Mohon tunggu...
Ahmad MA
Ahmad MA Mohon Tunggu... -

blogger yg jarang update | traveller kere | jazz | senja | fotografer dadakan | google wannabe | Blogger Anging Mammiri Makassar | dari timur indonesia | www.bebmen.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Putu Cangkir dan Pengalaman Hidup Sang Pembuatnya

10 Oktober 2009   11:56 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:37 645
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Menjelang senja badan begitu letih dengan semua aktifitas kantor yang membuat kepala seras mendidih. Terdengar deringan hanphone yang terletak diatas meja. Saya pun menggapai dan melihat pada layar siapa gerangan yang menelpon. Tidak tahunya telpon tersebut beralamat ibu saya dirumah.


Me : Hallo .........

My Mom : heluuuu kakak jam berapa balik


Huahahahaha ternyata bukan ibu saya yang memiliki keperluan. Tidak lain dan tidak bukan seorang pendekar kecil yang berumur 6 tahun yakni adik saya yang bernama andhika.


Me : kenapa dek ??? sebentar lagi kakak balik

My Mom : mmmm.......... bisa pesan enggak ?

Me : pesan apa tuh ?

My Mom : beliin kue di daya dong

Me : Siap akan dilaksanakan komandan. Emank adek mau kue apa ???

My Mom : Putu Cangkir kak. Beli yang banyak yah !!!!

Me : iya nanti pulang kantor kakak singgah beliin


Telpon pun ditutup


Tumben juga tuh si pendekar kecil minta yang aneh-aneh. Biasanya juga kalau minta sesuatu paling hamburger. Memang si pendekar kecil saya itu paling doyan yang namanya hamburger. Ketika kita melihat dia memakan hamburger begitu tanpa ampun huahahahaha sadissssss cing


Mungkin sobat-sobat belum pada tau yah Putu Cangkir itu seperti apa ????

Putu cangkir adalah makanan khas di daerah saya. Kue yang berbahan dasar tepung beras dan tepung beras ketan serta isi dalamnya di penuhi dengan kelapa parut Yang dicetak dengan alas cangkir makanya orang-orang sering menyebutnya putu cangkir


Setalah beberapa menit kemudian saya bergegas balik kerumah untuk mengistirahatkan otak yang telah di kuras dengan laporan-laporan kantor. Sesampai di area daya mata saya tidak henti-hentinya menoleh kiri dan kanan untuk mencari posisi penjual putu cangkir yang di maksud sang Pendekar kecil.


Telah mendekati perepatan dekat lampu merah, mata saya tertuju pada sebuah gerobak dagang yang ada dipinggir jalan dengan tertuliskan PUTU CANGKIR. *Hufff akhirnya dapat juga. Begitu banyak orang yang mengantri untuk membeli kue tradisional ini setelah memarkir kendaraan saya pun ikut dalam kerumunan orang dan menyaksikan pembuatan putu cangkir ini.


Saya terhenya melihat sang pembuat putu cangkir ini. Begitu telaten dan sangat cepat tangannya membuat satu demi satu kue tradisional itu. Si penjual bernama Daeng Tayang Warga daya usiangnya sekitar 45 tahun beliau hidup dengan 3 anak dan suaminya sudah meninggal 5 tahun yang lalu akibat sakit keras. Pada saat menuggu buatannya matang di tempat pengukusan dia sibuk dengan memasukkan bahan-bahan yang sudah di olah kedalam cetakan yang telah dia sediakan. Tidak lama berselang saya pun memberanikan diri menanya daeng Tayang sambil menunggu kue pesanan saya.


Me : daeng sudah berapa lama jualan putu cangkir ?

Daeng Tayang : wahhh sudah hampir tiga tahun saya jualan putu cangkir nak. Sebelumnya ibu jualannya di area tol

Me : wahhh udah lama yah. Kelihatannya pelanggan ibu banyak *sambil tersenyum

Daeng Tayang : yah alhamdulilah nak banyak pelanggan ibu yang lama masih juga datang membeli.

Me : sepertinya saya harus mencoba putu cangkir ibu sepertinya putu cangkir ibu ini enak. Buktinya masih banyak pelanggan ibu yang masih setia dengan putu cangkir ibu

Daeng Tayang : yah alhamdulillah mereka-merekalah yang membantu ibu. ibu hanya bisa membuat kue dan mereka membantunya dengan membeli kue buatan ibu. karena hanya ini yang bisa menyekolahkan anak ibu.

Me : ohh iya bu saya tambah pesenan saya jadikan doble orderan


Mendengar percakapan saya dengan daeng tayang begitu giat beliau membanting tulang dengan bermodalkan keahliannya membuat PUTU CANGKIR hingga dapat memberikan makan keluarganya dan menyekolahkan anaknya begitu gigih ia dalam menjalani hidup yang penuh dengan cobaan ini.


Setelah pesanan saya selesai saya pun bergegas pulang dengan membawah sebungkus PUTU CANGKIR dan selembar pengalaman hidup yang saya dapatkan dari Daeng Tayang

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun