Mohon tunggu...
Sanad
Sanad Mohon Tunggu... Mahasiswa/Pelajar -

Penulis Cerita Pendek

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Menunggu Kereta Datang

9 Maret 2017   01:08 Diperbarui: 10 Maret 2017   20:00 449
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Seorang lelaki tua pernah menceramahiku jauh sebelum pertemuan kita terjadi, ia berkata bahwa ujian terbesar dalam sebuah hubungan adalah kesetiaan, “Nak, Setia itu bukan hanya ada di dunia, juga di kehidupan selanjutnya kelak” katanya dengan menatap serius kearahku, “ingat itu nak!”

Kau pasti mengingatnya, karena aku membisikan kata itu dengan doa di telingamu. Ketika kau larut memeluk tubuhku yang gemetar karena hendak pulang dan membuat jarak antara kotamu dan kotaku.

Aku sendiri tidak menyesal, bahwa kemudian kita terpisah dan kau memilih jalan yang terbentang lebar di depanmu, atau aku yang tak bisa melupakanmu. Karena aku tidak mungkin berbohong pada diriku sendiri, sejauh apapun aku berjalan dan sekeras apapun aku berusaha, kita tetap tidak bisa bersatu seperti mimpi kita dahulu.

Di stasiun ini aku kembali mengingatmu, semua orang tentu akan menganggapku bodoh dengan datang ke tempat ini menunggu sesuatu yang tidak pasti, aku sendiri tak tau menganggap hal ini sebagai apa, tapi apakah kau mengingat kata – katamu dahulu, di taman kota yang berdiri sepasang beringin, ketika kita duduk berdua di tengah hamparan rumput kecil di bawahnya, “Hidup itu misteri” katamu semakin memperhalus suaramu, “dan perasaan seorang perempuan itu seperti samudera, tak bisa di tebak”.

Aku mengingat semua itu, ketika sebuah kereta melintas dan meniupkan terompetnya. Sebuah kereta yang datang dari barat, sebuah kereta yang lalu mengantarmu pulang meninggalkanku di sore yang mendung itu, dengan gerimis yang sederhana. Sebuah kereta yang sekarang selalu ku tunggu karena membawa bau kotamu dan bayang – bayang tentang senyum dan tawa yang sudah bertahun – tahun lamanya mengendap, lalu membatu di hatiku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun