Setelah publik dikejutkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang dinilai kontroversial yaitu putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023. Baru-baru ini publik dikejutkan lagi oleh Putusan Mahkamah Agung Nomor 23 P/HUM/2024. Di Tengah hiruk pikuk berbagai peristiwa di Tanah Air, saat ini jagat media sosial  Indonesia dibombardir oleh empat Rancangan Undang-Undang yang disepakati Dewan Perwakilan Rakyat untuk menjadi usul inisiatif DPR. Empat Rancangan Undang-Undang tersebut, di antaranya revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, revisi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, dan revisi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Ironisnya, masyarakat Indonesia seolah-olah semakin menikmati adanya gempuran yang bertubi-tubi ini. Tanpa merasa terancam, masyarakat dengan senang hati lebih memilih permisif dan cenderung pragmatis terhadap peraturan-peraturan tersebut yang banyak menimbulkan misinformasi di masyarakat.
Masyarakat dengan IQ rendah tidak dapat membedakan mana yang misinformasi atau sedang dibodohi. Masyarakat yang terlalu mudah tertipu terhadap informasi yang dikomunikasikan, termasuk misinformasi kemampuan masyarakat tersebut untuk menunjukkan ketidakpercayaan dan skeptisisme terhadap orang lain, struktur masyarakat, dan institusi menunjukkan bahwa di satu sisi masyarakat mungkin rentan terhadap misinformasi, terutama jika hal ini sesuai dengan keyakinan mereka, dan pada saat yang sama mereka juga sangat menolak segala upaya wajar untuk mengoreksi keyakinan salah yang mungkin timbul dari informasi tersebut. Perlunya mengintegrasikan kedua literatur ini dalam kerangka yang sama merupakan langkah yang berguna untuk memahami potensi dampak dari misinformasi politik, serta solusi terbaik untuk masalah kontemporer ini.
Misinformasi politik dapat berdampak signifikan pada masyarakat dengan rata-rata IQ yang rendah. Bukti-bukti menunjukkan bahwa misinformasi politik tampaknya mempengaruhi cara berpikir masyarakat. Selain itu, upaya untuk memperbaiki kesalahan persepsi politik akibat misinformasi tidak selalu efektif karena upaya tersebut tidak dapat sepenuhnya menghilangkan dampak misinformasi. Hal ini mengungkapkan ketegangan dalam kognisi manusia antara dua mekanisme, yaitu sifat mudah tertipu dan kewaspadaan epistemik yang kadang-kadang diaktifkan. Mekanisme tersebut tampaknya misfire dalam bidang informasi politik, yang mengakibatkan masyarakat tampak terlalu mudah tertipu terhadap informasi yang tidak akurat dan terlalu waspada terhadap informasi yang benar.
Masyarakat Indonesia lebih cenderung mempercayai informasi yang salah jika informasi tersebut berasal dari sumber dalam kelompok dibandingkan sumber dari luar kelompok, atau jika mereka menilai sumber tersebut dapat dipercaya. Kandungan emosional dari misinformasi juga sangat berperan, masyarakat lebih cenderung mempercayai pernyataan palsu yang membangkitkan emosi seperti ketakutan dan kemarahan.Â
Masyrakat juga lebih cenderung mempercayai misinformasi yang memberikan kesan negatif kepada lawannya dibandingkan mempercayai misinformasi yang bersifat negatif mengenai kelompoknya sendiri. Terakhir, masyarakat lebih cenderung mempercayai informasi yang diulang-ulang, walaupun informasi tersebut bertentangan dengan pengetahuan mereka sebelumnya. Hal ini menunjukkan pentingnya menghentikan misinformasi sejak dini karena hal tersebut merupakan salah satu indikasi rendahnya skor IQ rata-rata masyarakat yang dapat membawa kehancuran bagi bangsa dan negara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H