Mohon tunggu...
Kurnia Ratna Amalia
Kurnia Ratna Amalia Mohon Tunggu... Lainnya - MAHASISWA

fakultas syariah

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perkawinan dan Cara Mencegah Terjadinya Perceraian

21 Maret 2023   22:50 Diperbarui: 21 Maret 2023   23:16 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nama: Kurnia Ratna Amalia
NIM: 212121090
HKI 4C

Hukum Perdata Islam di Indonesia

Hukum Perdata Islam di Indonesia menurut Prof. Dr. Ahmad Rafiq yakni Hukum atau ketentuan di dalam islam yang mengatur tentang hubungan perorangan dan kekeluargaan diantara warga Indonesia yang menganut agama islam. Dalam fikih islam, hukum perdata islam berarti peraturan (hukum islam) yang mengatur hubungan antr individu. Sedangkan secara istilah Hukum Perdata Islam merupakan sepotongan dari hukum Islam yang telah berlaku secara yuridis formal atau dengan kata lain menjadi hukum positif dalam tata hukum Indonesia. Hukum perdata islam sendiri mencakup beberapa ilmu seperti hukum perkawinan, talak, waris, wasiat dan yang lainnya.

Prinsip Perkawinan Menurut UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI

Dalam UU No. 1 Tahun 1974 terdapat beberapa prinsip mengenai perkawinan, diantaranya sebagai berikut; Pertama, membentuk keluarga yang kekal. Prinsip yang pertama ini bertujuan untuk mempererat ikatan perkawinan, sehingga celah untuk bercerai diantara keduanya tidak terjadi. Kedua, sah apabila dilakukan sesuai hukum masing-masing agama dan kepercayaan. Yang dimana terdapat beberapa hukum perkawinan di Indonesia yang mengatur secara rinci mengenai masalah perkawinan. Ketiga, monogami terbuka dengan izin pengadilan untuk poligami. Maksudnya, bagi para suami yang hendak berpoligami harus dengan izin pengadilan. 

Dalam UU No. 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwasannya asas perkawinan itu monogami. Namun pada pasal setelahnya masih memberi jalan bagi suami yang hendak poligami. Itulah yang disebut dengan asas monogami terbuka. Keempat, batas usia masing-masing mempelai yaitu babgi laki laki 19 tahun dan perempuan 16 tahun. Namun setelah itu di ubah dalam UU No. 16 Tahun 2019 yaitu masing-masing memiliki batas usia minimal 19 tahun. Kelima, putusnya perkawinan dengan putusan pengadilan. 

Yakni ikatan perkawinan yang telah terjalin akan berakhir apabila telah melalui proses perceraian dan pengadilan telah mengabulkan atas guugatan perceraian yang ada. Prinsip terakhir keenam, yaitu kedudukan suami dan istri seimbang. Artinya, segala kehidupan berumah tangga harus diputuskan bersama-sama antara suami dan istri. Selain itu, masing masing memiliki kewajiban yang harus dilaksanakan serta hak yang tidak dapat diabaikan oleh keduanya. Terjadinya kelalaian dari salah satu pihak akan memicu keretakan rumah tangga hingga dapat menyebabkan perceraian.

Sedangkan prinsip-prinsip perkawinan yang terdapat di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) yaitu (1) adanya persetujuan atau suka rela kedua mempelai. Yakni perkawinan harus dengan persetujuan kedua pihak serta tanpa paksaan, sesuai dengan Pasal 6 ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974 mengenai perkawinan dilakukan atas dasar persetujuan kedua calon mempelai. 

(2) Prinsip selanjutnya yaitu larangan kawin karena pertalian nasab, pertalian kerabat semenda, dan pertalian persesusuan. (3) Terpenuhinya rukun dan syarat perkawinan. (4) Tujuan perkawinan yaitu mewujudkan kehidupan berumah tangga yang sakinah mawaddah warohmah. (5) prinsip terakhir yaitu hak dan kewajiban suami istri seimbang, prinsip yang terakhir ini sama seperti prinsip pada UU No. 1 Tahun 1974.

Pentingnya Mencatatkan Perkawinan

Menurut pendapat saya pencatatan perkawinan sangat penting karena bertujuan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dikalangan masyarakat dan juga slah satu upaya untuk melindungi martabat dan kesucian dari perkawinan itu sendiri.  Selain itu, bertujuan untuk melindungi para perempuan dan anaknya dalam rumah tangga. Perlu diketahui dengan dicatatkannya perkawinan tersebut merupakan salah satu bukti hukum yang sah terhadap peristiwa perkawinan yang telah dilakukan antara kedua belah pihak serta adanya kepastian hukum. 

Namun masih banyak dikalangan mayarakat yang tidak mencatatkan perkawinannya, mungkin diantara mereka masih banyak yang beranggapan bahwa perkawinan yang tidak dicatatkan bukanlah masalah yang besar. Padahal bila diketahui lebih mendalam, perkawinan yang tidak dicatatkan akan berdampak terutama bagi perempuan dan anaknya. Mungkin tidak untuk sekarang, namun berdampak dikemudian hari.

Bila dilihat dari sosiologis pentingnya pencatatan perkawinan yaitu dapat menjadi kepastian hukum, untuk meningkatkan kestabilan dalam rumah tangga, menjaga moral dan etika sosial. Dimana kita sebagai warga Indonesia yang memiliki norma ataupun hukum yang berlaku, maka perkawinan hendaknya dicatatkan.

Selanjutnya dilihat dari sisi religius, perkawinan yang dicatatkan akan berdampak baik pada keluarga tersebut, dimana dapat membantu dalam proses pembagian harta warisan, serta juga dapat menjadi bukti legalitas untuk hak hak yang mengenai asuransi maupun kesehatan. Terakhir dilihat dari sisi yuridis yaitu perkawinan yang dicatatkan menjadi alat bukti yang otentik dimata hukum serta mempermudah kedua pasangan untuk mengurus hal hal yang berkaitan dengan hukum, serta mendapatkan jaminan dan pelayanan dari negara seperti perlindungan hingga pemenuhan hak asasi manusia.

Perspektif Ulama dan KHI Mengenai Perkawinan Wanita Hamil

Poin keempat yaitu mengenai perkawinan wanita hamil. Pada umumnya wanita yang hamil diluar perkawinan yakni karena lingkungan yang kurang baik, hingga salah pergaulan. Namun selain itu juga terjadi karena pelecehan seksual, yang kita ketahui bersama bahwa kasus pelecehan seksual itu sangat sering terjadi di Indonesia dan khususnya si korban wanita yang hamil diluar perkawinan tersebut akan menanggung malu karena laki laki yang telah menghamili banyak yang tidak bertanggung jawab.

Lalu bagaimana selanjutnya mengenai perkawinan wanita yang hamil diluar nikah? Uraian dibawah ini membahas mengenai perkawinan wanita hamil dalam perspektif ulama dan KHI.

Menurut ulama Imam Ahmad bin Hambal perkawinan wanita hamil di luar nikah tidak dapat melangsungkan perkawinan antar wanita hamil karena telah berzina dengan laki-laki hingga ia melahirkan. Sedangkan menurut Imam Syafi'i menikahi wanita yang hamil karena zina diperbolehkan baginyang menghamilinya maupun orang lain.

Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) seorang wanita yang hamil diluar nikah dapat di kawinkan dengan laki-laki yang telah menghamilinya dan dapat dilangsungkan tanpa lebih dulu menunggu kelahiran anak. Serta setelah anak yang dikandung lahir, perkawinan yang telah dilaksanakan tidak perlu diulang kembali.

Mencegah Terjadinya Perceraian

Perceraian bukan lagi hal yang asing di negara kita, yang kita ketahui akan maraknya kasus perceraian di kalangan masyarakat membuat sebagian orang takut akan memulai hidup dengan pasangannya. Maka tak heran apabila banyak orang yang memilih untuk hidup sendiri atau kata lain memilih untuk tidak menikah, yang dimana salah satu penyebabnya adalah maraknya kasus perceraian. 

Banyak faktor yang memicu terjadinya perceraian, seperti perkawinan karena paksaan, perselingkuhan, faktor ekonomi, hingga faktor internal dalam keluarga misalnya kurang harmonis dan komunikasi yang buruk. Hal semacam itu yang terlihat sepele, padahal berdampak kurang baik bagi kehidupan rumah tangga.

Menurut saya terdapat beberapa solusi untuk menghindari perceraian yaitu sesering mungkin berkomunikasi dengan pasangan, kita tahu bahwa setelah menikah banyak suami maupun istri yang terlalu sibuk dengan pekerjaannya sehingga kurangnya komunikasi antara mereka. Hal tersebut juga dapat memicu pertengkaran, maka alangkah baiknya antara suami dan istri sesering mungkin berkomunikasi. 

Selanjutnya yaitu membicarakan kepentingan secara bersama sama atau musyawarah, karena sesuatu hal yang diputuskan secara pribadi dari salah satu pihak akan menimbulkan pertikaian. Demi keharmonisan keluarga sebaiknya mengurangi ego dari diri sendiri. Selanjutnya yaitu memenuhi kewajiban sebagai suami dan juga sebagai istri, serta tidak melalaikan hak yang seharusnya didapat oleh masing-masing pasangan. Karena apabila sang suami tidak memperdulikan hak dari istri ataupun sebaliknya, maka akan timbul rasa kesal dan marah yang juga memicu adanya pertengkaran.

Book Review
Nama Pengarang : Prof. Dr. Sabri Samin, M. Ag.
Judul Buku : Dinamika Hukum Perdata Islam Di Indonesia (Analisis Legislasi Hukum Perkawinan dalam Sistem Hukum Nasional)
Penerbit : TrustMedia Publishing
Dalam buku tersebut menuliskan mengenai dinamika dari UU RI No. 1 Tahun 1974 dan eksistensi Kompilasi Hukum Islam dalam sistem hukum nasional, dan kesimpulan dari buku tersebut yakni berikut;

Dinamika UU RI No. 1 Tahun 1974 dalam Sistem Hukum Nasional

Pemberlakuan hukum keluarga Islam di negara Islam dan negara berpenduduk muslim dapat diklasifikasi ke dalam dua kelompok besar, yaitu; Pertama, kelompok negara Islam dan negara berpenduduk muslim tradisionalis yang hukum keluarganya bersifat uncodified law, yaitu negara Islam dan negara berpenduduk muslim yang hukum keluarga Islam belum diatur dalam bentuk hukum tertulis (undang-undang). Kedua, negara Islam dan negara berpenduduk mayoritas muslim yang codified law, yaitu negara Islam dan negara berpenduduk muslim yang hukum keluarga Islam telah diatur dalam bentuk undang-undang (hukum tertulis).

Indonesia sebagai negara yang berpenduduk mayoritas muslim sangat membutuhkan undang-undang tertulis (codified law) yang mengatur beberapa masalah yang terkait dengan perkawinan. Dibandingkan di negara Saudi Arabia yang tidak membutuhkan undang-undang tertulis, karena Al-Qur'an menjadi acuan utama dalam pelaksanaan perkawinan, ditambah negara itu tidak mengalami kekacuan dalam konteks hukum yang berlaku.

Sedangkan, hal tersebut sangat berbeda bila di samakan dengan penerapan hukum di Indonesia yang dihadapkan dengan beberapa sistem hukum yang sedang berlaku. Selain itu, Indonesia diperhadapkan pluralisme mazhab yang menjadi paham dalam masyarakat. Diatas merupakan permasalahan di negara Indonesia yang diduga sebagai pemicu timbulnya beberapa permasalahan hukum kekeluargaan Islam, khususnya mengenai permasalahan perkawinan.

Oleh karena itu, dibuatnya UU Perkawinan yang berlaku untuk seluruh warga negara Indonesia tanggal 2 Januari 1974 untuk sebagian besar telah memenuhi tuntutan masyarakat Indonesia, dimana tuntutan tersebut telah terjadi sejak kongres perempuan Indonesia pertama 1928. Kemudian setelah Indonesia merdeka, pemerintah mengeluarkan undang undang tentang Pencatatan Nikah Talak dan Rujuk tahun 1946.

Selanjutnya pemerintah membentuk panitia Rancangan Undang Undang Perkawinan (RUU Perkawinan) pada tahun 1950, namun RUU Perkwinan tersebut dibahas dalam sidang DPR tidak berhasil berwujud undang undang. Pada tahun 1973 RUU diajukan oleh pemerintah kembali hingga pada akhirnya mencapai muafakat di antara para anggota DPR, yang kemudian pemerintah mengundangan UU Perkawinan tanggal 2 Januari 1974. Lalu tanggal 1 April 1975 lahir peraturan pemerintah No. 9 tahun 1975 yang berisi peraturan pelaksanaan UU RI No. 1 Tahun 1974, sehingga tanggal 1 Oktober 1975 UU tersebut dapat berjalan secara efektif.

Setelah UU RI No. 1 Tahun 1974 tersebut telah diundangkan dan dinyatakan berlaku, maka secara de facto seluruh ketentuan yang mengatur perkawinan di Indonesia diakomodir dalam UU Perkawinan Nasional, dan apabila di luar dari undang undang tersebut secara yuridis formal dinyatakan tidak berkekuatan hukum.

Eksistensi Kompilasi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional

Selanjutnya yaitu Kompilasi Hukum Islam atau KHI, Adanya KHI ini menjadi pedoman untuk menyelesaikan suatu perkara perkawinan, warisan, maupun perwakafan. Yang di dalamnya terdapat 13 kitab fikih yang berarti tertuang berbagai sumber hukum Islam, dan bilamana terdapat berbagai masalah, maka KHI dapat  mengadilinya. KHI diklaim sebagai fikih Indonesia, yaitu unuk merespon sekaligus mentransformasikan nilai nilai islam dalam masyarakat Indonesia. 

Bukan berarti fikih fikih yang terdahulu harus ditinggalkan. Namun yang dimaksud disini tetap fikih yang terdahulu diakomodir sesuai dengan siuasi pada masyarakat. Selain itu KHI juga tidak hanya menerapkan salah satu mazhab, melainkan mazhab mazhab yang ada juga dapat diterima asal dapat mewujudkan nilai kebenaran serta keadilan.

Menurut UU RI No. 1 Tahun 1974 pada pasal 1, bahwa tujuan perkawinan yaitu untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Keuhanan Yang Maha Esa. Selain itu juga terdapat pada KHI pasal 3 yaitu "Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan rumah tangga sakinah, mawaddah dan rahmah".

Setelah membaca buku tersebut saya sedikit mengetahui akan dinamika pemberlakuan UU RI No. 1 Tahun 174 dan KHI, serta dapat memahami apa pengertian, tujuan, larangan perkawinan, asal usul nasab anak, hingga pentingnya pencatatan perkawinan dan lainnya yang berkaitan mengenai perkawinan itu sendiri. 

Mempelajari hukum perkawinan islam membuat saya memahami lebih matang dan sesuai dengan program studi yang saya ambil. Sebagai mahasiswa hukum memiliki peran yang penting di kalangan masyarakat, seperti bersosialisasi pada masyarakat yang kurang faham. Sehingga dengan bersosialisasi tersebut masyarakat akan dapat memahami apa saja yang berkaitan dengan perkawinan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun