Doktrin Pertahanan Negara tahun 2007 disebutkan bahwa Indonesia menggunakan Strategi Perang Rakyat Semesta yang pada hakekatnya adalah, Perang Total seluruh rakyat Indonesia dengan mengerahkan segenap kekuatan dan sumber daya nasional untuk menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah dan keselamatan bangsa dari bangsa lain yang mengancam atau menduduki wilayah NKRI (Widjajanto, 2004). Perang Rakyat Semesta memiliki sifat kerakyatan, kesemestaan dan kewilayahan, dengan sifat kesemestaan yang dimaksud adalah melalui pengerahan seluruh kekuatan dan sumber daya nasional Indonesia untuk dapat dimobilisasi guna kepentingan menghadapi ancaman, baik dari luar maupun dalam negeri (Eko, 2021).
Kekuatan Nasional suatu negara adalah merupakan kekuatan yang ada dalam negara itu, untuk dapat mempengaruhi negara-negara lain, yang dalam pengertian perang kekuatan nasional ini akan digunakan untuk dapat mengalahkan musuh yang dihadapi (Eko, 2020). Menurut Morgenthau, kekuatan nasional suatu negara dibagi dalam 8 elemen, yang bersifat alamiah (Geografi, Sumber Daya Alam, Penduduk), serta yang bersifat sosial (Kapasitas Industri, Kesiapsiagaan Militer, Karakter/Kepemimpinan, Semangat/Moral Nasional, Kualitas diplomasi) (Morgenthau, 1948). Yang dalam penerapannya dapat menggunakan 4 instrumen, yakni Diplomasi, Intelijen, Militer dan juga Ekonomi (Farlin, 2014).
Diplomasi.
Pengerahan kekuatan nasional di bidang Diplomasi dilakukan mulai dari sebelum pelaksanaan tindakan ofensif, sampai dengan lepasnya Timor Timur dari Indonesia. Diplomasi yang dilakukan sebelum pelaksanaan tindakan ofensif diantaranya adalah mencari dukungan atas tindakan invasi yang akan dilakukan sampai dengan mendapatkan dukungan persenjataan yang mencukupi. Sementara itu ketika Timor-timur sudah terintegrasi, keuatan Diplomasi Indonesia terus dikerahkan untuk meyakinkan dunia luas bahwa keberadaan Indonesia adalah sah dan merupakan kehendak dari masyarakat.
Pada awalnya kekuatan Diplomasi Indonesia  berhasil untuk mendukung tercapainya kepentingan nasional untuk mengintegrasikan Timor Portugis, yang ditandai dengan terdapatnya unsur masyarakat setempat yang menginginkan berintegrasi dengan Indonesia dan juga dukungan dari beberapa besar dunia yang ditandai dengan kehadiran Presiden AS sesaat sebelum serangan pertama dilakukan (Japesa, 2015). AS juga memberikan izin kepada Indonesia untuk menggunakan persenjataan-persenjataan yang baru di beli, diantaranya pesawat OV-10 Bronco yang sangat ideal untuk mendukung pelaksanaan operasi darat.
Setelah menjadi bagian dari Indonesia, kekuatan Diplomasi tetap dikerahkan untuk menyakinkan keabsahan integrasi Timor-timur, walaupun kurang mencapai hasil yang diharapkan ketika banyak negara di dunia, termasuk PBB masih mempersoalkan hal tersebut. Akan tetapi ketika Timor-timor harus dilepas, kekuatan Diplomasi terus berupaya agar proses kemerdekaan Timor Leste dapat berjalan dengan baik tanpa ada upaya untuk memperpanjang permasalahan yang masih mengganjal.
Intelijen.
Intelijen Indonesia sangat berperan penting dalam mendukung perang yang akan terjadi, baik dalam mengumpulkan informasi terkait kondisi geografis, SDA, penduduk dan kondisi sosial masyarakat Timor Portugis. Operasi penggalangan berhasil dilaksanakan, sehingga berhasil dibentuknya partai APODETI yang mendukung integrasi dengan Indonesia, termasuk ketika UDT didesak oleh Fretilin kemudian mengalihkan keinginannya untuk juga berintegrasi dengan Indonesia, yang diwujudkan dalam penandatanganan Deklarasi Balibo (Timorese, 2002).
Kegiatan Intelijen juga dilakukan ke dalam negeri, terutama dalam mendapatkan dukungan dari masyarakat Indonesia. Salah satunya adalah meyakinkan bahwa serangan yang dilakukan adalah untuk mencegah berkuasanya Komunis di dalam wilayah Nusantara (sentimen anti-Komunis masih tinggi di Indonesia) dan integrasi Timor Timur adalah keinginan dari masyarakatnya sendiri yang diwujudkan dalam bentuk Deklarasi Balibo. Kepemimpinan yang kuat dari Soeharto saat itu menjadikan moral nasional menjadi terpadu untuk mendukung proses integrasi Timor-Timur tersebut.
Militer.
Kesiapan militer Indonesia pada saat itu dapat dikatakan tidak terlalu baik, hal ini disebabkan banyak persenjataan yang dimiliki tidak lagi dapat digunakan oleh karena putusnya dukungan dari Uni Sovyet, sehingga diperlukan dukungan senjata baru dari negara lain, dalam hal ini AS. Dilain pihak hubungan yang membaik dengan AS dan negara-negara blok "barat" menyebabkan kesiapan militer Indonesia mengalami peningkatan, oleh karena gencarnya kegiatan pendidikan dan pelatihan bersama yang diselenggarakan pada saat itu.