Anta sattarul masaawi wa muqlul 'atssarti
Engkau maha penutup aib-aib, dan pemaaf atas kesalahan-kesalahan.
'Aalimus sirri wa akhf mustajiibud da'awti
Engkau maha tahu yang samar dan tersembunyi, yang mengabulkan doa-doa.
Rabbi, farhamn jamii'a bijamii'is shlihaati
Y Tuhanku, kasihilah kami semua dengan seluruh kebaikan-kebaikan.
Â
Itulah Shalawat Mahalul Qiyam yang dilantunkan oleh grup Hadrah "Dengarkanlah Suara Kami" (DSK) terdengar dan diselenggarakan oleh takmir masjid Guyub Salawase. Peringatan Maulid Nabi Muhammad tahun ini menandai berakhirnya pandemi covid-19 yang berlangsung selama dua tahun. Tumbulanang yang baru kali ini diundang tidak pernah mengerti apa yang dinamakan Mahalul Qiyam. Ya baru kali ini ia bisa menyaksikan dari dekat. Kalau bukan kepala desa yang mengundang, niscaya ia tidak akan hadir. Mendingan mencari ikan dengan suluh mengumpulkan bekicot. Menelusuri malam dan kebun-kebun liar. Atau ia baru sadar bahwa ia jadi bagian paling kecil dari pembangunan masjid berarsitek megah. Ia jadi kenek tukang batu. Acara shalawatan menggelegar menggetarkan kaca-kaca jendela dan pintu masjid. Hadirin tidak bisa bicara satu sama lain. Semua berdiri untuk menghormati Rasul Pilihan Allah. Merasa bangga sebagai undangan, namun sekaligus ia merasa berat menghadiri karena ia tidak biasa berlama-lama mengikuti acara. Beruntung ia berada di posisi paling belakang. Tidak mungkin orang-orang memperhatikannya.
Entah tiba-tiba ia dibangunkan dari kantuk beratnya. Hadirin sudah pada bubar. Yang tadinya kini serambi masjid jadi lengang. Kepala desa dan perangkat sudah tidak tampak. Begitupun para tokoh masyarakat dan tokoh agama sudah berlalu.
"Bangun, Nang, ini sudah pukul 23.00," Tumbulanang dibangunkan oleh Sontama tukang soundsystem dari desa sebelah yang lagi mengemasi perlengkapan pelantang suara.
Ia tidak menyesal, meski ia tidak bisa menikmati acara. Meski juga ia tidak pernah paham acara mahalul qiyam. Ia pun tidak tahu apakah tahun depan bisa hadir dan diundang lagi.