Ketika kamu mendengar cerita ini, itu berarti, aku sedang bertarung dengan gelombang diselat Maluku.
Perahu yang kami tumpangi itu gonjang-ganjing dihantam perut ombak, sedang Pak Man, katakanlah namanya begitu, sang pemilik perahu sekaligus guru memancingku itu masih saja tidak mengeluarkan sepatah katapun untuk menyelamatkan kami dari maut samudra. Ia tetap gamang menatap ke arah luatan lepas, tanpa menoleh sedikitpun ke arahku. Sementara aku, sebagai orang yang menceritakan kisah ini padamu, sedang mati-matian menahan gugup, takut, dan kengerian akan kemungkinan jika perahu ini terbalik, dan kami akhirnya tenggelam.
Aku memperhatikan betul setiap sisi dari sampan kecil itu. Air bercipratan dimasing-masing sisinya, termasuk haluan dibagian depan, dan juga buritan dibelakangku. Sedang saat itu, entah sudah berapa liter yang masuk ke badan perahu, dan aku harus bersusah payah mengurasnya seperti menguras sungai kecil dengan mata air yang sedang murka. Tiada henti-hentinya.
Ini bukan sekali dua kali aku ikut Pak Man mengitari perairan Maluku, itu karena aku sering ikut memancing atau memukat ikan-ikan bersamanya. Bulan lalu ia berkata langit sedang bersahabat, dan seorang yang tidak pandai berenang sepertiku tidak perlu menguras otak dengan pertimbangan-pertimbangan tentang perahunya yang terlampau kecil, atau kadang-kadang tidak memiliki sema (kalimat dalam kurung ini, hanya sekedar pemberitahuan, kalau kata sema itu ialah pelampung sampan yang ada disetiap sisi kiri dan kanannya, terikat pada dua buah lata kayu sebagai sayap penahan gelombang), atau kemungkinan tambalan dibadan perahu yang kemudian bocor tiba-tiba ditengah lautan, atau biasanya aku sering sekali berpikir tentang ada berapa pelampung cadangan yang tersedia diperahunya. Paling tidak sebuah jerigen kosong dikeadaan darurat.
~~~
"Kamu masih belum bisa berenang Mam?" Tanya Pak Man suatu kali ketika kami hendak pergi memancing ditempat yang sangat jauh, yang kedalamannya tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Sekedar info:
Namaku Imam, Imam Samudra tepatnya. Namun setelah peristiwa besar yang terjadi di Bali bertahun-tahun lampau, dan aku yang menyaksikan itu semua ditivi semasa kecil, akhirnya memutuskan untuk menghapus bagian terakhirnya. Dan jadilah namaku hanya Imam saja, tanpa Samudra. Beberapa orang, termasuk ayah dan ibuku juga memperkarakan soal keputusanku menghapus sebagian nama itu. Tapi, seperti yang kamu tahu, aku tidak sedang menceritakan diriku, aku sedang menceritakan Pak Man.
Karena ku anggap pertanyaan Pak Man tadi tidak terlalu penting, juga karena ia bisa dengan mudah sekali mendapati jawabannya, aku memutuskan untuk tidak mengatakan apa-apa, kecuali dengan senyum malu-malu.
Perahu itu lalu kami seret ke bibir air. Dari sini aku naik dan mengarahkan perahu agar berbalik menghadap ke tengah laut, lalu sebagaimana biasa, aku bertugas mengayuh, dan Pak Man bertugas menghabiskan rokoknya saat aku sedang melakukan tugasku.
Sungguh pekerjaan yang membosankan, karena Pak Man enggan sekali membeli sebuah mesin penggerak, dan lebih senang memintaku atau lebih tepatnya menyuruhku mendayung sampai ke tengah lautan.
Sesampainya di alamat yang kami tuju, maksudnya sebuah tempat dimana nelayan-nelayan banyak berkumpul untuk memancing, aku lalu melepaskan jangkar, sebuah batu seukuran kepala orang dewasa, yang kemudian melesat seperti berenang kedasar laut yang menghitam karena penuh dengan misteri. Entah itu misteri yang ternyata hanyalah gugusan karang-karang, atau gerombolan ikan-ikan, atau ya, mungkin, bisa jadi juga itu adalah dinosaurus dimasa lalu yang terlahir kembali karena reinkarnasi.
Di saat-saat seperti itu, Pak Man hanya mengurusi tali pancing dan juga kailnya, memasang umpan, menjatuhkan kail yang menusuk umpan-umpan itu, lalu menyulut rokok, menghisapnya dalam-dalam, lalu mengeluarkannya lagi dengan segenap masalah didadanya. Pekerjaan ini terlampau sering ia lakukan, lalu kemudian jadi semacam hafalan dikepalaku. Aku jadi tahu kapan boleh mengajaknya bicara, kapan tidak, dan kapan bisa mengajaknya bicara lagi.Â
Oya, dari tempat yang tadi kuceritakan padamu, kamu bisa melihat kerucut gunung yang berwarna hijau dibalik kampungku, ia seperti punggung kura-kura, aku mengatakan ini ketika aku sedang menatapnya. Dan jika kau sedikit lebih mendekat, akan banyak sekali terlihat pohon-pohon rakasasa yang menempel disana, juga barangkali burung-burung liar yang beterbangan.
Saat sedang menunggu pancingnya tersambar, berapa kali Pak Man mengajakku bercerita. Biasanya tentang bola, ia punya klub sepakbola yang ia sukai, tapi dari negara lain. Atau ia juga sering menceritakan tentang musik-musik kesukaannya. Atau tentang makanan-makanan kesukaannya, juga hasil berkebunnya. Atau jika ada waktu, ia akan menambahkan sedikit candaan tentang beberapa perempuan-perempuan centil, dikampungku, yang selalu menggodaku, atau sebaliknya, sebenarnya akulah yang menggoda mereka, dan mungkin akulah yang sebenarnya centil.
Awalnya begitu, tapi kini ia lebih suka kalau kami mendiskusikan soal tanah dikampung kami, gunung-gunung, hutan-hutan, kebun-kebun, dan masih banyak lagi yang nanti ku ceritakan padamu.
Ia bukan hanya berbicara tentang tanahnya atau tanah milik kedua orang tuaku, tapi juga tanah seluruh warga kampung kami. Ia juga jadi semacam ahli dongeng, menceritakan latar belakang bagaimana desa kami bisa jadi desa yang makmur dengan hasil lautnya, atau dengan perkebunan kelapa dan cengkehnya, atau kadang kalau ia bosan dengan cerita yang terus berulang, ia akan menceritakan tentang nenek moyang kami, yang entah kenapa selalu berakhir dengan kisah bahwa para leluhur kami juga adalah pelaut-pelaut seperti dia dan nelayan-nelayan yang masih tersisa, bisa memancing, pandai memukat, dan lihai berenang. Tidak sepertiku, katanya dengan mengejek, lalu ia akan tertawa terbahak-bahak, dan terbahak-bahak. Meski aku tahu ia menyimpan semacam derita dibalik cerita-ceritanya itu. Â Â
Itu terjadi setelah sebuah kapal Tongkang besar sandar dipelabuhan dekat kampung kami, beberapa minggu lalu, dan sekian alat berat dimuntahkan dari perut kapal besar itu. Aku yang waktu itu, sebagai orang yang menceritakan kisah ini padamu, juga sebagai seorang pemuda yang buta akan benda-benda asing, besar, dan bisa bergerak serupa robot itu, hanya bisa menggumamkan hore dihati, mungkin karena takjub. Anehnya aku tidak bisa merasakan bahwa ada sesuatu yang lain, semacam aura jahat yang mungkin akan mengancam kami dengan taring-taring dan kekuatan-kekuatan baja dari benda-benda asing itu.
Apakah ini yang membuat Pak Man jadi sering murenung, dan susah diajak bicara. Ah, ini bukan suatu pertanyaan kawan, karena kau ternyata tidak akan menemukan tanda tanya dibelakangnya.
Tapi kenapa ia terus saja bercerita tentang hal-hal yang menggelikan, tertawa, bercerita lagi, dan tertawa lagi, sementara ia masih dengan air muka yang sama, yang menyimpan semacam sabetan pisau dihatinya?
~~~
Ketika kamu mendengar cerita ini, itu berarti, aku sedang bertarung dengan gelombang diselat Maluku.
Saat ini tak seorangpun nelayan yang bakal mengadu kail pancingnya dengan ikan-ikan, tak ada pukat untuk ikan-ikan yang bergerombol, dan tak ada juga umpan yang akan jadi santapan lezat para ikan-ikan didasar laut.
Angin utara sedang bertiup, dan gelombang-gelombang setinggi hampir lima meter sibuk menampilkan pertunjukannya dibibir pantai. Aku berpikir apakah ikan-ikan itu tidak rindu dengan kami? Apakah, mereka tidak rindu mempermainkan kail pancing dan merebut cacing-cacing dari tajamnya ujung kail itu? Memang benar, disaat laut sedang tidak tenang, ikan-ikan memilih tidur lelap dalam rumah karang-karangnya. Barangkali menunggu sampai suatu zaman berubah. Hingga mereka bisa lagi menanti kail-kail pancing, dan pukat-pukat.
Ah, ketika gelombang sedang pasang, dan angin yang bertiup ternyata bukan untuk memberi kesegaran, melainkan menginginkan kematian, aku jadi bergumam sendiri dalam hati, apa sebenarnya yang sedang dipikirkan Pak Man sekarang ini, ketika gelombang sudah menyentuh bibir perahu yang gonjang-ganjing, lalu kemudian memasukan beberapa liter airnya ke lambung perahu, lelaki tua itu tetap saja bungkam.
Beberapa perahu terlihat menyusul kami dibelakang, dibalik gelombang, dan angin yang menyeret kami ke kiri dan ke kanan. Di antara mereka banyak yang membawa keluarganya masing-masing, para istri terlihat menenangkan anak-anak mereka yang merengek, sedang anak-anak mereka yang terlihat memeluk erat boneka-boneka mereka yang tercipta dari gumpalan rumbia. Sedang para suami dengan segala kemampuan mereka mengendalikan, bergegas menyusul kami.
Dari tempatku menceritakan kisah ini padamu. Ku lihat gunung-gunung dikampungku telah habis. Warna hijaunya pun telah berubah jadi cokelat bercampur kuning. Dan yang paling penting, asap-asap hitam menyeruak ke langit melalui corong-corong dan pipa-pipa raksasa. Mungkin beberapa saat lagi, api-api akan menyelimuti pulau dan kampung itu.
Apakah ini yang dirisaukan oleh Pak Man selama ini? Aku jadi teringat kata-katanya dulu, ketika pertama kali kapal besar itu datang, dan orang-orang asing, juga benda-benda asing yang besar dan bisa bergerak, berkelindan kesana kemari memenuhi kampung kami.
Tanah surga itu, hanyalah sihir Mam! Tak ada surga yang benar-benar ada didunia ini.
Mungkinkah ikan-ikan itu akan tetap merindukan kami? Ini adalah gumamanku selama dalam pertarungan bersama gelombang laut Maluku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H