Mohon tunggu...
Sanad
Sanad Mohon Tunggu... Mahasiswa/Pelajar -

Penulis Cerita Pendek

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Menunggu Kereta Datang

9 Maret 2017   01:08 Diperbarui: 10 Maret 2017   20:00 449
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sebuah kereta melintas lagi, suara terompetnya mendengung keras, menuju ke timur lalu hilang di balik bangunan dan jalan – jalan terputus oleh jalur memanjang yang mengiris kota, juga dengan suara desak – desakan kendaraan yang melintas setelahnya.

Apa kau tau bahwa aku memang akan tetap sering terlihat berada disini, berada dibalik keramaian, duduk berdesak – desakan dengan para penumpang lain yang akan pergi atau yang datang kemudian menanti seseorang yang entah siapa untuk menjemputnya ditempat ini. Tentu kau tidak selamanya seperti itu, dengan hidup yang hanya terisi oleh ingatan – ingatan tentang lelaki sepertiku, tapi apakah aku tidak bersalah membohongi perasaanku sendiri, bahwa sepertinya kaupun tau aku sedang berada disini.

Masih ingatkah kau dengan kursi yang berada paling belakang itu? Tepat!, kau sudah menyebutnya dalam hatimu, mengingat – ngingatnya kembali dalam lembaran kenanganmu yang sudah tertutup itu. Di tempat itu sekarang aku tengah duduk, di sebelahku ada seorang perempuan tua yang nyaris tertidur, seperti dirmu setahun lalu, yang nyaris tertidur dan tersandar di bahu seorang lelaki yang berpura – pura polos, berkaca mata dan memakai setelan kemeja yang setiap hari dipakainya. Masih ingatkah dengan lelaki itu? Ya tentu! kau akan mengingatnya, apalagi tentang bagaimana lelaki itu juga nyaris tertidur menanti keberangkatan selanjutnya, lalu kepala kalian bersentuhan, dan suara terompet kereta kembali membuat kalian setengah tersadar saling melempar senyum.

Entah kenapa menyaksikan perempuan tua itu tertidur mengingatkanku padamu, ke tempat ini tentu adalah hal terbaik mengobati kenangan itu, memandangi setiap orang lalu lalang, dan suara –  suara manusia yang bercampur dengan gesekan roda besi atau dengan suara terompet, cukup bisa membuat ingatan itu kembali segar dan menghadirkan sosok dirimu dihadapanku.

Ada sebuah warung kopi yang ku datangi sebelum berada di tempat ini, tempat dimana kita dulu pertama kali bercerita panjang lebar, berbicara tentang hal – hal yang bahkan aku sendiri tak pernah mengetahuinya. Namun aku menyukai saat dimana kau tersenyum, dan akhirnya kebahagian itu terus mendorongku untuk memperpanjang cerita yang bahkan aku sendiri tak mengerti.

Di tempat itu aku memakan makanan yang kau makan malam itu, kau pasti ingat bahwa aku pernah membuat peraturan yang ketat di antara kita, karena perasanku yang tidak suka pada sayur. Kali ini aku memakannya, meski pahit dan terasa sepat akhirnya makan berair itu meluncur juga meninggalkan tenggorokanku. Perasaan sentimental itulah yang menggriringku meminta seporsi sayur yang setengah masak karena di rebus, seperti yang kau minta pada ibu penjajah makanan waktu itu. Sungguh tak enak, namun sulit bagiku membencinya lagi kali ini, mengunyah dedaunan yang katamu lezat itu hanya membuat tubuhku kembali bergetar, membayangkan saat dimana kedua bola mata kita saling menyatu dalam pandangan yang dalam.

Apakah kau masih mengingat semua itu, seperti aku mengingat betul tempat duduk dan caramu memegangi sendok makan atau ketika kau nyaris terlelap di staisun kereta waktu itu. Setelah ketidak sepahaman memisahkan kita, tentu dunia memiliki caranya tersendiri untuk membatasi kenyataan dan keinginan. Kau telah hidup dengan cara yang kau dan kedua orang tuamu inginkan, sedang aku terus terlarut dalam ingatan tentang senyum dan caramu bercanda, lalu perlahan menggulungku dalam ingatan tentang kisah – kisah kita yang sekarang mestinya harus ku kubur dalam – dalam.

Dulu kau pernah berkata, mungkin aku penulis yang bakal terkenal suatu waktu nanti, dan aku hanya tersenyum malu pada kenyataan bahwa semua itu kulakukan hanya untuk membuat dirimu bahagia. Tentu kaulah yang akan menjadi penulis besar kemudian hari nanti, dan aku akan dengan penuh kekaguman mengumpulkan semua buku – buku yang di tulis olehmu, mencari di setiap lembarnya, kemungkinan bahwa kau pernah mengingatku, lalu menuliskannya dalam sebuah paragraph, atau sebuah kalimat, lalu aku mendapati namaku terselip di dalam satu kata pendek yang kau sebut kenangan.

Kali ini aku berada di stasiun kereta itu, tempat dimana kita dulu pernah saling pura – pura malu untuk berpisah. Memandangi rel yang memanjang ke kotamu terus mengingatkanku pada malam – malam yang dingin, dengan hujan yang tak reda ketika aku datang mengunjungimu. Tentu itu saat yang paling tidak bisa ku lupakan, ketika dempet – dempetan rumah itu perlahan berlalu kebelakang, juga cahaya dan bau kotamu yang semakin dekat, atau tentang sawah yang menghampar jauh di sore hari ketika kotaku perlahan hilang dari pandangan, membuat jantungku terus berdetak.

Berada di kotamu, turun dari kereta lalu memandangi sekumpulan pengemudi ojek yang saling bersahutan, memanggil – memaggilku seolah kami pernah saling mengenal, atau berjalan menyisiri kota dengan gedung – gedung tinggi yang asing ku temui, membuatku terkenang pada saat terakhir kau mengantarku pulang, ketika aku tenang dan risau itu berhenti di pelukanmu.

Masih ingatkah kau dengan tanyaku malam itu, sebelum kita akhirnya benar – benar berpisah dan tak pernah kembali saling menatap, bercerita panjang lebar, lalu tertawa atau sekedar senyum malu – malu. “Jika kelak aku tidak mungkin berada di surga” kataku memandangimu dalam – dalam, “maukah kau ikut aku ke neraka?” lalu kau menjawab dengan senyum yang merekah, “iya, tentu sayang!”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun