Seorang lelaki tua pernah menceramahiku jauh sebelum pertemuan kita terjadi, ia berkata bahwa ujian terbesar dalam sebuah hubungan adalah kesetiaan, “Nak, Setia itu bukan hanya ada di dunia, juga di kehidupan selanjutnya kelak” katanya dengan menatap serius kearahku, “ingat itu nak!”
Kau pasti mengingatnya, karena aku membisikan kata itu dengan doa di telingamu. Ketika kau larut memeluk tubuhku yang gemetar karena hendak pulang dan membuat jarak antara kotamu dan kotaku.
Aku sendiri tidak menyesal, bahwa kemudian kita terpisah dan kau memilih jalan yang terbentang lebar di depanmu, atau aku yang tak bisa melupakanmu. Karena aku tidak mungkin berbohong pada diriku sendiri, sejauh apapun aku berjalan dan sekeras apapun aku berusaha, kita tetap tidak bisa bersatu seperti mimpi kita dahulu.
Di stasiun ini aku kembali mengingatmu, semua orang tentu akan menganggapku bodoh dengan datang ke tempat ini menunggu sesuatu yang tidak pasti, aku sendiri tak tau menganggap hal ini sebagai apa, tapi apakah kau mengingat kata – katamu dahulu, di taman kota yang berdiri sepasang beringin, ketika kita duduk berdua di tengah hamparan rumput kecil di bawahnya, “Hidup itu misteri” katamu semakin memperhalus suaramu, “dan perasaan seorang perempuan itu seperti samudera, tak bisa di tebak”.
Aku mengingat semua itu, ketika sebuah kereta melintas dan meniupkan terompetnya. Sebuah kereta yang datang dari barat, sebuah kereta yang lalu mengantarmu pulang meninggalkanku di sore yang mendung itu, dengan gerimis yang sederhana. Sebuah kereta yang sekarang selalu ku tunggu karena membawa bau kotamu dan bayang – bayang tentang senyum dan tawa yang sudah bertahun – tahun lamanya mengendap, lalu membatu di hatiku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H