"Kau saja yang menentukan."
Kami menyepakati untuk bertemu di taman kota pukul sembilan lewat tiga puluh menit. Aku masih memiliki waktu beberapa menit untuk bersiap-siap. Semenjak aku hamil sangat malas aku keluar rumah tanpa bersama suamiku. Tetapi karena pertemuan maha penting ini, aku harus melakukannya.Â
Aku sedang hamil tua tidak kuperdulikan lagi, mobil telah kukeluarkan dari garasi. Meninggalkan halaman rumah, dalam kecepatan sedang menuju taman kota.
Bertemulah aku dengannya setelah sepuluh tahun berlalu. Di bawah pohon yang berada di pinggir danau buatan. Di titik ini kami sepakati untuk bertemu melalui komunikasi email. Tampilannya memang berubah, tapi aku tidak terkecoh mengenalinya. Tubuhnya masih kurus. Potongan rambutnya kini menjadi semi panjang. Dan kumisnya dibiarkan memberontak.
Dia tampak ragu, mungkin karena tubuhku melar, perutku membuncit. "Hei, saya Marliang. Apakah kau tidak mengenali saya lagi?" beruntung dia masih mengenal suaraku. Kami duduk di bawah pohon ini bersampingan. Tentu saja ada jarak di antara kami. Aku merasa tidak enak, dia terlihat tidak berselera dengan pertemuan ini. Apakah aku begitu jelek di matanya?
"Saya kira kau sudah tahu keadaanku sekarang," aku tidak kuasa menatapnya.
"Saya agak syok. Tidak pernah saya sangka kau bakal begini," balasnya singkat.
"Sepuluh tahun Kasimin, mengapa kau mau bertahan selama itu? Apakah kau tidak berpikiran sama sekali, mengenai pernikahan saya?"
"Saya selalu teringat ucapan kesetianmu pada saya."
"Ketika saya meninggalkanmu, itu artinya saya telah mengingkari semuanya. Maaf terpaksa harus saya lakukan itu. Dan tidak ada kesempatan lagi mengabarimu. Semuanya begitu mendesak. Saya tidak punya pilihan untuk tidak mengikut keluarga saya pindah ke tanah Kalimantan."
Aku melanjutkan, "Hanya selang beberapa bulan, oleh orang tua saya diperekenalkan anak kerabatnya. Bertahan padamu adalah kebodohan. Tidak ada keyakinan lagi kami akan kembali ke Waisiruppa, atau ke tanah Sulawesi yang lain. Melihat perlakuan diskriminasi orang-orang di sana yang memandang keluarga kami sebelah mata. Sejak mereka tahu, kami tidak menganut agama apa-apa. Mereka memperlakukan kami yang tidak-tidak.Â
"Orang tua saya  mengkhawatirkan tindakan mereka sewaktu-waktu akan anarkis. Bila orang beragama sudah dikuasai setan, tindakannya pun bisa sangat biadap. Saya begitu sedih meninggalkan Waisiruppa, meninggalkanmu, mengingkari semua kesetiaan yang diucapkan bersama. Kami menempuh perjalanan darat selama berjamjam sampai di Pare-pare, kemudian melalui jalur laut sampai di Balikpapan.