Mohon tunggu...
Sanad
Sanad Mohon Tunggu... Mahasiswa/Pelajar -

Penulis Cerita Pendek

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Sihir Tanah Surga

10 April 2018   12:27 Diperbarui: 12 April 2018   22:41 2510
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: tekoneko.net

Sesampainya di alamat yang kami tuju, maksudnya sebuah tempat dimana nelayan-nelayan banyak berkumpul untuk memancing, aku lalu melepaskan jangkar, sebuah batu seukuran kepala orang dewasa, yang kemudian melesat seperti berenang kedasar laut yang menghitam karena penuh dengan misteri. Entah itu misteri yang ternyata hanyalah gugusan karang-karang, atau gerombolan ikan-ikan, atau ya, mungkin, bisa jadi juga itu adalah dinosaurus dimasa lalu yang terlahir kembali karena reinkarnasi.

Di saat-saat seperti itu, Pak Man hanya mengurusi tali pancing dan juga kailnya, memasang umpan, menjatuhkan kail yang menusuk umpan-umpan itu, lalu menyulut rokok, menghisapnya dalam-dalam, lalu mengeluarkannya lagi dengan segenap masalah didadanya. Pekerjaan ini terlampau sering ia lakukan, lalu kemudian jadi semacam hafalan dikepalaku. Aku jadi tahu kapan boleh mengajaknya bicara, kapan tidak, dan kapan bisa mengajaknya bicara lagi. 

Oya, dari tempat yang tadi kuceritakan padamu, kamu bisa melihat kerucut gunung yang berwarna hijau dibalik kampungku, ia seperti punggung kura-kura, aku mengatakan ini ketika aku sedang menatapnya. Dan jika kau sedikit lebih mendekat, akan banyak sekali terlihat pohon-pohon rakasasa yang menempel disana, juga barangkali burung-burung liar yang beterbangan.

Saat sedang menunggu pancingnya tersambar, berapa kali Pak Man mengajakku bercerita. Biasanya tentang bola, ia punya klub sepakbola yang ia sukai, tapi dari negara lain. Atau ia juga sering menceritakan tentang musik-musik kesukaannya. Atau tentang makanan-makanan kesukaannya, juga hasil berkebunnya. Atau jika ada waktu, ia akan menambahkan sedikit candaan tentang beberapa perempuan-perempuan centil, dikampungku, yang selalu menggodaku, atau sebaliknya, sebenarnya akulah yang menggoda mereka, dan mungkin akulah yang sebenarnya centil.

Awalnya begitu, tapi kini ia lebih suka kalau kami mendiskusikan soal tanah dikampung kami, gunung-gunung, hutan-hutan, kebun-kebun, dan masih banyak lagi yang nanti ku ceritakan padamu.

Ia bukan hanya berbicara tentang tanahnya atau tanah milik kedua orang tuaku, tapi juga tanah seluruh warga kampung kami. Ia juga jadi semacam ahli dongeng, menceritakan latar belakang bagaimana desa kami bisa jadi desa yang makmur dengan hasil lautnya, atau dengan perkebunan kelapa dan cengkehnya, atau kadang kalau ia bosan dengan cerita yang terus berulang, ia akan menceritakan tentang nenek moyang kami, yang entah kenapa selalu berakhir dengan kisah bahwa para leluhur kami juga adalah pelaut-pelaut seperti dia dan nelayan-nelayan yang masih tersisa, bisa memancing, pandai memukat, dan lihai berenang. Tidak sepertiku, katanya dengan mengejek, lalu ia akan tertawa terbahak-bahak, dan terbahak-bahak. Meski aku tahu ia menyimpan semacam derita dibalik cerita-ceritanya itu.    

Itu terjadi setelah sebuah kapal Tongkang besar sandar dipelabuhan dekat kampung kami, beberapa minggu lalu, dan sekian alat berat dimuntahkan dari perut kapal besar itu. Aku yang waktu itu, sebagai orang yang menceritakan kisah ini padamu, juga sebagai seorang pemuda yang buta akan benda-benda asing, besar, dan bisa bergerak serupa robot itu, hanya bisa menggumamkan hore dihati, mungkin karena takjub. Anehnya aku tidak bisa merasakan bahwa ada sesuatu yang lain, semacam aura jahat yang mungkin akan mengancam kami dengan taring-taring dan kekuatan-kekuatan baja dari benda-benda asing itu.

Apakah ini yang membuat Pak Man jadi sering murenung, dan susah diajak bicara. Ah, ini bukan suatu pertanyaan kawan, karena kau ternyata tidak akan menemukan tanda tanya dibelakangnya.

Tapi kenapa ia terus saja bercerita tentang hal-hal yang menggelikan, tertawa, bercerita lagi, dan tertawa lagi, sementara ia masih dengan air muka yang sama, yang menyimpan semacam sabetan pisau dihatinya?

~~~

Ketika kamu mendengar cerita ini, itu berarti, aku sedang bertarung dengan gelombang diselat Maluku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun