Tangannya tanpa ragu membersihkan bibirku. Mungkin dia menemukan ada sesuatu di sana. Anehnya aku membiarkannya saja. Bahkan aku tidak berdaya mencegatnya ketika jari-jarinya sudah memberikan sentuhan pada pipiku. Kami beradu pandangan, "Saya sudah tahu keadaanmu. Kesetian saya tidaklah berubah. Saya tetap bertahan padamu. Sekali lagi hanya satu perempuan yang saya harapkan menemani kehidupan saya adalah kau, Marliang," tegasnya.
Aku tidak suka mendengar itu. Kuturunkan tangannya yang menjamah pipiku, "Berhentilah dengan semua kebodohanmu, Kasimin. Tuhanmu tidak menakdirkan kita hidup bersama. Kau harus menerima semua itu."
"Untuk ini saya melawan takdir. Saya sangat mencintaimu, kekasih. Saya akan menerima kedatanganmu dalam keadaan apapun itu suatu hari kelak."
"Saya tidak akan pernah datang padamu."
"Saya berharap kau datang. Dan saya yakin sekali itu." Tangannya kembali bermain di wajahku. Dia memajukan kepalanya lebih dekat. Aku tidak kuasa lagi melihatnya, kutundukkan pandanganku, tidak ada upaya untuk menghentikannya. Puncaknya kurasakan bibirnya sudah menempel di bibirku. Kami tidak peduli lagi apakah ada pasang mata menyaksikan. Kami selesaikan perkara kecil ini, yang bagiku sangat sialan dan keterlaluan.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H