Islam adalah agama yang didirikan oleh Nabi Muhammad pada abad ke-7 di kota Mekkah, Arab Saudi. Agama ini memiliki prinsip utama yang dikenal sebagai kelima rukun Islam, yaitu syahadat (pengakuan bahwa hanya ada satu Tuhan), shalat (sembahyang lima kali sehari), zakat (sumbangan wajib bagi orang-orang yang mampu), puasa (menahan diri dari makan dan minum dari fajar hingga maghrib selama bulan Ramadan), dan haji (perjalanan ke kota suci Mekkah sekali dalam seumur hidup bagi orang-orang yang mampu). Menurut pengajaran Islam, tujuan hidup manusia adalah untuk menyembah Allah dan memperbaiki diri sendiri serta masyarakat sekitarnya. Islam juga mengajarkan keadilan sosial, toleransi, dan penghormatan terhadap orang lain, termasuk mereka yang berbeda agama atau keyakinan.Â
Sumber ajaran utama Islam adalah Al-Qur'an, kitab suci yang dianggap sebagai wahyu dari Allah SWT yang diterima oleh Nabi Muhammad. Hadis atau riwayat hidup Nabi Muhammad juga menjadi sumber penting dalam pemahaman Islam. Hadis mengandung catatan tentang perkataan, perbuatan, dan ajaran Nabi Muhammad, dan dianggap sebagai contoh perilaku yang harus diikuti oleh umat Muslim. Islam juga memiliki banyak praktik ibadah lainnya, seperti membaca Al-Qur'an, berdoa, bersedekah, dan memperlihatkan kasih sayang kepada orang lain.Â
Secara keseluruhan, Islam menekankan pentingnya kepatuhan kepada Allah SWT, pengabdian kepada sesama manusia, serta memperbaiki diri sendiri agar menjadi pribadi yang lebih baik. Sepanjang sejarah, Islam telah berkembang tidak hanya sebagai agama tetapi juga sebagai budaya. Islam pertama kali muncul sebagai agama di Mekkah, kemudian berkembang menjadi negara di Madinah, kemudian menjadi kekuatan politik internasional yang luas dengan wilayah-wilayah baru di Damaskus, dan berkembang menjadi budaya bahkan peradaban yang berpengaruh besar di Baghdad (Nasution, 1986a).Â
Kemudian Al-Qur'an dan hadits Nabi yang merupakan dasar agama Islam yang banyak mengandung pembicaraan tentang wujud Allah, keagungan, dan ke-Esa-an-Nya. Akan tetapi, gaya bahasanya lebih bersifat percakapan yang memberikan nasihat dan petunjuk daripada penjelasan ilmiah, sehingga kita tidak dapat mengatakan bahwa Al-Qur'an dan hadits memuat uraian yang teratur dan sistematis tentang masalah-masalah keimanan serta merupakan implementasi yang utuh dan menyeluruh serta mencakup ilmu tauhid (teologi Islam). Teologi sebagai ilmu yang bersangkutan dengan pertanyaan tentang Tuhan dan kewajiban manusia kepada Tuhan, menggunakan akal dan wahyu untuk memperoleh pengetahuan. Akal sebagai kekuatan pikiran yang menguasai manusia, berusaha keras untuk mencapai pengetahuan tentang Tuhan. Wahyu sebagai pesan dari dimensi metafisik datang kepada manusia dengan pengetahuan tentang Tuhan dan kewajiban manusia kepada Tuhan.Â
Konsep ini dapat dijelaskan bahwa Tuhan berada di puncak alam semesta dan manusia di kakinya dengan akalnya berusaha untuk mencapai Tuhan, dan Tuhan sendiri, karena belas kasih atas kelemahan manusia dibandingkan dengan Tuhan Yang Maha Esa, membantu manusia dengan memberikan wahyu yang dikirim melalui nabi dan rasul (Nasution, 1986b).Â
Dengan akal yang diberikan oleh Allah SWT, manusia harus mengembangkannya dengan mencari ilmu. Al-Qur'an yang diturunkan Allah SWT kepada Rasulullah SAW tidak hanya diperintahkan untuk dibaca sesuai dengan wahyu yang pertama, tetapi mengandung maksud-maksud lain, yaitu keinginan seluruh umat-Nya untuk membaca, mengkaji, meneliti dan mendalami segala sesuatu yang ada di dalam alam semesta ini. Aktivitas itu dapat dilakukan dengan tujuan untuk mengambil manfaat untuk kehidupan manusia guna mengantisipasi tantangan-tantangan hidup manusia yang dapat diterapkan dalam segala aspek kehidupan.Â
Mempelajari Al-Quran dan As-Sunnah bukan berarti mengabaikan ilmu pengetahuan, karena di dalam Al-Quran dan As-Sunnah banyak penjelasan ilmiahnya. Hal ini lah yang mendorong manusia untuk mempelajari isi dan kandungan Al-Quran untuk mempelajari segala sesuatu yang ada di alam semesta, yang ditransmisikan ribuan tahun yang lalu ketika ilmu pengetahuan belum sepesat sekarang. Hal ini menunjukkan bahwa mempelajari ilmu pengetahuan juga dapat beriringan dengan mempelajari Al-Quran dan As-Sunnah. Dengan begitu dalam Islam, seorang muslim tidak diharamkan atau dilarang menjadi seorang ilmuwan. Bahkan seorang muslim sangat dianjurkan untuk berakal dan menyelesaikan dan mengurusi segalam macam hidupnya dengan akal. Akhirnya Islam menjadi salah satu agama yang sangat mendukung dan mendorong untuk para penganutnya agar berakal atau mencari ilmu pengetahuan seluas-seluasnya. Oleh karena itu banyak ilmuwan muslim yang lahir karena dorongan dari ajaran Islam. Berbagai macam ilmuwan Islam yang hadir dan semuanya memiliki keahliannya masing-masing. Hal tersebut yang menggambarkan bahwa Islam merupakan agama yang tidak bertolakbelakang dengan ilmu pengetahuan atau sains. Ilmuwan-ilmuwan muslim juga ada yang memiliki keahlian di bidang antropologi. Antropologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari manusia sebagai makhluk budaya. Manusia merupakan makhluk sosial yang hidup dalam kebudayaan dan masyarakat, sehingga pemahaman tentang kebudayaan dan masyarakat menjadi sangat penting dalam memahami manusia itu sendiri. Kemudian kebudayaan sendiri tidak bisa dipisahkan dari masyarakat dan lingkungan sosialnya (Koentjaraningrat, 1996). Antropologi juga mempelajari perubahan kebudayaan dan masyarakat seiring waktu, baik yang disebabkan oleh faktor internal maupun eksternal. Perubahan tersebut dapat meliputi perubahan nilai, norma, serta praktik kebudayaan dan masyarakat. Dalam ilmu ini, pendekatan holistik sangat penting untuk diterapkan karena pendakatan ini memandang kebudayaan sebagai sebuah kesatuan yang saling terkait dan kompleks.Â
Pendekatan holistik ini memungkinkan antropolog untuk memahami manusia dalam konteks yang lebih luas, termasuk dalam hubungannya dengan lingkungan alam sekitar, sejarah, politik, dan ekonomi (Koentjaraningrat, 1996). Sedangkan dalam proses mencari atau menuntut ilmu yang seluas-luasnya, aktivitas literasi sangat penting karena dari literasi seseorang dapat mendapatkan sebuah ilmu.Â
Dengan kata lain literasi merupakan gerbang pertama seseorang untuk menemui atau menemukan ilmu pengetahuan atau wawasan yang baru. Maka dari itu budaya literasi adalah budaya yang penting dalam proses menuju muslim yang berakal. Antropolog muslim di sini memiliki peran penting untuk menumbuhkan dan menjaga budaya literasi agar tetap bisa lestari karena bisa dibilang bahwa antropolog adalah seseorang yang ahli dalam kajian-kajian kebudayaan, termasuk budaya literasi.Â
Dalam karya ilmiah ini akan dibahas lebih komprehensif mengenai peran antropolog muslim dalam mendorong budaya literasi di era digital. Pembahasan mengenai pilihan caracara untuk meningkatkan budaya literasi juga akan dijelaskan lebih lanjut. Urgensi mengenai budaya literasi juga tidak luput dari pembahasan di karya tulis ilmiah ini. Kemudian dari seluruh pembahasan di karya tulis ilmiah ini akan didapatkan pemahaman mengenai pentingnya peran antropolog muslim dalam budaya literasi.
Budaya literasi merupakan sebuah konsep yang merujuk pada kemampuan individu dalam membaca, menulis, dan berpikir kritis, serta kebiasaan dalam melakukan aktivitas literasi tersebut sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari. Budaya literasi dapat diartikan sebagai sebuah budaya yang mempromosikan kemampuan membaca, menulis, dan berpikir kritis untuk memperoleh pengetahuan, memperoleh pekerjaan yang layak, mengambil keputusan yang tepat, dan berpartisipasi dalam masyarakat.Â
Menurut UNESCO (2017), budaya literasi juga mencakup penggunaan teknologi informasi dan komunikasi sebagai alat untuk memperoleh, memproses, dan menyebarkan informasi. Hal ini sejalan dengan perkembangan teknologi dan media sosial yang semakin pesat. Dalam konteks ini, individu perlu memiliki keterampilan literasi yang lebih luas, yaitu keterampilan digital atau literasi digital. Budaya literasi juga penting dalam membantu individu memahami dan memproses informasi yang semakin kompleks dan beragam.Â
Budaya literasi yang baik meliputi kemampuan memahami dan menganalisis informasi yang diperoleh dari berbagai sumber, termasuk media sosial dan internet. Dalam era digital seperti sekarang ini, individu perlu mampu membedakan informasi yang benar dan berkualitas dari informasi yang tidak benar dan tidak berkualitas atau yang sering disebut sebagai hoaks. Budaya literasi ini juga penting untuk menciptakan masyarakat yang kritis dan mampu berpartisipasi dalam pembangunan masyarakat. Dengan memiliki kemampuan literasi, individu dapat memperoleh pengetahuan dan mengambil keputusan yang lebih baik dalam kehidupan sehari-hari serta turut berkontribusi dalam pembangunan masyarakat (Nasution, 2015). Budaya literasi merupakan sebuah konsep yang merujuk pada kemampuan individu dalam membaca, menulis, dan berpikir kritis, serta kebiasaan dalam melakukan aktivitas literasi tersebut sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari.Â
Budaya literasi dapat diartikan sebagai sebuah budaya yang mempromosikan kemampuan membaca, menulis, dan berpikir kritis untuk memperoleh pengetahuan, memperoleh pekerjaan yang layak, mengambil keputusan yang tepat, dan berpartisipasi dalam masyarakat. Dengan begitu dapat disimpulkan bahwa terdapat lima manfaat budaya literasi.Â
Pertama, budaya literasi dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis individu. Hal ini karena dengan membaca dan menulis, individu akan terbiasa mengolah informasi dengan lebih kritis, mempertimbangkan sudut pandang yang berbeda, dan mengembangkan argumentasi yang lebih matang (Reinking, 2016).Â
Kedua, budaya literasi juga dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan individu. Dengan membaca, individu dapat memperoleh informasi dan pengetahuan baru dari berbagai sumber, serta mempelajari keterampilan baru seperti keterampilan menulis dan berbicara yang efektif (UNESCO, 2017).Â
Ketiga, individu yang memiliki budaya literasi yang baik memiliki peluang yang lebih baik dalam mencari pekerjaan dan berkembang di tempat kerja. Hal ini karena kemampuan membaca, menulis, dan berpikir kritis merupakan keterampilan dasar yang diperlukan dalam dunia kerja yang semakin kompetitif (Nasution, 2015). Keempat, Budaya literasi juga dapat meningkatkan kesehatan mental individu. Menurut penelitian, membaca dan menulis dapat membantu mengurangi stres, meningkatkan rasa percaya diri, dan memperbaiki kesehatan mental secara keseluruhan (Carr, 2010). Kelima, budaya literasi juga penting untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam kegiatan sosial dan politik. Individu yang memiliki kemampuan membaca dan menulis yang baik lebih mampu untuk terlibat dalam kegiatan sosial dan politik, serta mengambil bagian dalam proses pembangunan masyarakat (Nasution, 2015). Dari berbagai manfaat tersebut, dapat disimpulkan bahwa budaya literasi memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan individu dan masyarakat secara keseluruhan. Oleh karena itu, pemerintah dan berbagai pihak terkait perlu terus meningkatkan upaya untuk mempromosikan budaya literasi di masyarakat. Salah satu pihak yang memiliki potensi dan peran yang sangat penting adalah antropolog muslim karena antropolog merupakan pihak yang ahli dalam menjelaskan dan mengkaji kebudayaan. Peran antropolog muslim dalam meningkatkan budaya literasi di era digital sangat penting untuk mempromosikan pembelajaran budaya dan bahasa di masyarakat. Antropolog muslim dapat memberikan pemahaman tentang pentingnya literasi di era digital, mengajarkan bagaimana memanfaatkan teknologi untuk memperkaya pengetahuan, serta membantu memahami implikasi sosial dan kultural dari literasi digital.Â
Dalam hal ini, antropologi Muslim dapat membantu dalam pengembangan kurikulum pendidikan literasi digital yang berbasis Islam. Antropolog muslim juga dapat membantu mempromosikan literasi di kalangan masyarakat Muslim dengan melibatkan ulama, tokoh masyarakat, dan kelompok masyarakat dalam kampanye literasi. Hal ini penting karena ulama dan tokoh masyarakat dapat memberikan pengarahan dan dukungan kepada masyarakat dalam upaya meningkatkan literasi (Jomhari and Nayan, 2019).Â
Antropolog muslim juga dapat membantu dalam pengembangan literasi kritis di kalangan masyarakat. Hal ini karena literasi kritis adalah kemampuan untuk membaca dan memahami pesan-pesan dalam media, serta menganalisis pesan-pesan tersebut secara kritis dan reflektif. Antropolog muslim dapat memberikan pemahaman tentang bagaimana memahami pesan-pesan media secara kritis, termasuk memahami implikasi sosial dan kultural dari media digital.Â
Dalam mempromosikan literasi di era digital, antropolog muslim juga dapat memberikan penekanan pada nilai-nilai Islam, seperti nilai-nilai moral dan etika dalam penggunaan teknologi dan media digital. Hal ini dapat membantu masyarakat untuk menggunakan teknologi dan media digital dengan bijaksana dan bertanggung jawab (Jomhari and Nayan, 2019).Â
Terdapat lima hal yang dapat menjadi pilihan bagi antropolog muslim sebagai cara memantapkan budaya literasi di era digital. Pertama, menyadarkan pentingnya literasi digital. Sebagai seorang antropolog muslim, dapat memulai dengan mengedukasi masyarakat tentang pentingnya literasi digital dan bagaimana hal tersebut dapat membantu dalam pengembangan pribadi, sosial, dan ekonomi. Dapat juga menunjukkan bahwa kemampuan literasi digital dapat membantu seseorang untuk mengakses informasi dan pengetahuan yang berharga, mengembangkan keterampilan yang dibutuhkan untuk bekerja di era digital, dan memperluas jaringan sosial.Â
Kedua, mendorong pengembangan keterampilan literasi digital. Antropolog muslim juga dapat membantu masyarakat untuk mengembangkan keterampilan literasi digital. Antropolog muslim dapat memberikan pelatihan tentang cara menggunakan perangkat lunak dan aplikasi digital yang penting, seperti Microsoft Word, Excel, dan PowerPoint, dan cara menggunakan media sosial dengan bijak. Dalam hal ini, antropolog muslim dapat memanfaatkan metode yang lebih interaktif dan melibatkan masyarakat untuk memastikan pemahaman yang lebih baik. Ketiga, membantu masyarakat memahami konsep privasi dan keamanan digital. Dalam era digital, privasi dan keamanan digital menjadi sangat penting. Antropolog muslim dapat membantu masyarakat untuk memahami konsep-konsep ini dan cara melindungi diri dari ancaman keamanan digital, seperti penipuan dan peretasan. Mereka juga dapat mengedukasi masyarakat tentang cara menggunakan password yang kuat, menghindari terlalu banyak berbagi informasi pribadi di media sosial, dan memperbarui perangkat lunak mereka secara teratur.Â
Keempat, memfasilitasi diskusi kelompok tentang penggunaan teknologi. Antropolog muslim juga dapat membantu masyarakat untuk memahami dampak sosial dari penggunaan teknologi digital. mereka dapat memfasilitasi diskusi kelompok tentang topik-topik seperti efek media sosial pada kesehatan mental dan cara mengurangi paparan terhadap konten yang merugikan.Â
Kelima, menyediakan sumber daya literasi digital. Antropolog muslim dapat menyediakan sumber daya literasi digital yang membantu masyarakat untuk memperdalam pemahaman mereka tentang literasi digital. Hal ini dapat mencakup sumber daya seperti buku, artikel, video tutorial, dan platform online yang memberikan pelatihan dan bahan belajar tentang literasi digital. Dengan melakukan hal-hal di atas, seorang antropolog muslim dapat memainkan peran penting dalam memantapkan budaya literasi di era digital. Hal ini akan membantu masyarakat untuk memahami pentingnya literasi digital, mengembangkan keterampilan yang dibutuhkan untuk bekerja di era digital, dan melindungi diri dari ancaman keamanan digital.Â
Dengan begitu kemajuan kemampuan teknologi masyarakat juga dapat meningkat dengan upaya memantapkan budaya literasi di era digital. Di Indonesia sudah ada beberapa antropolog muslim yang telah berkontribusi dalam memantapkan budaya literasi di era digital. Upaya-upaya yang mereka lakukan bukan hanya sekedar agenda formalitas saja, melainkan juga berdampak besar bagi masyarakat. Dengan ilmu antropologi yang mereka kuasai, mereka juga memanfaatkan antropologi guna mencapai tujuan mereka untuk meningkatkan budaya literasi di Indonesia.Â
Pertama, ada Dr. Inayah Rohmaniyah, dosen Antropologi Islam di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya. Ia terlibat dalam berbagai proyek penelitian dan pengembangan budaya literasi, khususnya di kalangan anak-anak dan remaja. Berbagai proyek telah ia lakukan guna meningkatkan budaya literasi pada anak-anak. Salah satu proyeknya adalah pengembangan program literasi di Yayasan Rumah Cemara, yang merupakan lembaga yang memberikan layanan rehabilitasi bagi mantan pengguna narkoba dan keluarga mereka.Â
Dalam proyek tersebut, Dr. Inayah berperan sebagai koordinator riset dan pengembangan program. Program yang dikembangkan meliputi pengajaran membaca dan menulis, pelatihan keterampilan teknologi informasi, serta pemberian dukungan psikologis dan sosial bagi peserta program (Rohmaniyah and Utami, 2020). Dr. Inayah juga terlibat dalam proyek penelitian tentang pola literasi di kalangan remaja di Indonesia.Â
Dalam penelitian ini, ia bersama tim peneliti mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi minat remaja dalam membaca dan menulis di era digital, serta bagaimana mengembangkan strategi yang efektif dalam mempromosikan budaya literasi di kalangan remaja (Rohmaniyah and Rofiq, 2019). Proyek-proyeknya itu pun juga dijalankan dengan keterkaitan dengan ajaran-ajaran Islam.Â
Kedua, Dr. Syafiq Hasyim yang merupakan seorang antropolog dari Universitas Gadjah Mada dan juga dikenal sebagai seorang aktivis literasi. Ia telah melakukan berbagai upaya untuk mempromosikan literasi di masyarakat, terutama dalam konteks penggunaan media sosial. Ia sering memberikan edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya literasi digital, termasuk dalam mengenali informasi yang benar dan menghindari hoaks dan berita palsu (Sulistyowati, 2018). Selain itu, Dr. Syafiq Hasyim juga aktif dalam mengelola program literasi seperti "Gerakan 1001 Pustaka" yang bertujuan untuk meningkatkan minat baca masyarakat melalui program donasi buku (Kurniawan, 2017). Ia juga telah menulis buku-buku tentang antropologi dan literasi, salah satunya adalah buku "Antropologi Sastra: Membaca Sastra dalam Perspektif Antropologi"Â
Ketiga, Dr. Zainal Abidin Bagir yang merupakan seorang antropolog dan cendekiawan Muslim yang aktif mengembangkan literasi di masyarakat, terutama melalui media sosial. telah membuka akses literasi kepada masyarakat melalui program-program yang ia kembangkan. Sebagai contoh, ia memanfaatkan media sosial seperti Facebook dan Instagram untuk membagikan artikel-artikel dan kutipan-kutipan buku tentang pemikiran Islam, budaya, dan kemanusiaan.Â
Selain itu, ia juga memanfaatkan platform video seperti YouTube dan podcast untuk membagikan diskusi dan seminar dengan topik-topik yang relevan dengan masyarakat. Ketiga antropolog muslim tersebut terus berupaya untuk memantapkan budaya literasi di era digital dengan berbagai proyek. Proyek-proyek yang dijalankan juga beragam, mulai dari proyek penelitian, pendidikan formal, hingga gerakan-gerakan yang dijalankan oleh berbagai pihak. Semua upaya dilakukan oleh mereka dengan memahami kultur masyarakat sasaran karena dengan memahmi kebudayaan masyarakat setempat, mereka dapat menentukan program apa yang paling sesuai guna memantapkan budaya literasi di era digital,
Indonesia merupakan negara dengan penduduk yang mayoritas memluk agama Islam dan merupakan negara dengan populasi muslim terbesar di dunia. Dengan kondisi tersebut umat muslim di Indonesia harus sadar dan juga berkontribusi dalam upaya memantapkan budaya literasi di era digital. Bahkan segala macam ahli atau cendekiawan muslim juga tentunya punya beban moral untuk berkontribusi, terkhusus antropolog muslim. Antropolog muslim memiliki peran penting karena antropolog adalah pihak yang sangat memahami sebuah kebudayaan.Â
Para antropolog muslim juga harus berkontribusi secara langsung di masyarakat karena antropolog memiliki cara pendekatan yang holistik di masyarakat. Dengan menggunakan berbagai metode dan wawasan di antropologi, antropolog muslim sudah sewajarnya paham dan sadar langkah yang dipilih untuk meningkatkan budaya literasi. Berbagai cara dilakukan oleh para antropolog muslim, mulai dari proyek penelitian, pendidikan, hingga program-program di masyarakat secara mikro. Bahkan sudah terbukti bahwa para antropolog muslim di Indonesia sudah berperan dan berkontribusi dalam memantapkan budaya literasi di era digital, seperti Dr. Zainal Abidin Bagir, Dr. Syafiq Hasyim, Dr. Inayah Rohmaniyah, dan masih banyak lainnya. Kontribusi mereka menjadi bukti nyata bahwa antropolog muslim punya peran dan kapasitas penting dalam memantapkan budaya literasi di era digital.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H