber Waras. Ia menggugat penetapan status tersangka atas dirinya. KPK tidak menunjukkan alat-alat bukti penyidikan dan hakim tunggal memutuskan penetapan status tersangka itu tidak sah secara kontroversial. Kendati demikian, KPK dapat kembali menyidik BG dengan pembenahan prosedur formil penyidikan sesuai KUHAP.
Selanjutnya, KPK tinggal mencari bukti permulaan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 14 KUHAP yang berbunyi,
“Tersangka adalah seseorang yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.”
KUHAP tidak membatasi jumlah minimum bukti permulaan. Asalkan kuat dan dirasakan cukup oleh penyidik, status tersangka bisa dikenakan. Lantas, berapa banyak alat bukti yang sekiranya ditemukan dari kasus Sumber Waras? Wuihh, bejibun! Saksi yang telah dipanggil saja sudah 50 orang, belum terhitung para ahli yang diagendakan KPK untuk dimintai keterangan.
Namun, komisioner KPK menyatakan pihaknya akan mengumumkan ada tidaknya korupsi dalam kasus Sumber Waras. Apakah itu berarti KPK melancangi audit investigatif BPK? Lips service biasa atuh karena saking banyak wartawan yang tak sabar menanti. Desakan publik? Bisa jadi, tapi KPK jelas berhati-hati. Di samping menganut asas akuntabilitas dan kepastian hukum, KPK menghindar dari politisasi kasus jelang Pilkada DKI 2017.
BPK telah melemparkan bola panas ke KPK dan begitu pula penyidik tetap men-dribble bola. Kehati-hatian KPK merupakan bagian dari pertanggungjawaban KPK akan pengaduan masyarakat dan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK Jakarta yang disusul dengan audit investigatif dari BPK Pusat pada tahun 2015. Perlu dicatat! LHP BPK bersifat final dan berkekuatan hukum mengikat serta mewajibkan untuk ditindaklanjuti.
Apabila tidak ditindaklanjuti, pejabat akan dikenakan saksi administratif dan pidana berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (5) dan Pasal 26 ayat (2) UU No. 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Oleh karena itu, Pansus LHP BPK di DPRD DKI mempunyai alasan kuat dengan membawa laporan tersebut ke KPK meskipun gubernur bereaksi keras dan mencelanya.
“Kalau DPRD bawa ke sana (lapor KPK) apa enggak lucu? Makanya, saya bilang ini cuma gaya politik saja,” kata Basuki di Balai Kota, Sabtu (31/10/2015) -Kompas.com
Faktanya, gubernur juga diperiksa oleh KPK (12/4). Apa kemudian dia ikutan melucu? Hehe.. Tidak sembarangan KPK meminta audit investigatif dari BPK karena mengetahui laporan pemeriksaan bersifat final and binding.
Pasal 13 UU No. 15 tahun 2004
Pemeriksa (BPK) dapat melaksanakan pemeriksaan investigatif guna mengungkap adanya indikasi kerugian negara/daerah dan/atau unsur pidana.
Pasal 14 ayat (1)
Apabila dalam pemeriksan ditemukan unsur pidana, BPK segera melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kedua pasal di atas menunjukkan bahwa BPK memiliki kapasitas untuk mengungkap temuan pelanggaran pidana melalui kegiatan pemeriksaan. Dan, audit investigatif mengandung metodologi yang menerapkan uji forensik terhadap materi pemeriksaan sampai diperoleh bukti-bukti kecurangan/penyimpangan.
Mungkinkah penyimpangan yang didapati dalam pembelian lahan Sumber Waras sebatas administratif dan perdata? KPK tidak bertugas menghitung kerugian negara dan kepastian besaran kerugian akan ditentukan dalam persidangan. Lembaga antiarasuah itu menyisir tindak pidana korupsi yang terungkap dalam laporan pemeriksaan BPK.
Setidaknya dua unsur pidana korupsi secara materiil ditengarai, yakni kerugian negara sekurang-kurangnya 173 milyar dan menguntungkan pihak lain/penjual lahan. KPK hanya perlu memenuhi aspek formil berupa perbuatan melawan hukum karena kesalahan atau kelalaian atau penyalahgunaan wewenang.
Pembelian lahan Sumber Waras tidak semata-mata urusan perdata dari segi horisontal antara penjual dan pembeli. Pemerintah dalam hal ini Pemprov DKI adalah badan hukum publik yang memiliki kewenangan (hubungan vertikal) untuk mengatur dan menguasai tanah. Kewenangan itu diberikan oleh negara dalam pasal 2 UU No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria yang diturunkan dari Pasal 33 UUD 1945. Selain itu, UU No. 2 tahun 2012 memberikan kewenangan bagi pemda dalam rangka pengadaan tanah demi kepentingan umum. Jika ternyata pengadaan tanah oleh Pemprov DKI menimbulkan kerugian negara, apakah itu tidak akibat dari kesalahan, kelalaian, atau penyalahgunaan wewenang?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H