Bismillahirrohmaanirrohiim
Ini 3 Ustadz yang Menangis
“Jika kalian berdua mencapai Masjidil Haram, beritahukanlah kepada Allah akan kerinduanku..," nafasnya mulai sesenggukan saat membacakan kalimat ini.
Ia berhenti sejenak, lalu mengulang kembali, “Jika kalian berdua mencapai Masjidil Haram, beritahukanlah kepada Allah akan kerinduanku berjumpa dengan-Nya. Mintalah kalian berdua kepada-Nya agar mengumpulkan Saya dan Ibuku bersama Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam,” tak kuasa ia melepaskan tangisan pada kalimat akhir ini. Nafasnya naik turun. Beliau tersedu-sedu.
Seluruh jamaah saat itu yang mendengarkan kisah ini, hampir tak ada yang tak menumpahkan air mata. Yah, itulah sosok al-Ustadz Dzulqarnain hafizhohulloh yang membacakan kisah perjalanan Syaikh Utsman Dabu rohimahulloh bersama 4 sahabatnya untuk berhaji dengan berjalan kaki. Yang mana, 3 orang dari mereka harus meninggal dalam perjalanan. Dan sebelum meninggalnya, ada yang memberikan wasiat kepada sahabatnya yang masih hidup. Kalimat di ataslah yang merupakan isi wasiat tersebut.
Beberapa pekan lalu, atau sebut saja momentum Idul Adha di Makassar, sungguh para asatidz memberikan pelajaran-pelajaran hikmah dan bernuansa sedih. Bayangkan saja, hari Jum'at (8 Dzulhijjah 1435 H), Ustadz Dzulqarnain dalam khutbahnya, beliau menangis mengisahkan kisah Syaikh Utsman Dabu.
Di tempat lain, di Masjid Nurul Bahri Makassar saat Idul Adha hari Ahad (10 Dzulhijjah 1435 H), Ustadz Khidir hafizhohulloh pun menangis dalam khutbahnya ketika memaparkan makna-makna ketakwaan.
Beberapa kilo dari Makassar, di Lapangan UD Sinar Alam Gowa tempat pelaksanaan sholat Idul Adha, Ustadz Sunusi Daris membuat para jamaah bersedih dalam khutbah beliau. Lantaran beliau memaparkan pelajaran berbakti pada orangtua dalam kisah Nabi Ibrohim alayhi salam.
Na'am, ini pelajaran mahal buat kita saat ini. Bahwa tangisan itu bukanlah tanda kelemahan, kekurangan, dan kepayahan. Namun, tangisan ialah tanda baik bagi seorang muslim yang mendengarkan kebaikan, teguran, dan nasehat. Mudah-mudahan itu merupakan sarana perubahan bagi yang mendengarkannya.
Lihatlah ini, sosok-sosok ustadz di atas, mereka pun menangis. Padahal kalau kita mau berfikir, mana mungkin ustadz menangis?
Inilah kewajaran. Inilah teladan bagi siapa yang mau memetik hikmah. Bahwa setiap orang berilmu, pasti punya hati yang lembut.
Alloh azza wa jalla berfirman, (artinya),
“Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila Al-Qur’an dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud, dan mereka berkata: “Maha Suci Tuhan kami; sesungguhnya janji Tuhan kami pasti dipenuhi.” Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu’. ”
(Al-Isra: 107-109)
Abdul-’Ala At-Taimi berkata,
“Barang siapa yang memiliki ilmu dan tidak bisa membuatnya menangis maka patut dikatakan ia telah mendapatkan ilmu yang tidak bermanfaat baginya."
Bandingkan diri-diri kita ini. Kadang kita membaca kisah hikmah, tak membuat hati kita bergemuruh. Kadang kita membaca ayat dan hadits, sepertinya hanya sekedar rutinitas, tak sampai masuk ke dalam hati. Astagfirulloh...
Mungkin lantaran kita sibuk dengan dunia, sehingga tak ada lagi kepekaan hati. Mungkin dengan banyaknya persiasan dunia yang kita perebutkan, sehingga berkah ilmu tak didapati.
Sungguh, ada baiknya kita menginsyafi perilaku kita saat ini. Siapa tahu ada yang salah. Mari kita merefleksi niat dan amalan, siapa tahu ada yang keliru.
Semoga Alloh azza wa jalla memberikan keteguhan di atas ilmu para ustadz kita dan semoga Alloh azza wa jalla mengaruniakan taufik kepada kita semua....[]
--Minasa Upa, Dzulhijjah 1435 H
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H