Mohon tunggu...
adwin kurniawan
adwin kurniawan Mohon Tunggu... Lainnya - Student

Reading

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Berkaca pada Skenario Kehidupan

5 Oktober 2023   00:05 Diperbarui: 5 Oktober 2023   03:04 223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dua orang psikolog, Robert Kegan dan Lisa Laskow Lahey, menyusun sebuah makalah berjudul "The Real Reason People Won't Change" dalam jurnal Harvard Business Review pada 2001 silam.  Kedua psikolog tersebut sebenarnya meneliti tentang perubahan-perubahan seseorang dalam lingkup organisasi bisnis. Kegan dan Lahey memahami bahwa ada sebuah dinamika psikologis yang disebut dengan competing commitment.

Makalah tersebut menjelaskan bahwa membantu orang dalam menghadapi keterbatasan-kerterbatasan mereka untuk menjadi lebih sukses di pekerjaan adalah inti dari manajemen yang efektif (Kegan dan Lahey, 2001).

Namun makalah tersebut juga bermanfaat dalam memahami pengembangan diri secara pribadi.

Cukup membingungkan bagi saya ketika harus menuliskan kaitan kepemimpinan dan perubahan dengan aktifitas dan episode dalam kehidupan saya. Saya harus mengingat waktu dan peristiwa yang sudah saya lewati seumur hidup saya.

Menghabiskan Waktu dengan Aktifitas di Kampus dan Kampung.

Selama saya menyelesaikan perkuliahan saya di Universitas Sebelas Maret saya cukup aktif ikut kegiatan mahasiswa. Saya ikut sejumlah kegiatan di Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK) dan juga Teater di jurusan Sastra Inggris. Kedua hal itu terkait dengan latar belakang saya. Saya juga sangat sering melihat pameran dan pementasan seni.

Selain aktif di kampus, secara bersamaan saya juga terlibat dalam kegiatan anak muda di lingkungan tempat tinggal saya di kota Solo. Saya ikut kelompok Sinoman dan juga sempat menjadi Panitia Pemungutan Suara dalam Pilpres 2009 di kelurahan saya. Ini adalah fase dimana saya melihat aktifitas itu sebagai bagian sosialisasi ke banyak orang.

Sikap yang saya tanamkan dalam diri saya waktu itu adalah belajar merasakan pengalaman melalui beragam kegiatan, tentu dengan segala keterbatasan.

Belajar dan merasakan pengalaman mungkin merupakan competing commitments yang menonjol dimasa itu.

Kegan dan Lahey (2001) melihat bahwa competing commitments mencerminkan sebuah bentuk perlindungan diri, dorongan manusiawi yang sangat rasional dan alamiah. Mungkin penjelasan ini juga bisa menggambarkan diri saya pada waktu itu.

Garis Tangan dan Kamera yang Melekat Selama 13 Tahun.

Saya percaya bahwa milyaran manusia di Bumi punya garis tangan yang benar-benar sama. Semua menjalani waktu dan jalan kehidupannya masing-masing.

Sehingga sesuatu yang bermakna itu terlalu banyak, tentu cukup susah untuk mencari mana yang penting penting, mana yang sudah terlupakan. Namun pada dasarnya, pekerjaan adalah jalan pertama saya memahami pola kehidupan. 

Sebagai kamerawan dan jurnalis di sebuah stasiun televisi, saya menyimpulkan bahwa kamera menjadi sesuatu yang sudah melekat dengan garis tangan saya 13 tahun terakhir. Kamera saya gunakan untuk bekerja merekam ribuan orang, ribuan peristiwa, ribuan skenario kehidupan yang dijalani dan dimaknai orang-orang lain. Hal itu saya lakukan hampir setiap hari.

Pekerjaan itu justru membawa saya kemanapun, ke tempat dan peristiwa yang tidak pernah terpikirkan. Mungkin hampir 200 kota baik yang besar maupun yang kecil. Banyak kota  metropolis maupun kota kecil yang dekat dengan alam liar pernah saya jelajahi. Namun, saya juga kerapkali tidak diberi penugasan liputan karena telah membuat kesalahan ataupun pertimbangan lain.

Semua manusia harus menjalani kehidupan dan menghayati perannya masing-masing. Shakespeare menuliskan 'all the world's a stage'. Dunia ini panggung sandiwara. Manusia hanya lakon. Ketika saya ditugaskan untuk meliput kegiatan kepala negara di tahun 2016-2018. Saya hanya menjalankan lakon saya. Waktu itu politik dan kebangsaan sedang diuji. Sejumlah peristiwa besar membawa saya dan kepala negara dalam satu ruang yang sama, dengan sedikit orang, seperti tenda di Monas dan ruang kerja Soekarno di Istana Bogor. Bahkan, saya dan kepala negara itu pernah bersekolah di SMP dan SMA yang sama, saya anggap itu hanya kesamaan alur saja. Saya merefleksi diri, namun kembali ke pemahaman bahwa hidup ini lakon yang harus melewati setiap babak cerita. Garis tangan itu skenario kehidupan.

Memilih dan memahami sebuah pekerjaan dengan baik bisa memberi pengalaman positif bagi seseorang. 

Hal ini juga akan bermanfaat dalam kepemimpinan. Peran setiap orang harus dipahami dengan baik, latar belakang dan juga pengalamannya. Hal itu akan menentukan apakah peran seseorang bisa berlanjut, berhenti atau harus dikembangkan.

Transparency Camp

Saat itu musim gugur di Cleveland. Aktivitas warga dan lalu lintas cukup lengang, namun perpustakaan kota itu cukup sibuk dengan kegiatan Transparency Camp. Anak-anak muda dengan latar belakang berbagai bidang turut berpartisipasi. Kalau tak salah hitung, mungkin ada sekitar seratus anak muda terlibat. Saya dan rekan saya juga ada disitu. Namun, kami ikut separuh dari kegiatan yang dijadwalkan. Kurang lebih selama dua hari, kami mondar-mandir dari hotel ke perpustakaan kota ditemani seorang produser perempuan warga Amerika Serikat tetapi berdarah Jerman.

Transparency Camp mewadahi anak-anak muda untuk memperkuat nilai-nilai demokrasi melalui keterbukaan dan peran publik. Isu-isu dan inovasi-inovasi yang dipaparkan oleh para pemateri cukup beragam, dari urusan teknologi hingga sosial, semua demi memperkuat posisi publik di level organisasi hingga negara. 

Perbedaan kultur sangat kuat sehingga membuat saya lebih banyak mendengar pemaparan setiap peserta. Kegiatan ini memberi pemahaman kepada diri saya bahwa kompetensi anak muda atau semangat positif anak muda itu bisa jadi jalan keluar untuk beragam problematika. 

Pindah ke Yogyakarta Untuk Kuliah dan Memulai Episode Kehidupan yang Baru.

Berpisah dengan Jakarta dan pindah ke kota Yogyakarta yang lebih tenang adalah pilihan hidup yang sudah saya rencanakan. Keinginan ini semakin menguat ketika pandemi melumpuhkan semua sisi kehidupan. Beruntungnya rencana ini bisa terwujud, di waktu yang tepat. Ketika kondisi bisnis perusahaan tempat saya bekerja itu menurun, saya justru mendapat beasiswa S2 di Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Kuliah adalah kegiatan utama saat ini. Saya juga melihat ini sebagai sebuah tiket untuk mewujudkan rencana. Saya mengambil langkah ini sebagai sebuah keputusan. Kini proses mewujudkan rencana ini sedang saya lalui. Saya harus beradaptasi dengan kebiasaan dan rutinitas yang baru, dengan lanskap tempat tinggal yang baru, orang-orang yang baru, pengalaman baru yang akan saya lewati. 

Shifting adalah langkah taktis saya.

Apa yang saya sadari sebenarnya bisa menegaskan kembali penjelasan Suwardi Endraswara (2010) bahwa mengubah energi berpikir negatif ke berpikir positif, tidak seperti orang membalik telapak tangan. Energi positif merupakan mesin pemikiran orang Jawa yang apabila dikelola, akan mengantarkan sampai tingkat keselamatan.

Seiring berjalannya waktu, saya akan mengerti bahwa suatu saat orang lain bahkan diri saya sendiri bisa bersikap dan berperilaku buruk.

Dalam artikel "How People Change', yang terbit di harian New York Times, David Brooks (2012) menjelaskan bahwa "orang berperilaku buruk karena mereka kurang memiliki informasi mengenai kesalahpahaman mereka. Mereka berperilaku buruk  karena mereka terjatuh dalam pola kebiasaan yang merusak dari sesuatu yang tidak bisa mereka hindari."

Lantas saya memahami hal apa yang perlu digaris bawahi dalam perjalanan dan aktifitas hidup saya. 

1. Adaptasi dengan Perubahan dan Keberagaman.

Berdasar pengalaman dan aktifitas saya selama ini,  hal terpenting adalah sikap untuk mengakui bahwa keberagaman dan perubahan itu sesuatu yang nyata dan tidak bisa dihindari. Keberagaman itu bisa kita temui di lingkungan tempat tinggal, universitas, pekerjaan dan tentu di masyarakat.  Menyempatkan diri walau sebentar untuk memahami orang lain maupun keadaan itu tidak merugikan kita. Justru memberi kesempatan kita untuk melihat perbedaan dan perubahan itu dengan lebih baik. 

Lantas kita beradapatasi dengan semua hal itu dengan mengambil hal yang sama dan mengurangi hal-hal yang memperuncing perbedaan. Dengan sikap seperti ini asumsi-asumsi yang tidak sesuai akan mendapat evaluasi yang bisa menuntun kita maupun orang lain.

Perubahan adalah sesuatu yang mungkin ditakuti banyak orang namun itu hal yang diperlukan.  Kegan dan Lahey (2001) menyatakan dalam pengembangan diri, langkah terakhir adalah untuk mengubah ketakutan yang pasif menjadi pernyataan yang mencerminkan komitmen yang aktif untuk mencegah hasil tertentu (yang negatif).

2. Capaian-Capaian Tidak Harus Membebani Diri.

Aktifitas dan rutinitas kerap kali melelahkan kita baik secara fisik maupun psikis, terlebih jika terkait dengan pencapaian yang hendak diraih. Saya menyadari bahwa waktu tidak akan berulang sehingga perlu berhenti sejenak, untuk refleksi diri dan mengambil keputusan. Hal itu demi memiliki kehidupan yang lebih memberi dampak positif dan membuat nyaman. Hal yang paling bernilai dan bermakna bagi kita haruslah menjadi pertimbangan yang utama. 

Hidup yang seimbang adalah idaman setiap orang. Terkait hal ini pengalaman hidup yang seimbang adalah hal yang sangat mendasar. Kurangnya perhatian yang berkepanjangan pada diri menyebabkan pengembangan diri terhambat, mempersempit cara pandang, stres dan disorientasi pada individu (Shea dan Gilmore, 1998).

Daftar Pustaka

Kegan, Robert & Lahey, Lisa Laskow. (2021). The Real Reason People Won't Change.

Endraswara, Suwardi. (2011). Orang Jawa Memandang Perang Kembang.

Brooks, David. (2012). How People Change. New York Times.

Shea, Gregory & Gilmore, Thomas. (1998). Mindfulness and Executive Education.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun