“I’ll confess, tapi jangan ketawa ya?”
Kalau menurut, bukan Tirta namanya. Pemuda itu malah sengaja tertawa untuk menggoda Naora. Ekspresi Naora mengeras, menekankan keseriusannya, membuat Tirta terdiam dibuatnya.
“Aku…” belum sempat Naora mengungkapkan perasaannya, Ano sudah berdiri di samping mereka, menyapa Tirta.
“Halo, brother! Aku senang kamu datang juga!” Ano memeluk Tirta, memberikan sambutan selamat datangnya.
“Iyalah. Kalau tidak datang, Keila bisa membunuhku.” lalu keduanya tertawa. Naora tercengang melihat keduanya berangkulan, layaknya sudah lama saling kenal.
“Wait! Ano kenal Tirta? Bagaimana bisa?” Naora tahu, Tirta dan Ano tidak ada hubungan saudara. Lalu bagaimana keduanya bisa saling mengenal? Sejak kapan?
Ano dan Tirta saling berpandangan, melempar tanggung jawab siapa yang harus menjelaskan. Akhirnya Ano mulai berbicara,
“Nao, maaf aku tidak berniat merahasiakannya.” Naora terdiam, tidak mempunyai pandangan apa yang sudah dirahasiakan Ano darinya.
“Kamu ingat, aku pernah cerita kalau sempat ikut pertukaran pelajar ke Amerika? Di sana, aku tinggal bersama keluarga Tirta. Waktu itu, aku pernah tidak sengaja membuat Tirta menghubungi salah satu teman Indonesia-nya, dan ternyata itu nomormu.”
Ah, jadi Tirta memang tidak sengaja menghubungiku?batin Naora.
“Maaf, waktu itu aku tidak tahu hubungan kalian apa. Setelah Tirta menceritakannya, aku merasa bersalah, karena sudah membuatmu kembali terjebak dengan masa lalu. Karena itu, setelah pulang ke Indonesia, aku bertekad untuk membantumu melupakannya.”