Mohon tunggu...
Kurnia Dewi
Kurnia Dewi Mohon Tunggu... Lainnya - IRT

Semua untuk Allah

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menjalankan Ekonomi Syariah Tanpa Islam Kaffah, Gak Bahaya Ta?

5 Juni 2023   09:56 Diperbarui: 5 Juni 2023   10:54 306
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Ekonomi syariah pada sistem kapitalisme menimbulkan kerancuan berpikir pada umat Islam. Ekonomi syariah bersumber dari Islam. Sudah terlihat jelas ketika menggarisbawahi kata 'syariah' yang berarti hukum Islam. Maka, ekonomi syariah seharusnya adalah segala kegiatan ekonomi yang berasaskan syariat Islam. Hukum Islam bersumber dari Al Quran dan As Sunnah. 

Namun bagaimana jika menerapkan ekonomi syariah ditengah sistem yang bertolak belakang dengan syariat Islam, seperti sistem kapitalisme? Tentu ini berbahaya dan justru mematikan ekonomi syariah itu sendiri. Ibarat memelihara ikan tuna di akuarium berisi air comberan. Mengapa? Karena kekotoran sistem kapitalisme hanya akan mematikan kemuliaan syariat Islam.

Demikian halnya dengan bermuamalah ekonomi syariah di tengah sistem pemerintahan kapitalisme. Yang terjadi justru kerancuan. Karena peran sistem pemerintahan yang mengunci segala aspek kehidupan tidak mungkin tidak turut serta 'cawe-cawe' dalam segala hal yang terjadi ditengah kehidupan negara termasuk perkara muamalah. Pengelolaan bank syariah misal. Apakah pengelolaan bank syariah tidak melirik sisi komersil dalam hal pinjam meminjam ataupun titip menitip? Tentu ada. 

Contohnya, bagi nasabah yang memelihara rekeningnya untuk saldonya agar tetap di angka lebih dari 10 juta selama satu tahun maka akan mendapatkan hadiah. Ini adalah bentuk bunga berhaul. Dan hukum bunga itu sendiri adalah riba. Dalam Islam tertulis jelas prinsip-prinsip ekonomi syariah sesuai Al Quran dan As Sunnah. Transaksi yang diperintahkan oleh Allah adalah transaksi yang mengharamkan untuk menzalimi, memonopoli, tidak jelas, menimbun, hingga menipu orang lain. Allah Swt berfirman:

"Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba." (Al-Baqarah: 275)

Riba jelas bertentangan dengan syariah. Lalu bagaimana ini bisa disebut ekonomi syariah?

Hubungan Ekonomi Syariah Dengan Politik Islam


Sedemikian rancunya sistem kapitalis mengemas bisnisnya dengan 'embel-embel' syariah untuk meraup keuntungan dari umat Islam. Membuat umat Islam tergoda akan keharaman berkedok syar'i. Mirisnya ini dilakukan oleh negara yang beralih peran sebagai pedagang dengan rakyatnya, bukan sebagai pelindung. Maka kita butuh sistem Islam yang diterapkan secara keseluruhan untuk menaungi ekonomi syariah ini. Agar ekonomi syariah berjalan sesuai visi dan misi sesungguhnya, yaitu bermuamalah karena Allah dan sesuai aturan Allah, agar umat tetap berjalan pada ketaatan dan terhindar dari berbagai dosa yang menjerumuskan pada kekufuran dan kerusakan.

Politik ekonomi adalah tujuan yang ingin dicapai oleh hukum- hukum yang dipergunakan untuk memecahkan mekanisme pengaturan berbagai urusan manusia. Politik ekonomi Islam adalah menjamin terealisasinya pemenuhan semua kebutuhan primer (basic needs) setiap orang secara menyeluruh, berikut kemungkinan dirinya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sekunder dan tersiernya, sesuai dengan kadar kesanggupannya sebagai individu yang hidup dalam sebuah masyarakat yang memiliki gaya hidup (life style) tertentu. Politik ekonomi Islam menjamin kebijakan ekonomi yang diterapkan oleh negara untuk rakyatnya adalah sesuai Al Quran dan As Sunnah, dengan standar halal dan haram. Inilah yang tidak mungkin dicapai oleh sistem kapitalisme yang memisahkan agama dari kehidupan, memisahkan agama dari kebijakan-kebijakan negara untuk mengatur masyarakat.

"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan menyuruh kamu apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepada-mu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Hai orang -orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pena- dapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul-Nya (sunnahnya), jika kamu benar-benar percaya kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." (An Nisa' :58-59)

Inilah perintah Allah Swt agar manusia menerapkan syariat Islam secara kaffah dalam bingkai pemerintahan Islam. Karena tidak akan sempurna kewajiban untuk taat Allah tanpa adanya pemerintah yang memegang teguh penerapan syariat Islam secara kaffah.

"Imam (kepala negara) adalah pekerja rakyat. Dia bertanggung jawab atas urusan rakyatnya' (HR al-Bukhari).

Negara bertanggung jawab atas apa yang terjadi pada rakyatnya. Jika rakyat muslimnya tidak bisa menjalankan ketaatan secara total dan menyeluruh, sedangkan Allah memerintahkan untuk berislam secara menyeluruh (Al- Baqarah: 208), maka dosa besar bagi penguasa. Padahal, setelah kematian, tiap manusia akan diminta pertanggungjawaban atas perbuatannya. Demikian pun para penguasa harusnya sadar akan besarnya tanggung jawab ini. Tidak peduli sekhusuk apapun sholatnya, sebesar apapun sedekahnya, jika satu saja rakyat terzalimi atas kebijakannya, maka neraka untuknya.

Mungkin ada yang bertanya, "Bukankah penguasa kita menyediakan majelis yang membantu menjamin sebuah produk/aktifitas itu halal atau tidak?". Maka kuncinya adalah apakah majelis ini cukup untuk membuat produk/aktifitas yang haram tersebut berhenti beredar di tengah umat Islam?  Jawabannya tentu 'tidak'. Hanya politik Islam yang kaffah yang mampu menerapkan kebijakan ekonomi Islam yang hakiki tanpa tercampur dengan racun kapitalisme.

Untuk menyadarkan masyarakat dan pemerintah akan urgensi dari keberadaan sistem pemerintahan Islam Kaffah ini, umat Islam tidak boleh berhenti mengoreksi penguasa dengan cara baik dan menyuarakan/ dakwah agar diterapkan Islam secara kaffah. Berjamaah/bersama-sama mendakwahkan pemikiran ini di tengah-tengah umat seperti halnya yang dilakukan Rasulullah dan sahabat saat pertama kali mendirikan daulah Islam di Yatsrib/Madinah tanpa kekerasan. 

Setelah bai'at Aqabah ke-dua, saat 72 perwakilan umat Islam di Madinah membai'at beliau sebagai Rasulullah sekaligus kepala negara, saat itu pula daulah/negara Islam resmi ditegakkan. Seluruh kebijakan yang dikeluarkan oleh Rasulullah saw tidak lepas dari aturan Allah Swt. Sehingga umat Islam terjamin ketaatannya, dan umat kafir terjamin kehidupannya. Inilah yang juga harus umat Islam lakukan, membai'at penguasa yang mau menerapkan syariat Islam secara kaffah. Dengan demikian tidak ada kerancuan mengenai praktek ekonomi syariah dengan ekonomi kapitalis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun