Kali pertama saya mengumpati kucing itu, sangat jelas tedengar olehnya. Saya nyaris menendang, buru-buru dia menghampiri kucingnya yang meringkuk di atas sofa, menggendongnya, lalu meninggalkan saya. Wajah dinginnya itu adalah bukan wajah istri yang saya kenal.
 Apa yang terjadi pada hari itu adalah awal di mana kami masuk ke dalam bab baru berumahtangga. Kucing peliharaannya sukses membikin kami ribut-ribut. Tiada hari tanpa ribut, hal yang jarang pernah terjadi di antara kami sebelumnya.
Misalnya ketika saya pulang kerja, betapa kesal yang saya rasakan pulang dalam keadaan lelah, penciuman saya saat memasuki rumah diserang oleh bau-bau yang tidak sedap. Terasa cuping hidung saya bergerak melacak bau itu. Mencak-mencaklah saya tatkala saya lihat kotoran kucing berceceran di lantai.
 Mula-mula yang saya lakukan adalah mencari kucing itu. Di dapur dan di ruang lain tak ada, ternyata ia sedang di atas ranjang dalam kamar bersama istri saya sedang merem seolah-olah tidur, padahal salah satu tangannya aktif mengusap bulu-bulu kucing itu, seperti sedang meninabobokan anak sendiri.
Saya sudah seperti terhasut setan, sekonyong-konyong mengambil sapu dan memukul kepala kucing dengan keras. Ia terkejut mengeong sembil melompati  tubuh istri saya. Saya tidak peduli lagi istri saya yang mulai membuka mata, saya kejar kucing itu yang berlari ke sudut ruangan, meringkuk ketakutan, saya pukul tiga kali lagi.
Dia memprotes sikap saya yang kejam terhadap kucingnya. Menuding saya manusia durhaka terhadap kucing yang tidak bersalah. Saya tak terima dia terkesan membela si kucing, sehingga saya tarik tangannya keluar kamar. Saya bawa dia ke ruang depan untuk menyaksikan perbuatan kucing itu yang berak seenaknya.
Saat melihat itu, dia memasang ekspresi hendak muntah, berlari ke kamar bukan untuk muntah benaran tapi melanjutkan mesra-mesranya dengan kucing itu. Setidaksuka pekerjaan membereskan kotoran kucing harus saya lakukan.
Selalu istri saya begitu. Baik saat kucingnya membuang kotoran seenak hati, muntah-muntah atau memecahkan piring, mangkuk, dan gelas. Ia tidak pernah menyalahkan si kucing, dan tidak mau membereskan semua itu, seolah adalah tugas saya.
Istri saya mana pernah menunjukkan sikap yang tidak baik kepada si kucing. Selalu dia sayang-sayang seperti anak sendiri. Sayalah yang tidak bisa bersabar hidup di rumah kami yang ada kucing sialan seperti itu. Â
Semakin lama kucing itu hadir di rumah kami, semakin banyak keributan terjadi di antara kami, semakin banyak perubahan sikap yang diperlihatkan istri saya. Salah satu paling nyata, taman bunga depan rumah kami tak pernah lagi disentuh. Padahal sebelum kucing itu hadir, seringkali setiap saya pulang kerja saya mendapati istri saya di taman merawat bunga-bunga. Tidak pernah lagi begitu, seolah-olah dia bukan pecinta bunga.
Pernah saya tanyakan mengapa dia begitu. "Sejak awal saya memang tidak pernah suka merawat bunga. Ibulah yang suka bunga, adik saya juga begitu, sedangkan saya suka kucing," katanya tenang.