Mohon tunggu...
KURNIAWATI AGUSTIN
KURNIAWATI AGUSTIN Mohon Tunggu... Wiraswasta - "Nulla Aetas Ad Discendum Sera"

Legal Research Assistant

Selanjutnya

Tutup

Hukum

IQ Jongkok Sumber Kehancuran Negara

6 Juni 2024   21:44 Diperbarui: 15 Juni 2024   22:00 1274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar: https://www.kompasiana.com/kurniawatiagustin0142

Mentalitas feodal yang kelihatannya masih tertanam kuat dalam jiwa masyarakat Indonesia sangat perlu diubah karena mentalitas feodal tersebut merupakan kendala tumbuhnya nilai-nilai demokrasi. 

Saat ini, masyarakat Indonesia terutama generasi muda disuguhi praktik kolusi, korupsi dan nepotisme yang berlangsung secara gamblang di depan mata. Bahkan yang terjadi saat ini untuk masuk dalam bidang politik dapat dilakukan secara instan asalkan ada keluarga/pejabat nasional yang mendukung. Selain itu untuk menjadi ketua partai politik juga sangat mudah asal dari keluarga tertentu walaupun tidak punya kapasitas.

Ciri-ciri kehancuran sebuah negara ditandai dengan mudahnya masyarakat untuk diadu domba, dipecah belah dan menormalisasi Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme. Keluarga dan kerabat pejabat maupun politisi yang berpolitik sudah menjadi hal lumrah di Indonesia. 

Walaupun Dinasti politik tidak cocok dan cenderung bertentangan dengan demokrasi karena prinsip dinasti politik adalah pemusatan kekuasaan. Hal ini bertentangan  dengan demokrasi yang berpijak pada desentralisasi kekuasaan, baik secara vertikal maupun horizontal. Kekuasaan yang terpusat cenderung erat dengan kekuasaan absolut. Kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut juga. Inilah alasan fundamental mengapa dinasti politik dicurigai terjalin erat dengan korupsi.

Merebut dan mempertahankan kekuasaan bagi dinasti politik, didasari pada dua motivasi utama, yaitu:

1.Membangun reputasi serta nama baik (reputation building).

2.Menumpuk kekayaan (stockpiling wealth). Kekuasaan adalah jalan tercepat untuk menumpuk kekayaan.

Walaupun secara normatif dan teoretis, terutama melalui mekanisme reputation building, dinasti politik dapat saja berdampak positif bagi masyarakat, namun data empiris yang tersedia umumnya menunjukkan kaitan yang erat antara dinasti politik dan korupsi. Dinasti politik memiliki korelasi dengan tingkat korupsi yang jauh lebih tinggi. Artinya, negara/daerah yang kekuasaannya dipegang oleh dinasti politik cenderung memiliki tingkat korupsi yang lebih parah. 

Masyarakat yang permisif dan cenderung pragmatis terhadap Kolusi, Korupsi dan Nepotisme menghargai orang yang mau bagi-bagi uang demi kepentingannya, dalam hal ini dinasti politik yang memiliki motivasi menumpuk kekayaan justru akan memperoleh reputasi yang sangat baik. Apabila secara normatif motivasi reputation building bertentangan dengan motivasi menumpuk kekayaan, namun kenyataannya justru dua motivasi ini dapat saling mendukung. Maka makin sulitlah Indonesia dalam memberantas korupsi.

Sudah sangat jelas kiranya, dinasti politik sebaiknya diputus bukan didukung karena hal ini akan membantu pencegahan korupsi. Jika penegakan hukum di Indonesia sudah baik, barulah masyarakat boleh tidak terlalu mempermasalahkannya. Memutus dinasti politik melalui larangan undang-undang sudah tidak dapat dilakukan karena menurut  Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Mahfud MD bahwa  Negara ini cara berhukumnya sudah rusak dan dirusak.

Dinasti politik dilarang oleh undang-undang. Namun, Mahkamah Konstitusi menganulirnya melalui proses judicial review.  Dinasti politik umumnya bermakna negatif karena terkait dengan korupsi. Korupsi yang dilakukan oleh dinasti politik mengesankan korupsi yang sangat terstruktur, sistematis, dan masif. Tingkat kerusakan dan bahaya laten yang ditimbulkannya menjadi berlipat dibandingkan dengan korupsi yang dilakukan orang per orang.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun