Karena tidak menerima saya menganggapnya berubah, dia menarik tangan saya turun dari ranjang, membawa saya ke depan lemari. Berdiri di depan cermin. "Amati baik-baik dirimu, tidakkah kamu merasa  telah banyak berubahnya."
Saya merangkul pundaknya agak kasar, biar keseluruhan tubuhnya jelas di dalam cermin, kemudian saya berseru kepadanya sebagaimana seruannya kepada saya.
"Saya masih istrimu sebagaimana dulu," dia mengelak, "Kamulah yang berubah." Di depan cermin itu kami seperti anak kecil saling tuding menuding. Saya tak mau mengalah untuk dianggap berubah, dia pun begitu.
Puncaknya saya tidak bisa mengontrol amarah menyala dalam diri, alih-alih meringankan tangan kepadanya, saya justru meninju cermin keras-keras. Cermin retak. Kami bersamaan menatap ke dalam cermin, dan melihat diri kami yang cacat.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H