"Imam (kepala negara) adalah pekerja rakyat. Dia bertanggung jawab atas urusan rakyatnya' (HR al-Bukhari).
Negara bertanggung jawab atas apa yang terjadi pada rakyatnya. Jika rakyat muslimnya tidak bisa menjalankan ketaatan secara total dan menyeluruh, sedangkan Allah memerintahkan untuk berislam secara menyeluruh (Al- Baqarah: 208), maka dosa besar bagi penguasa. Padahal, setelah kematian, tiap manusia akan diminta pertanggungjawaban atas perbuatannya. Demikian pun para penguasa harusnya sadar akan besarnya tanggung jawab ini. Tidak peduli sekhusuk apapun sholatnya, sebesar apapun sedekahnya, jika satu saja rakyat terzalimi atas kebijakannya, maka neraka untuknya.
Mungkin ada yang bertanya, "Bukankah penguasa kita menyediakan majelis yang membantu menjamin sebuah produk/aktifitas itu halal atau tidak?". Maka kuncinya adalah apakah majelis ini cukup untuk membuat produk/aktifitas yang haram tersebut berhenti beredar di tengah umat Islam? Jawabannya tentu 'tidak'. Hanya politik Islam yang kaffah yang mampu menerapkan kebijakan ekonomi Islam yang hakiki tanpa tercampur dengan racun kapitalisme.
Untuk menyadarkan masyarakat dan pemerintah akan urgensi dari keberadaan sistem pemerintahan Islam Kaffah ini, umat Islam tidak boleh berhenti mengoreksi penguasa dengan cara baik dan menyuarakan/ dakwah agar diterapkan Islam secara kaffah. Berjamaah/bersama-sama mendakwahkan pemikiran ini di tengah-tengah umat seperti halnya yang dilakukan Rasulullah dan sahabat saat pertama kali mendirikan daulah Islam di Yatsrib/Madinah tanpa kekerasan.Â
Setelah bai'at Aqabah ke-dua, saat 72 perwakilan umat Islam di Madinah membai'at beliau sebagai Rasulullah sekaligus kepala negara, saat itu pula daulah/negara Islam resmi ditegakkan. Seluruh kebijakan yang dikeluarkan oleh Rasulullah saw tidak lepas dari aturan Allah Swt. Sehingga umat Islam terjamin ketaatannya, dan umat kafir terjamin kehidupannya. Inilah yang juga harus umat Islam lakukan, membai'at penguasa yang mau menerapkan syariat Islam secara kaffah. Dengan demikian tidak ada kerancuan mengenai praktek ekonomi syariah dengan ekonomi kapitalis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H