Puncak kemurkaan saya terhadap kucing itu tatkala saya dan istri saya sedang makan malam. Makan malam kami selalu dingin seperti malam-malam sebelumnya sejak kucing hadir di rumah. Nyaris tak ada kata-kata, lebih banyak kami berlagak sepasang suami istri yang bisu. Tapi dia tiba-tiba berkata, "Sudah lama saya tidak mendengar kamu memuji masakan saya. Seolah-olah kamu yang sekarang duduk di hadapan saya bukan suami seperti yang saya kenal dulu," kemudian bersuap sembari menatap wajah saya.
"Tidak ada suami di dunia ini setiap malam memuji masakan istrinya," kata saya cuek.
"Apakah belakangan ini masakan saya tidak enak?"
"Enak kok. Masakanmu selalu enak. Sama seperti dulu. Lihat saking enaknya, saya menambah. Saya suka tuna goreng ini dan sambalmu mantap," saya katakan dengan ekspresi dan penekanan suara yang berlebihan. Dia membisu tampak tidak senang dengan ucapan saya barusan.
Kucing itu yang semula melahap makanan di bawah kaki istri saya, tiba-tiba melompat ke atas, dengan cepat bergerak ke piring saya mencomot potongan tuna goreng lalu berlari pergi. Saya mengumpat, bulir-bulir nasi berhamburan dari mulut. Tak terima dengan sikap kurang ajar si kucing, saya mencari pisau. Saya impulsif, ingin menggorok lehernya. Beruntung tidak benar-benar saya lakukan, lantaran dia menghalang-halangi saya.
Kekesalan saya terhadap kucingnya di malam itu, masih berlanjut menjelang kami tidur. Tiba-tiba dia ingin kucingnya tidur seranjang dengan kami. Kucing itu akan ditaruh di tengah-tengah kami. Ide yang aneh.
"Jika kamu bersikeras begitu, jangan heran besok pagi kamu melihat kucingmu mati di luar jendela." ancaman saya kepadanya.
"Kamu kok jadi suami seperti ini?"
"Saya bagaimana?"
"Jadi beda. Seperti ada orang lain yang sedang memasuki tubuhmu. Kamu jadi suka marah-marah dan sering membuat saya sakit hati. Padahal kemarin kamu sangat baik."
"Saya tidak berubah. Saya masih seperti dulu. Kamulah yang berubah."