Jam telah menunjukkan pukul delapan lewat. Beberapa menit yang lalu suamiku sudah berangkat kerja. Anak-anakku pun ke sekolah ditemani oleh pembantu di rumah kami. Hanya aku seorang di rumah ini. Tubuhku sangat membengkak, perutku seperti ingin meletus. Perkiraan dokter yang menanganiku, dua minggu lagi waktu persalinanku. Aku sudah mewanti-wanti untuk menyelesaikan membaca suratnya sebelum masa persalinanku tiba. Aku dibuat ketagihan untuk terus membacanya, sehingga sampai hari ini tersisa lima yang belum aku rampungkan.
Pagi ini pun akan kutuntaskan semuanya. Biar besok tidak ada lagi tuntutan pagi-pagi harus berlama-lama di depan monitor. Tentu saja aku berharap dari kelima surat yang tersisa, tercantum satu nama perempuan selain aku. Aku tidak ingin terus-terusan diliputi perasaan bersalah; membuatnya tidak bisa melupakanku.
Aku memperbaiki posisiku di hadapan komputer. Aku langsung membuka emailku. Ada beberapa email baru yang masuk. Tetapi tidak kuperdulikan, salah satu di antaranya promo produk terbaru salah satu toko online langgananku. Segera aku melanjutkan membaca suratnya yang tersisa. Walaupun terkesan membosankan mengetahui sederet kegiatan yang dilakukannya, tetapi aku tidak tega untuk tidak menuntaskannya.
Sepenggal kalimat yang tertulis di surat keseratus dua puluh, "Bulan depan jika tidak ada aral melintang novel saya sudah bisa ditemukan di toko buku...." surat kedua puluh itu dia kirim sebulan yang lalu. Itu tandanya, bukunya sudah tersebar di toko. Oh, betapa ingin sekali aku membacanya. Tetapi, mengapa dia tidak membocorkan judulnya? Aku jadi dibuat ragu. Jangan-jangan dia mengibuliku. Tetapi tidak, aku bertahun-tahun pacaran dengannya, dan dia bukan tipikal lelaki yang suka berdusta. Tidak ada surat lagi.
Aku agak lama termenung di depan komputer. Di satu sisi ada keinginan untuk membalasnya, tetapi sudah sepuluh tahun berlalu, mengapa baru sekarang aku memperdulikan suratnya? Aku tidak ingin membalasnya, namun perasaan bersalah ada.
Setelah aku pikir-pikir, walau bagaimana pun juga dia berhak tahu keadaanku, biar dia bisa memahami semuanya. Ya, aku harus membalasnya. Aku mengatur nafasku. Pikiranku bekerja mengumpulkan kata-kata yang hendak kutuangkan. Jemariku sudah siap di atas keyboard. Belum juga satu huruf tertekan, tanganku berpindah ke mouse. Jantungku tiba-tiba berdebar. Surat keseratus dua puluh satu darinya sampai. Membuyarkan kalimat yang terangkai dalam kepalaku.
Aku perlu membacanya. Bibirku bergerak mengikuti alunan huruf-huruf dalam suratnya itu. Salah satu paragraf begini, "Marliangku yang menawan, semua berjalan sesuai rencana. Hari ini adalah acara peluncuran buku saya. Semua berkat doamu. Kendati saya tidak tahu di mana sekarang kau berada, saya yakin iringan doa senantiasa tercurahkan darimu." Padahal aku tidak berdoa apa-apa. Mungkin dia sudah lupa mengenai aku bukanlah pemeluk agama. "Dan hari ini adalah peluncuran buku saya, di salah satu pusat perbelanjaan. Saya menginap di hotel sederhana di kota pempek ini. Saya jadi ingat, dahulu kau punya keinginan untuk makan pempek di kota pempek...." Jantungku semakin berdebar. Tetap kuteruskan surat itu sampai selesai. Nama perempuan lain belum juga ada dimuat dalam suratnya. Yang membuatku sedikit tidak menyangka, sekarang dia ada di kota ini.
Beberapa menit kemudian aku mengetik satu kata, "Hai!" terus terang saja aku tidak tahu harus berkata apa. Aku menunggu balasannya, sampai tiga menit tak kunjung ada. "Saya telah membaca semua suratmu. Maaf baru sekarang saya membalasnya. Ternyata sekarang kita berada di kota yang sama," kukirim tiga kalimat itu. "Kita bisa bertemu?" dia akhirnya membalas. Aku yakin dia pasti antusias mendengar pengakuanku. Betapa sudah sangat lama dia mencari tahu keberadaanku. Aku memang perlu bertemu degannya, pertemuan itu nantinya kesempatan yang sangat baik untuk mengetahui keadaanku sekarang.
"Kapan kita bisa bertemu?" balasku.
"Acara saya jam dua sore nanti. Pagi ini saya memiliki waktu luang. Bagaimana denganmu?"
"Saya tidak memiliki aktivitas apa-apa. Di mana kita harus bertemu?"