Mohon tunggu...
Sanad
Sanad Mohon Tunggu... Mahasiswa/Pelajar -

Penulis Cerita Pendek

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Sihir Tanah Surga

10 April 2018   12:27 Diperbarui: 12 April 2018   22:41 2510
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: tekoneko.net

Saat ini tak seorangpun nelayan yang bakal mengadu kail pancingnya dengan ikan-ikan, tak ada pukat untuk ikan-ikan yang bergerombol, dan tak ada juga umpan yang akan jadi santapan lezat para ikan-ikan didasar laut.

Angin utara sedang bertiup, dan gelombang-gelombang setinggi hampir lima meter sibuk menampilkan pertunjukannya dibibir pantai. Aku berpikir apakah ikan-ikan itu tidak rindu dengan kami? Apakah, mereka tidak rindu mempermainkan kail pancing dan merebut cacing-cacing dari tajamnya ujung kail itu? Memang benar, disaat laut sedang tidak tenang, ikan-ikan memilih tidur lelap dalam rumah karang-karangnya. Barangkali menunggu sampai suatu zaman berubah. Hingga mereka bisa lagi menanti kail-kail pancing, dan pukat-pukat.

Ah, ketika gelombang sedang pasang, dan angin yang bertiup ternyata bukan untuk memberi kesegaran, melainkan menginginkan kematian, aku jadi bergumam sendiri dalam hati, apa sebenarnya yang sedang dipikirkan Pak Man sekarang ini, ketika gelombang sudah menyentuh bibir perahu yang gonjang-ganjing, lalu kemudian memasukan beberapa liter airnya ke lambung perahu, lelaki tua itu tetap saja bungkam.

Beberapa perahu terlihat menyusul kami dibelakang, dibalik gelombang, dan angin yang menyeret kami ke kiri dan ke kanan. Di antara mereka banyak yang membawa keluarganya masing-masing, para istri terlihat menenangkan anak-anak mereka yang merengek, sedang anak-anak mereka yang terlihat memeluk erat boneka-boneka mereka yang tercipta dari gumpalan rumbia. Sedang para suami dengan segala kemampuan mereka mengendalikan, bergegas menyusul kami.

Dari tempatku menceritakan kisah ini padamu. Ku lihat gunung-gunung dikampungku telah habis. Warna hijaunya pun telah berubah jadi cokelat bercampur kuning. Dan yang paling penting, asap-asap hitam menyeruak ke langit melalui corong-corong dan pipa-pipa raksasa. Mungkin beberapa saat lagi, api-api akan menyelimuti pulau dan kampung itu.

Apakah ini yang dirisaukan oleh Pak Man selama ini? Aku jadi teringat kata-katanya dulu, ketika pertama kali kapal besar itu datang, dan orang-orang asing, juga benda-benda asing yang besar dan bisa bergerak, berkelindan kesana kemari memenuhi kampung kami.

Tanah surga itu, hanyalah sihir Mam! Tak ada surga yang benar-benar ada didunia ini.

Mungkinkah ikan-ikan itu akan tetap merindukan kami? Ini adalah gumamanku selama dalam pertarungan bersama gelombang laut Maluku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun