Sedikit yang ia ingat, apa yang terjadi malam itu. Ia turun dari mobil, di halaman depan rumah mantan istrinya, tiba-tiba rahangnya mendapat bogem mentah, kehilangan keseimbangan. Ia masih terkejut, belum tegak berdiri, benda keras menghantam punggungnya. Barang bawaannya jatuh dari genggaman. Menyusul pukulan-pukulan kemudian, sekitar lima orang bertopeng terlibat dalam serangan itu. Puncaknya tusukan mendarat di sisi kiri perutnya, dalam dan tentu sangat sakit. Ia kehilangan kesadaran seketika.
Serangan itu terjadi Minggu malam, sekitar pukul tujuh. Beberapa hari sebelumnya ketika Kasimin masih di Balikpapan, mendapat telepon dari Marliang. Ia agak tekejut membaca Belahan Jiwaku di layar ponsel. Sejak mereka bercerai tiga tahun yang lalu, nyaris Marliang tak pernah menghubung. Kasiminlah yang selalu berinisiatif tetap menjalin komunikasi.
Marliang menginginkan Kasimin datang ke rumahnya. "Tasya sakit, ia sering menyebut namamu." Mendengar kabar putri kecilnya sakit Kasimin sangat khawatir. Kasimin berlagak seperti wartawan mencecar pertanyaan-pertanyaan kepada Marliang.
Namun Marliang tidak memberikan penjelasan detail seputar sakit yang diderita Tasya. Ia hanya mendesak Kasimin untuk cepat-cepat datang, lalu melihat sendiri kondisi putri kecilnya. Â
"Saya akan benci Papa jika tak datang," tegas Tasya, namun aneh bagi Kasimin mendengar suara putrinya di seberang sana, terdengar baik-baik saja.
"Papa akan datang kok, Sayang, jangan khawatir!"
Kasimin ingin sekali melakukan perjalanan ke Makassar, hari itu juga. Tapi ia tidak mungkin meninggalkan bengkelnya, sedang ramai-ramainya kendaraan roda dua masuk. Pada hari Minggu mau tidak mau ia harus segera ke Makassar, Marliang sudah berkali-kali menelpon.
Padahal masih jauh bulan April. Bulan kelahiran putri kecilnya, tepatnya tanggal 30. Di bulan itulah ia rutin ke Makassar sejak perceraian mereka, semata-mata untuk hadir di hari ulang tahun putri kecilnya.
Di tahun pertama mereka bercerai, mereka hanya bertiga merayakannya tentu dalam suasana yang rikuh antara Kasimin dan Marliang. Tahun kedua agak ramai, anak-anak tetangga turut menghadiri. Dan yang paling membuat Kasimin kesal lantaran Marliang mengundang pacarnya datang ke pesta itu.
Tahun ketiga juga begitu, April kemarin, Marliang masih juga melibatkan pacarnya hadir di ulang tahun Tasya. Kasimin cemburu, bukan hanya karena mantan istrinya dekat dengan laki-laki lain. Tapi juga karena Tasya tampak begitu akrab dengan pacar mamanya. Saat tar dipotong, bahkan Kasimin harus puas menjadi urutan ketiga mendapat potongan kue itu dari Tasya, setelah Marliang dan pacarnya.
Semakin ia merasa menyesal datang ke pesta itu, saat pesta selesai, tamu pulang, mereka duduk di sofa, Tasya berkata, "Om Pram sangat baik pada saya, Yah. Ulang tahun kemarin saya dikasi kado berisi gaun cantik. Seperti yang dipakai Berbi. Saya suka sekali," Tasya menatap kado pemberian pacar mamanya di tangan, "Saya penasaran, kado Om kali ini apa ya? Jangan-jangan sepatunya Cinderella!"Â
Marliang bersama pacarnya yang duduk berdampingan tertawa.
Kemudian Tasya meletakkan kado itu di lantai, mencari kado pemberian Kasimin, ia angkat di pangkuannya. Matanya yang bulat dan jernih mengarah pada Kasimin yang duduk di sampingnya, "Bukan boneka lagi kan, Yah? Boneka saya di kamar sudah banyak."
Kasimin tak berkata apa-apa hanya mengusap rambut lurus putri kecilnya, lalu meneguk limun yang terhidangkan di atas meja. Diam-diam meluruskan pandangan ke depan, sekilas memberikan perhatian pada pacar mantan istrinya.Â
Melihat perawakan laki-laki itu, Kasimin semakin merasa kecil dan tak ada apa-apanya dibandingkan pacar Marliang. Bahkan penilainnya sendiri, Marliang tampak serasi dengan laki-laki yang juga berprofesi sebagai dosen sebagaimana Marliang.
Saat kembali ke Balikpapan, di tengah malam Kasimin menghubungi Marliang, agak lama baru diangkat. "Tasya sudah tidur, saya tidak mungkin membangunkannya," tutur Marliang.
"Saya hanya ingin bicara denganmu."
"Untuk?"
"Kau tidak sedang bersama Pram kan?"
"Ini sudah tengah malam, mana mungkin ia sama saya. Atau Jangan-jangan kau mencurigai yang tidak-tidak terhadap saya dan Pram selama ini."
"Kalian begitu dekat dan sangat mesra."
"Ya, karena ia pacar saya."
"Apakah lebih mesra lagi saat saya tidak di depanmu?"
"Untuk apa kau tahu?"
"Pikirkan Tasya. Ia masih anak-anak. Kalau mau bermesra-mesra jangan di depannya."
"Saya berpendidikan, saya seorang ibu. Saya paling memahami Tasya dibanding kau. Jadi jangan mendikte saya."
"Seserius apa hubungan kalian?" Tiba-tiba Kasimin menanyakan hal lain.
"Apa maksudmu?"
"Bisa dibilang kalian sudah lama berhubungan. Tetapi hubungan kalian jalan ditempat, tak ada tindak lanjut. Saya jadi curiga ia tidak betul-betul serius. Seandainya ia serius, sejak dulu ia menikahimu, paling tidak melamarmu."
"Kita sekarang punya kehidupan pribadi masing-masing. Mau hubungan saya dan Pram begini-begini saja, sampai delapan tahun kedepan, tak perlu kiranya kau ikut campur."
"Tapi kau tetaplah ibu dari anak saya."
"Ya, itu tak bisa dibantah. Nyatanya kita sudah bercerai. Bercerai karena salahmu sendiri. Apakah kau pernah memikirkan bagaimana sakit hati yang saya rasakan?"
"Bahkan saya sudah meminta maaf, berkali-kali dan kau memaafkan. Saya khilaf dan sangat menyesal."
"Kenapa tidak sejak dulu kau menikahi perempuan selingkuhanmu itu? Atau mencari wanita lain. Saya pikir itu lebih baik daripada mencampuri kehidupan pribadi mantan istrimu," ucapan terakhir dari Marliang sebelum memutus telepon.
***
Setiba di Makassar, tempat pertama yang Kasimin kunjungi selepas meninggalkan bandara adalah jasa rental mobil. Ia membawa toyota yaris hitam metalik menuju mal di pusat kota. Ada beberapa potong pakaian yang ia beli untuk putri kecilnya yang tahun ini akan masuk sekolah dasar; piama bermotif bunga, gaun indah berwarna violet tampak seperti pakaian yang dikenakan tokoh-tokoh dalam film Barbie, dan tak ketinggalan boneka beruang agak besar.
Sebelum keluar dari mal, tiba-tiba ia terpikirkan Marliang, di pelupuk matanya hadir bayang-bayang mantan istrinya sebagaimana yang terakhir ia lihat. Usia sudah 38 tahun, namun baginya Marliang masih menarik, dengan tubuh yang terjaga, terlebih-lebih sejak hidup menjanda. Kasimin masih mencintai wanita itu sampai kapan pun, itu yang selalu ia tanamkan dalam lubuk hatinya.Â
Maka wajar ia rada-rada tak restu bila Marliang dekat dengan Pram atau laki-laki lain. Tapi ia sadar statusnya hanya sebagai bekas suami, dan sangat menyesalkan perceraian mereka.
Kasimin tergerak mempersembahkan tas tangan merek ternama dari bahak kulit untuk Marliang. Sebenarnya ia selalu ingin melakukan itu kepada Marliang, tapi di tahun pertama perceraian pemberiannya ditolak mentah-mentah Marliang. Ia mencoba kembali dan harapannya Marliang mau menerima.
Tiga tahun tak lagi hidup bersama, tapi Kasimin masih hapal betul-betul merek mekap yang sering digunakan Marliang. Ia merogoh dompet dalam-dalam, untuk menebus semua itu.
Di penghujung hari, ia menikmati senja di Pantai Losari, seorang diri menatap kilau air laut, memerhatikan keramaian di sana, sampai malam datang mengusir langit jingga. Sebelum pukul tujuh, ia meninggalkan Pantai Losari, membawa toyota yaris ke rumah mantan istrinya. Di tengah jalan ia sempat menelepon Marliang mengabarkan kedatangannya.
Dan sekali lagi turun dari mobil membeli martabak.
Betapa Kasimin senang bakal terjadi pertemuan kembali, tidak hanya merindukan putri kecilnya yang katanya sakit, tapi juga ingin kembali melihat mantan istrinya. Tapi kejadian yang tidak disangka-sangka menghampirinya. Membuatnya dirawat di rumah sakit, berhari-hari.
***
"Apa yang sebenarnya terjadi pada saya? Mengapa saya dihajar oleh mereka?" Pertanyaan pertama yang keluar dari mulut Kasimin, masih lemah, setelah siuman. Lebam di wajahnya masih tampak, ada perban di perutnya. Marliang tak sanggup menyembunyikan perasaan senangnya.
Tapi Marliang sempat bingung harus memulai dari mana menjelaskan semua yang terjadi padanya. Agak lama saling diam, Tasya tertidur di pangkuan Marliang duduk di sisi ranjang.
"Apakah anak kita sudah sembuh?"
Marliang makin dibuat ragu untuk menjelaskan semuanya.
"Berapa lama saya tak sadar?"
Sebuah penjelasan hanya bisa tebersit di dalam hati Marliang, sulit melisankan kepada mantan suaminya. Cara yang Marliang lakukan, mengetik cepat di ponsel pada aplikasi evernote; perihal yang ingin ia katakan kepada Kasimin yang begitu berat terucap.
"Sya tdk brhubngn dgn Pram lgi. Sya yg memts hbgan dnga.nya. Ia kebrtn. Sjak saat itu sya hdup dlm ketkutn. Serngkli sya mendpt ancmn lwt WA, email & jga telpon. Sya ingn DIPERKOSA, sya ingn DIBUNUH. Sya tkut sekli. Sya rgu apkh itu surhan Pram? Ia seorg dosen, mungkinkh orng berpenddkan sprti ia akn melkukn hal sebiadp itu? Sy tidak punya maslh dgn sipa pun, kecuali kau kdang2 sy anggp maslh. Dan Pram krna kberatnnya hbngan kami berkhir. Srta slah sorng mahasiswa sy, ia mrah2 stlah proposal.y sringkli sy sruh u/ melkukan revisi."
"Tdk bnar Tasya skit. Alhamdulillah, ia shat. Sya takt dgn teror itu. Ancman memng dialamatkn kpda sy, tpi Tasya jga dlm ancamn, krena sy adlh ibu.y & hdp dgn.y. Sy dan Tasya buth kamu. Sy tkut & sgt khwtir. Kau trluka mngkin bagian dri teror itu. Maafkan sya. Dan mobil yg kau rental sdh sya kemblikan, sy dan Tasya menerma barang pembrianmu. Sy jga sdah mmbuat laporan. Tpi Sy mash diteror, pesan2.y ada di WA."
Hanya sampai di situ Marliang bisa mengetik, lalu menyerahkan ponsel itu kepada Kasimin. Kemudian ia menangis.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H