Kasiati ketakutan sekali. Dalam situasi macam begitu, ia baru menyesalkan informasi yang ia sampaikan. Tapi kehamilan tidak mungkin selamanya bisa dirahasiakan, suatu waktu akan diketahui oleh orang-orang.
Rasa takut itu diusir pergi, ia mengumpulkan keberanian: mengakui janin dalam kandungannya bukanlah darah daging Siding. Akan tetapi Kasiati memilih bungkam soal nama, ia punya alasan untuk tetap merahasiakan itu.Â
"Lebih baik aku yang kau bunuh daripada, ayah dari anak yang sedang kukandung."
Apa lacur Siding terlanjur geram. Pukulan-pukulan telak menghantam wajah Kasiati, tiada belas kasih lagi. Seperti ada setan bersemayam dalam dirinya, sekuat tenaga Siding mencekik leher Kasiati di atas ranjang.
Kasimin dan Marliang datang terlambat, Kasiati sudah tak bernyawa, mata membelakak dan lidah menjulur keluar. Sedangkan Siding di bawah jendela memantik rokoknya. "Perempuan sepertinya memang pantas mati," satu kalimat dari Siding kepada mereka menjadi pembuka daripada alasan sehingga ia melakukan pembunuhan itu.
Jelaga pikiran Kasimin ke masa lalu, berakhir ketika Buce masuk ke dalam mobil. Musik telah berhenti. Bahkan Buce belum sempat berkata apa-apa, Kasimin mendahuluinya. Memintanya untuk membawa kembali ke rumah. Buce tak bisa hanya diam, ia mengajukan pertanyaan. Kasimin hanya membisu.
Mobil telah berbalik arah, Buce mengulangi pertanyaan, Kasimin akhirnya menyerah. "Aku benci dia jadi pembunuh, tapi aku lebih membenci diriku sendiri, makanya aku berubah pikiran. Aku akan semakin membenci diriku jika kulihat wajahnya penuh penderitaan," diam sejenak berpikir.
 Satu kalimat tidak dilisankan hanya ada dalam pikirannya, "Akulah yang harus dia bunuh pada hari itu."[]