Sudah 4 tahun sejak kepindahan Tirta ke Amerika, di tahun pertama mereka kuliah. Saat itu, mereka memang sudah berpisah dan Tirta sedang dekat dengan Keila. Ahh, kenapa aku malah mengingatnya? maki Naora dalam hati.
“Baik. Kamu bagaimana?” Naora mencoba kembali menguasai dirinya.
“Baik juga. Kamu datang sendiri saja nih? Mana cowoknya?” Tirta sengaja menggoda Naora.
“Sengaja ya?” jawab Naora ketus, pura-pura membuang muka, dan berhasil mengundang gelak tawa Tirta.
“Yaelah, gitu saja marah. Ke sana yuk? Biar lebih enak ngobrolnya. Kita kan sudah lama tidak ngobrol-ngobrol. I miss you, baby.”
Deg. Naora tahu, kata-kata itu tidak berarti apa-apa untuk Tirta, tapi sayangnya berhasil membentur dinding pertahanan hatinya cukup keras dan meretakkannya. Detik berikutnya setiap kali Tirta bicara, Keila tidak sanggup lagi menutupi perasaan, kalau jauh di lubuk hatinya, Tirta-lah yang masih berkuasa.
Terlebih saat Tirta menceritakan kalau dirinya juga sedang sendiri, sedang tidak punya kekasih, hati kecil Naora menjerit bahagia, saat itu juga ingin meluapkan perasaannya.
“Tapi sumpah, kamu tidak banyak berubah!” Tirta mengulang kata-katanya.
“Gak cuma penampilan kok yang gak berubah. Naora tetap sama.” Naora membekap mulut dengan tangannya, sungguh dia tidak bermaksud mengatakannya.
“Maksudnya?”
Sudah kepalang kalau Naora mengurungkannya. Siapa tahu kalau ini memang kesempatannya? Setelah menimbang-nimbang, Naora memutuskan untuk melanjutkan pengakuannya.