Mohon tunggu...
Mawan Sastra
Mawan Sastra Mohon Tunggu... Koki - Koki Nasi Goreng

penggemar fanatik Liverpool sekaligus penggemar berat Raisa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pada Hari Liverpool Juara

31 Desember 2020   17:14 Diperbarui: 31 Desember 2020   17:42 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kasimin masih tegap berdiri di depan lemari. Menatap diri sendiri di dalam cermin, dengan bibir menggores senyum tanpa menampakkan gigi. Terlihat lebih muda oleh jersi Liverpool melekat di tubuhnya yang ringkih. Ia sesaat merasa lelaki tua paling bahagia sedunia, setelah tim kesayangannya itu keluar sebagai juara Liga Inggris: setelah penantian tiga dekade. Akan tetapi tiba-tiba ia merasa kebahagiannya itu tercederai tatkala mengingat Siding yang masih menjalani hukuman penjara.

Karena ingatan itulah sehingga ia gegas mandi. Sempat mengenakan batik berlengan panjang ketika Marliang masuk ke kamar, bengong melihatnya rapi. Rambutnya mulai dimaraki uban, berminyak, disisir agak ke samping.

"Apakah ada undangan pernikahan sampai di rumah? Luput dari pengetahuanku dan kamu tidak mau mengajak serta istrimu yang sudah tua ini," tutur Marliang merapikan kerah batik Kasimin dan menyemprotkan parfum, "Padahal aku butuh aktivitas di luar, masa pensiun kita begini macam sangat membosankan. Tak ada seorang pun cucu. Kasiati telah menjadi tulang-tulang di liang lahat. Bahkan anak kita satu-satunya, mesti menunggu bertahun-tahun lagi dan selamanya kita tidak akan pernah tahu, apakah di hari kebebasannya nanti kita masih memiliki waktu. Bagaimana kalau kita mati?"

Ada dua hal yang selalu tidak disenangi Kasimin dari ucapan Marliang. Yaitu saat menyinggung anak mereka dan tentang kematian. Doa-doa Kasimin kepada Tuhan yang tidak pernah putus adalah: dianugerahi umur yang panjang. Ia menyangkal kalau keinginannya demikian sebab menunggu kebebasan Siding, tapi lebih kepada menambah pengalaman hidup di dunia yang lucu serta ketakutannya pada kematian itu sendiri.

Kasimin lebih dulu mengembuskan nafas, tepercik kepada wajah Marliang di hadapannya. "Aku akan ke suatu tempat," ucap Kasimin. Demi menghindari Marliang bertanya lebih jauh, ia kembali bersuara, "Apakah di dapur sudah tersedia sarapan? Aku ingin mengganjal perutku barang sepotong roti sebelum berangkat."

Sulit rasanya bagi Kasimin berterus terang kepada Marliang, mengenai keinginannya menyambangi Siding untuk pertama kali setelah bertahun-tahun menjadi penghuni lapas. Ia sudah meniatkan itu dengan baik, sebagai kemurahan hatinya dan upaya mencoba berdamai dengan ego. Di hari Liverpool juara, bagi Kasimin adalah momentum yang sangat pas membuat hubungan mereka kembali baik.

Selesai Sarapan, sekali lagi menyaksikan dirinya di dalam cermin. Tiba-tiba berubah pikiran, untuk mengganti batik. Dibukalah lemari, pada bagian terbawa, lipatan baju-baju lama yang jarang dikenakan, ia menarik sehelai baju yang memembicarakan kenangan. Terjadi pada Mei 2005, Siding belum genap 15 tahun dan masih duduk di bangku kelas 1 SMA. Bapak dan anak itu kompak begadang demi menyaksikan final liga champions Istanbul, antara Liverpool vs AC Milan.

Siding sebagai bagian dari penggemar Arsenal yang belum pernah berbicara banyak di pentas Eropa, tidak menginginkan Liverpool juara, sehingga ia terpaksa mendukung AC Milan. Berkostum Milan pula. Sedangkan Kasimin mengenakan jersi kebesaran Liverpool, merahnya seoalah-olah menyatu dengan darah dalam tubunya.

Kembali baju itu melekat di badannya, wajah Siding yang cemberut setelah Liverpool memenangi laga itu tergambar jelas dalam ingatannya. Jelaga pikirannya ke ruang-ruang masa lalu saat di mana hubungannya dengan Siding masih hangat, buyar oleh suara klakson memanggil di luar. Ia menjauhi lemari, dekat ke jendela, menyingkap gorden. Di depan pagar yaris hitam telah tiba.

Kasimin sejenak menghampiri Marliang sedang beres-beres di dapur. Pamit kepadanya. Marliang agak bingung melihat penampilan Kasimin jadi beda. Tapi ia tidak mau banyak bertanya. 

"Pikirkan kembali apa yang kutegaskan tadi," tutur Marliang, "Siding tetaplah anakmu. Jangan selalu posisikan dirimu sebagai seorang bapak yang kejam. Setiap aku datang ke sana, dia selalu menanyakanmu. Tiada rasa bosan sama sekali."

Kasimin tidak bicara apa-apa. Dalam situasi begitu, ia masih enggan membeberkan pada Marliang tujuannya sehingga keluar rumah. Ia hanya mengcup kening istrinya, lalu membalik badan.

Pemilik yaris itu bernama Buce, seorang pemuda 21 tahun. Adalah tahun keduanya menjadi driver grab. Ia merupakan pelanggan tetap mereka, jika ada urusan perjalanan di luar tinggal menghubungi Buce, mula-mula harus masuk ke aplikasi grab, tetapi semakin ke sini mereka kalau ada perlu tinggal menelpon langsung. 

Buce tetap memenuhi panggilan itu.
Kedekatan mereka semua berawal sejak Kasimin enggan lagi berurusan dengan aktivitas menyetir. Padahal, pajero di garasi dalam keadaan baik. Namun sudah berbulan-bulan tidak digunakan. Keputusan Kasimin ini sering disinggung Marliang, aneh baginya, Kasimin masih bisa menyetir tapi memilih tidak melakukannya.

"Aku masih ingat," ucapan Buce setelah Kasimin mengamabil posisi di jok depan tepat di sampingnya, "Ketika aku mengantar Ibu pakan lalu, katanya sudah setengah mati membujuk Bapak untuk ikut bersama-sama membesuk Siding. Tapi Bapak tetap kekeh tak ingin bertemu. Makanya hari ini aku terkejut sekali, Bapak menelpon ingin dibawa ke lapas," Buce lekat-lekat memandangi Kasimin, terutama baju yang sedang dikenakan.

"Aku tidak menyaksikannya, tapi tadi sempat kuikuti beritanya: dua malam yang lalu Liverpool membungkam Crystal Place di Anfield. Dan hari ini sudah mengunci gelar juara Liga Inggris, setelah Manchester City keok dikandang Chelsea yang tidak mungkin menyamai poin Liverpool lagi. Liverpool layak juara memang, mereka terlalu superior musim ini sedangkan yang lain inkonsisten."

"Ya, aku bahagia sekali," balas Kasimin memasang sabuk pengaman, "Liverpool terakhir juara 1990, beberapa bulan sebelum anakku itu lahir ke dunia."

"Dan Bapak sekarang memakai jersi Liverpool jadul, hendak menjenguk Siding, apakah ada kaitannya karena hari ini Liverpool juara?"

Kasimin bungkam, tampak tidak ingin Buce menyinggung lebih jauh soal itu sehingga ia mengalihkan pembicaraan, "Aku ingin mendengar Bee Gees." Buce mudah paham, ia menghubungkan ponselnya ke tape mobil.

Dari ruas jalan di hadapan, berpindah ke wajah Kasimin di samping, begitulah perhatian Buce sembari mengemudikan mobil. Ingin bicara, tapi ragu-ragu. Kasimin dengan kepala bersandar di kaca jendela, menunjukkan gelagat sedang malas bicara. Menyesapi lagu pertama dari Bee Gees, mengiringi perjalanan mereka yang mulai menjauhi rumah.

Dalam posisi seperti itu, pikirannya kembali ke adegan yang terjadi beberapa menit lalu, saat masih di meja makan menikmati sarapan bersama Marliang. Kesekian kali Marliang melakukan bujuk rayu kepadanya: untuk sudi menjenguk Siding, paling tidak sekali saja. Awal-awal diingatkan begitu, Kasimin akan mencak-mencak, keras sekali mengatakan tidak. Belakangan, hanya diam tanpa suara.

Kasimin mengubah posisi, kepalanya dibikin tegak dan berkata, "Istriku tidak tahu apa-apa bahwa hari ini aku akan datang mengunjungi anak kami," mendengar itu Buce mengecilkan volume musik, ucapan Kasimin kian jelas, "Dia bertanya tujuanku keluar rumah, tapi aku enggan terus terang. Tidak perlu dia tahu. Aku juga ingin kau merahasiakan ini darinya."

"Mengapa?" Singkat sekali balasan Buce.

"Bisa saja dia berpikir, hatiku lunak karena seruan-seruannya. Padahal usahanya itu tidak membuahkan hasil. Ini kulakukan berkat kemurahanku, murni karena hari ini Liverpool juara. Dan kuanggap sebagai hari sakral, seperti hari raya, orang-orang saling berbuat kebaikan."

Buce belum sempat menimpali, Kasimin telah menyandarkan kepalanya ke kaca jendela. Kedua matanya fokus pada pemandangan yang ada di luar, seolah-olah bergerak oleh kecepatan mobil. Buce ragu untuk meneruskan pembicaraan, yang ia lakukan membesarkan volume musik seperti sebelumya, lagu telah tiga kali berganti, semakin dekat ke tempat tujuan.

Tidak ada obrolan lagi, Kasimin bertahan pada posisinya, Buce berkali-kali memberikan lirikan, berharap laki-laki tua di sampingnya sudi mengajaknya bicara. Entah kenapa bagi Buce, lidahnya terasa kelu. Kasimin menunjukkan gelagat muram, seharusnya bahagia, ia punya alasan agar tampak bahagia, Liverpool juara dan akan ada pertemuan dengan Siding untuk kali pertama.

Buce memutuskan menambah kecepatan mobil, jalan lancar, satu-satunya yang mengharuskan berhenti kala berhadapan lampu merah. Setelah melalui itu, mobil kembali bergerak cepat. Memberikan perhatian lagi ke arah Kasimin, masih sama. Buce tertantang semakin mempercepat mobil. Kasimin bahkan tak menegur.

Sebelum benar-benar sampai di lingkungan lapas, usaha Buce membuat Kasimin buka mulut berhasil, tapi bukan tentang lanjutan obrolan mereka terakhir kali, melainkan Kasimin meminta berhenti. Buce menerima instruksi itu, mobil menepi di sisi jalan.

"Aku harus berpikir kembali, sebelum kita masuk ke dalam. Tolong lagu diganti. Aku tiba-tiba ingin mendengarkan sebuah lagu dari Queen. Satu lagu saja, We are The Champions." tutur Kasimin.

Buce bergerak cepat memenuhi apa yang diserukan pelanggannya itu. Buce penasaran apa yang sebenarnya ada dalam pikiran Kasimin, sekaligus kesal karena ketidakmampuannya menanyakan itu. Musik kembali pekak di telinga, Buce memilih keluar untuk merokok. Kasimin melipat kedua tangan di dada, kembali kepalanya menyentuh kaca jendela. Hanya ia yang tahu apa yang sedang buncah di dalam kepalanya.

Lima tahun yang lalu, hari suram terjadi di rumah mereka. Siding dipenuhi amarah ketika mengetahui pertama kali Kasiati hamil. Padahal Kasiati riang menyampaikan itu kepadanya, menunjukkan hasil alat tes kehamilan sebagai penegasan bahwa ia positif hamil. 

Malam yang hujan itu, bukannya Siding senang dengan kabar yang sampai. Justru mencurigai Kasiati berselingkuh.
"Kau paling tahu kondisiku. Aku bukan suami bodoh yang bisa kau kelabui. Aku ini sakit dan jika terus seperti ini, selamanya aku tidak akan bisa membuahimu. Katakan kepadaku siapa laki-laki yang menghamilimu, aku ingin membunuhnya. Jika kau tidak memberitahu, kau yang akan mati di tanganku." Wajah Siding merah, urat-urat bermunculan di wajah dan matanya melebar.

Kasiati ketakutan sekali. Dalam situasi macam begitu, ia baru menyesalkan informasi yang ia sampaikan. Tapi kehamilan tidak mungkin selamanya bisa dirahasiakan, suatu waktu akan diketahui oleh orang-orang.

Rasa takut itu diusir pergi, ia mengumpulkan keberanian: mengakui janin dalam kandungannya bukanlah darah daging Siding. Akan tetapi Kasiati memilih bungkam soal nama, ia punya alasan untuk tetap merahasiakan itu. 

"Lebih baik aku yang kau bunuh daripada, ayah dari anak yang sedang kukandung."

Apa lacur Siding terlanjur geram. Pukulan-pukulan telak menghantam wajah Kasiati, tiada belas kasih lagi. Seperti ada setan bersemayam dalam dirinya, sekuat tenaga Siding mencekik leher Kasiati di atas ranjang.

Kasimin dan Marliang datang terlambat, Kasiati sudah tak bernyawa, mata membelakak dan lidah menjulur keluar. Sedangkan Siding di bawah jendela memantik rokoknya. "Perempuan sepertinya memang pantas mati," satu kalimat dari Siding kepada mereka menjadi pembuka daripada alasan sehingga ia melakukan pembunuhan itu.

Jelaga pikiran Kasimin ke masa lalu, berakhir ketika Buce masuk ke dalam mobil. Musik telah berhenti. Bahkan Buce belum sempat berkata apa-apa, Kasimin mendahuluinya. Memintanya untuk membawa kembali ke rumah. Buce tak bisa hanya diam, ia mengajukan pertanyaan. Kasimin hanya membisu.

Mobil telah berbalik arah, Buce mengulangi pertanyaan, Kasimin akhirnya menyerah. "Aku benci dia jadi pembunuh, tapi aku lebih membenci diriku sendiri, makanya aku berubah pikiran. Aku akan semakin membenci diriku jika kulihat wajahnya penuh penderitaan," diam sejenak berpikir.

 Satu kalimat tidak dilisankan hanya ada dalam pikirannya, "Akulah yang harus dia bunuh pada hari itu."[]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun