Masyarakat semakin bodoh, hal ini bukanlah sebuah penghakiman, akan tetapi ini adalah fakta global. Di dunia di mana nilai IQ terus menerus menurun dan penurunan tersebut meluas baik di negara maju maupun negara berkembang tidak terkecuali Indonesia.Â
Adanya skenario yang lebih suram yaitu krisis  global, yang dapat melemahkan kapasitas umat manusia dalam memecahkan masalah dan membuat manusia tidak siap menghadapi tantangan kompleks yang ditimbulkan oleh AI, pemanasan global, dan perkembangan yang belum pernah manusia  bayangkan.
 Secara lebih luas, rata-rata skor IQ suatu negara tidak hanya dikaitkan dengan pertumbuhan ekonomi dan inovasi ilmiah. Namun juga potensi berakhirnya kemajuan di semua bidang lainnya, yang pada akhirnya akan mengarah pada berkurangnya terobosan ilmiah, perekonomian yang stagnan, dan meredupnya masa depan kolektif masyarakat secara umum.
Menurut laporan World Population Review 2024, Rata-rata IQ masyarakat Indonesia jauh di bawah rata-rata IQ penduduk dunia, yaitu antara 85 hingga 115. Rata-rata IQ masyarakat Indonesia adalah 78,49, angka ini menempatkan Indonesia  pada peringkat yang rendah, yaitu di peringkat ke-129 dari 197 negara yang diuji.
Berdasarkan riset yang dilakukan oleh World Population Review 2024 tersebut, rendahnya skor IQ masyarakat Indonesia dapat menandakan adanya kendala dalam pengembangan pendidikan. Hal ini membutuhkan upaya bersama dari pemerintah, sekolah, keluarga, serta masyarakat. Dengan meningkatkan kualitas pendidikan dan mengatasi berbagai faktor yang dapat menghambat perkembangan kognitif, Indonesia diharapkan  dapat meningkatkan skor IQ dan mencapai kemajuan di berbagai bidang.
Masyarakat Indonesia memiliki IQ rata-rata terendah di Asia Tenggara, hal ini merupakan salah satu penyebab masyarakat Indonesia sangat mudah untuk diadu domba, mudah berselisih paham serta mudah diarahkan untuk mendukung suatu hal yang salah. Sumber fundamental masalah  masyarakat Indonesia sangat mudah  diarahkan untuk mendukung sesuatu yang salah, permisif dan cenderung pragmatis terhadap Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme  adalah karena rendahnya skor IQ masyarakatnya.
Rendahnya skor IQ masyarakat Indonesia akan menjadi masalah dalam menghadapi kompleksnya permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia. Ada banyak sekali permasalahan yang terjadi di Indonesia saat ini seperti tingkat kemiskinan yang tinggi, literasi digital yang rendah, kasus kekerasan dan fanatisme kelompok maupun golongan intoleran, tingkat stunting yang tinggi serta berbagai permasalahan yang dapat menghambat kemajuan bangsa. Sehingga wajar saja apabila orang Indonesia masih terpapar isu-isu Hoax, mudah di adu domba dan berkepala panas dalam merespon sesuatu. Ada beberapa indikasi dari rendahnya IQ masyarakat, yaitu sebagai berikut:
1.Kerentanan terhadap Misinformasi: Masyarakat dengan IQ rendah mungkin merasa lebih sulit untuk mengevaluasi secara kritis kredibilitas sumber informasi, sehingga membuat masyarakat lebih rentan untuk mempercayai informasi yang salah atau menyesatkan.
2.Kesulitan dalam Pemecahan Masalah: Masyarakat mungkin kesulitan untuk memecahkan masalah yang kompleks, mempertimbangkan berbagai perspektif, dan mengembangkan solusi yang efektif, sehingga menyebabkan pengambilan keputusan yang buruk.
3.Fleksibilitas Kognitif yang Terbatas: Dengan berkurangnya kemampuan untuk mengadaptasi pemikiran masyarakat terhadap informasi baru dan berubah, masyarakat mungkin menunjukkan pola berpikir yang kaku, sehingga sulit untuk menyesuaikan diri dengan situasi baru atau belajar hal baru.
Studi empiris menemukan bahwa masyarakat intelektual, yaitu masyarakat yang memiliki IQ tinggi, berkontribusi lebih besar terhadap pembangunan sosial ekonomi dan kemajuan teknologi di tingkat nasional dibandingkan dengan masyarakat yang berkemampuan rata-rata. Skor IQ seseorang dapat mencerminkan kualitas pendidikan serta sumber daya yang tersedia di wilayah geografis masyarakat itu tinggal.
Mentalitas feodal yang kelihatannya masih tertanam kuat dalam jiwa masyarakat Indonesia sangat perlu diubah karena mentalitas feodal tersebut merupakan kendala tumbuhnya nilai-nilai demokrasi.Â
Saat ini, masyarakat Indonesia terutama generasi muda disuguhi praktik kolusi, korupsi dan nepotisme yang berlangsung secara gamblang di depan mata. Bahkan yang terjadi saat ini untuk masuk dalam bidang politik dapat dilakukan secara instan asalkan ada keluarga/pejabat nasional yang mendukung. Selain itu untuk menjadi ketua partai politik juga sangat mudah asal dari keluarga tertentu walaupun tidak punya kapasitas.
Ciri-ciri kehancuran sebuah negara ditandai dengan mudahnya masyarakat untuk diadu domba, dipecah belah dan menormalisasi Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme. Keluarga dan kerabat pejabat maupun politisi yang berpolitik sudah menjadi hal lumrah di Indonesia.Â
Walaupun Dinasti politik tidak cocok dan cenderung bertentangan dengan demokrasi karena prinsip dinasti politik adalah pemusatan kekuasaan. Hal ini bertentangan  dengan demokrasi yang berpijak pada desentralisasi kekuasaan, baik secara vertikal maupun horizontal. Kekuasaan yang terpusat cenderung erat dengan kekuasaan absolut. Kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut juga. Inilah alasan fundamental mengapa dinasti politik dicurigai terjalin erat dengan korupsi.
Merebut dan mempertahankan kekuasaan bagi dinasti politik, didasari pada dua motivasi utama, yaitu:
1.Membangun reputasi serta nama baik (reputation building).
2.Menumpuk kekayaan (stockpiling wealth). Kekuasaan adalah jalan tercepat untuk menumpuk kekayaan.
Walaupun secara normatif dan teoretis, terutama melalui mekanisme reputation building, dinasti politik dapat saja berdampak positif bagi masyarakat, namun data empiris yang tersedia umumnya menunjukkan kaitan yang erat antara dinasti politik dan korupsi. Dinasti politik memiliki korelasi dengan tingkat korupsi yang jauh lebih tinggi. Artinya, negara/daerah yang kekuasaannya dipegang oleh dinasti politik cenderung memiliki tingkat korupsi yang lebih parah.Â
Masyarakat yang permisif dan cenderung pragmatis terhadap Kolusi, Korupsi dan Nepotisme menghargai orang yang mau bagi-bagi uang demi kepentingannya, dalam hal ini dinasti politik yang memiliki motivasi menumpuk kekayaan justru akan memperoleh reputasi yang sangat baik. Apabila secara normatif motivasi reputation building bertentangan dengan motivasi menumpuk kekayaan, namun kenyataannya justru dua motivasi ini dapat saling mendukung. Maka makin sulitlah Indonesia dalam memberantas korupsi.
Sudah sangat jelas kiranya, dinasti politik sebaiknya diputus bukan didukung karena hal ini akan membantu pencegahan korupsi. Jika penegakan hukum di Indonesia sudah baik, barulah masyarakat boleh tidak terlalu mempermasalahkannya. Memutus dinasti politik melalui larangan undang-undang sudah tidak dapat dilakukan karena menurut  Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Mahfud MD bahwa  Negara ini cara berhukumnya sudah rusak dan dirusak.
Dinasti politik dilarang oleh undang-undang. Namun, Mahkamah Konstitusi menganulirnya melalui proses judicial review. Â Dinasti politik umumnya bermakna negatif karena terkait dengan korupsi. Korupsi yang dilakukan oleh dinasti politik mengesankan korupsi yang sangat terstruktur, sistematis, dan masif. Tingkat kerusakan dan bahaya laten yang ditimbulkannya menjadi berlipat dibandingkan dengan korupsi yang dilakukan orang per orang. Â
Setelah publik dikejutkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang dinilai kontroversial yaitu putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023. Baru-baru ini publik dikejutkan lagi oleh Putusan Mahkamah Agung Nomor 23 P/HUM/2024. Di Tengah hiruk pikuk berbagai peristiwa di Tanah Air, saat ini jagat media sosial  Indonesia dibombardir oleh empat Rancangan Undang-Undang yang disepakati Dewan Perwakilan Rakyat untuk menjadi usul inisiatif DPR. Empat Rancangan Undang-Undang tersebut, di antaranya revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, revisi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, dan revisi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Ironisnya, masyarakat Indonesia seolah-olah semakin menikmati adanya gempuran yang bertubi-tubi ini. Tanpa merasa terancam, masyarakat dengan senang hati lebih memilih permisif dan cenderung pragmatis terhadap peraturan-peraturan tersebut yang banyak menimbulkan misinformasi di masyarakat.
Masyarakat dengan IQ rendah tidak dapat membedakan mana yang misinformasi atau sedang dibodohi. Masyarakat yang terlalu mudah tertipu terhadap informasi yang dikomunikasikan, termasuk misinformasi kemampuan masyarakat tersebut untuk menunjukkan ketidakpercayaan dan skeptisisme terhadap orang lain, struktur masyarakat, dan institusi menunjukkan bahwa di satu sisi masyarakat mungkin rentan terhadap misinformasi, terutama jika hal ini sesuai dengan keyakinan mereka, dan pada saat yang sama mereka juga sangat menolak segala upaya wajar untuk mengoreksi keyakinan salah yang mungkin timbul dari informasi tersebut. Perlunya mengintegrasikan kedua literatur ini dalam kerangka yang sama merupakan langkah yang berguna untuk memahami potensi dampak dari misinformasi politik, serta solusi terbaik untuk masalah kontemporer ini.
Misinformasi politik dapat berdampak signifikan pada masyarakat dengan rata-rata IQ yang rendah. Bukti-bukti menunjukkan bahwa misinformasi politik tampaknya mempengaruhi cara berpikir masyarakat. Selain itu, upaya untuk memperbaiki kesalahan persepsi politik akibat misinformasi tidak selalu efektif karena upaya tersebut tidak dapat sepenuhnya menghilangkan dampak misinformasi. Hal ini mengungkapkan ketegangan dalam kognisi manusia antara dua mekanisme, yaitu sifat mudah tertipu dan kewaspadaan epistemik yang kadang-kadang diaktifkan. Mekanisme tersebut tampaknya misfire dalam bidang informasi politik, yang mengakibatkan masyarakat tampak terlalu mudah tertipu terhadap informasi yang tidak akurat dan terlalu waspada terhadap informasi yang benar.
Masyarakat Indonesia lebih cenderung mempercayai informasi yang salah jika informasi tersebut berasal dari sumber dalam kelompok dibandingkan sumber dari luar kelompok, atau jika mereka menilai sumber tersebut dapat dipercaya. Kandungan emosional dari misinformasi juga sangat berperan, masyarakat lebih cenderung mempercayai pernyataan palsu yang membangkitkan emosi seperti ketakutan dan kemarahan.Â
Masyrakat juga lebih cenderung mempercayai misinformasi yang memberikan kesan negatif kepada lawannya dibandingkan mempercayai misinformasi yang bersifat negatif mengenai kelompoknya sendiri. Terakhir, masyarakat lebih cenderung mempercayai informasi yang diulang-ulang, walaupun informasi tersebut bertentangan dengan pengetahuan mereka sebelumnya. Hal ini menunjukkan pentingnya menghentikan misinformasi sejak dini karena hal tersebut merupakan salah satu indikasi rendahnya skor IQ rata-rata masyarakat yang dapat membawa kehancuran bagi bangsa dan negara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H