Mohon tunggu...
Mawan Sastra
Mawan Sastra Mohon Tunggu... Koki - Koki Nasi Goreng

penggemar fanatik Liverpool sekaligus penggemar berat Raisa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mencintai Sundal

29 Maret 2019   06:50 Diperbarui: 29 Maret 2019   07:04 247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

1. Telingaku sudah muak disusupi curahan hatimu. Tentang kau yang mencintai seorang pelacur. Setiap pertemuan kita, selalu kau tekankan itu padaku. Seolah-olah ingatanku cepat hilang, sehingga kau perlu memberitahuku berulang kali. Sungguh betapa tak eloknya laki-laki terpelajar sepertimu jatuh cinta pada seorang pelacur.

2. Ibu mana di dunia ini merestui anaknya ingin menikahi pelacur? Ibu amat tidak meridhoi cintamu itu. Jika kau berkenan, Ibu bisa mencarikanmu perempuan yang menawan untuk kau persunting. Apa kata tetangga kelak jika menantuku hanyalah seorang pelacur? Kau seharusnya bisa mengenali dirimu. Apa gunanya pendidikan yang kau peroleh selama bertahun-tahun jika pada akhirnya kau menikahi seorang pelacur?

3. Bunga yang tumbuh di taman depan rumah tidak selamanya akan mekar. Daun-daun tidak selalu akan berwarna hijau, bahkan pohon sekokoh bagaimana pun, akan roboh pada masanya. Demikianlah kehidupan, Bu, kata orang hidup ini dinamis tak statis. Seorang pelacur tidak selamanya akan hidup melacur. Semua akan kuserahkan padanya, mau menjadi istri yang berbakti pada suami. Atau tetap menjadi pelacur. Tapi aku yakin ia akan bisa memahami semuanya setelah kami menikah.

4. Lanangku, bahkan mendiang bapakmu kepingin kau menikah dengan perempuan yang sekaliber dirimu. Ia bukan kelas kita. Ia hanya perempuan jalang sedangkan kita keluarga beradat. Sudah tentu pamanpamanmu akan mengutuk keinginanmu untuk mempersuntingnya. Entah setan apa yang merasuki pikiranmu, lanangku. Apakah semuanya karena kekecawaanmu pada Laila?

5. Tiba-tiba kau datang ke rumahku. Sebenarnya aku ragu membukakan pintu padamu. Kutahu kau akan menemuiku hanya untuk mengulangi perkataan yang sama kemarin-kemarin. Bahwa kau mencinai seorang pelacur, kau ingin menikahinya. Aku sudah jemu dengan semua itu kawan. Aku lebih senang bila kau kembali menceritakan tentang ambisimu untuk menunggu Laila.

6. Yang kusesali, mengapa dia begitu lancang memberitahu perihal diriku mencintai pelacur pada ibuku. Padahal kutekankan padanya untuk merahasiakan semua itu. Mulutnya terlalu ringan. Aku hanya menunggu momen yang tepat untuk menguak semuanya pada ibuku. Dia terlanjur melaporkannya. Karena itu aku dicerca habis-habisan oleh ibuku. Kawan macam apa dia? Baiklah jika memang dia ingin cari perkara denganku. Akan kuselesaikan semuanya.

7. Begitu aku membuka pintu. Bogeman menghantam wajahku. Kemudian perutku ditendang. Aku tersungkur ke lantai. Aku masih bisa melihat raut wajahnya penuh amarah. Belum puas, ia menaiki tubuhku. Wajahku ia hajar sampai babak belur. Aku dibuat tidak berdaya. Ia pun meninggalkan rumahku, tanpa ada kata-kata. Awalnya aku masih belum mengerti mengapa ia meradang begitu. Akhirnya aku sadar, semuanya ada kaitannya dengan kejadiaan kemarin saat aku menemui ibunya.

8. Malam sudah semakin larut. Lanangku belumlah juga pulang. Aku takut apabila lanangku menemui pelacur itu. Tidak semua pelacur penyakitan. Tapi bagaimana kalau ia salah satu pelacur yang penyakitan? Bagaimana kalau mereka berhubungan malam ini? Bagaimana kalau penyakitnya itu tertular pada lanangku? Aku dibuat berpikiran yang tidak-tidak. Aku gelisah, mondarmandir aku di ruang depan. Menunggu lanangku kembali.

9. Aku bukan lelaki yang suka minum. Karena kacaunya pikiranku, aku tergoda untuk memasuki bar. Di sana aku mabuk. Apa Di tempat tinggalku, kadang aku dipercaya untuk menyampaikan nasihat di atas mimbar kepada para jamaah. Ya, aku munafik, kusadari diriku seperti ini. Aku kembali ke rumah saat hari sudah subuh. Ternyata Ibu masih setia menungguku. Matanya tampak berkaca-kaca melihatku.

10. Sebagai kawannya. Aku menentang keras keinginannya untuk menikahi pelacur. Aku tahu betul siapa pelacur itu. Bagaimana mungkin kawanku akan memperistri seorang perempuan yang aku hapal betul dalamannya. Ya, jauh sebelum dia mengenalnya, aku terlebih dahulu menjadi langganan pelacur itu. Jika sedang banyakbanyaknya uang, aku akan ke bordil tempatnya. Selalu ia yang kupilih untuk menemaniku tidur. Seperti malam ini, aku akan kembali menemui pelacur itu. Kondisiku sudah agak baikan setelah dihantam olehnya beberapa malam yang lalu.

11. Oh, Laila semua kekacauan ini kaulah biang keroknya. Kau begitu tega menaruh rasa sakit padaku. Jika kutahu cinta yang kita jaga ujungnya bakal seperti ini. Kau meragukan kembaliku padamu. Padahal kepergianku hanya untuk masa depan kita. Sayangnya kau tidak sabar menunggu. Aku pulang kau telah menikah. Mengapa aku dihadapkan persoalan sakit hati yang begitu klise ini? Semula memang aku berkenan untuk menunggu perceraiaanmu. Kuurungkan niat bodohku itu. Aku tidak selemah itu Lailah, aku bisa menghadirkan sosok penggantimu. Ia seorang pelacur. Tugasku sekarang untuk meyakinkannya, meyakinkan Ibu bahkan orang-orang. Pelacur juga berhak mengecap kebahagiaan.

12. Aku tertawa lepas ketika salah seorang pelangganku datang padaku. Kupikir kedatangannya lantaran tidak kuasa membendung nafsu serakahnya sehingga memintaku untuk melayaninya. Dialah salah satu dari sekian laki-laki yang sering kulayani. Lucu rasanya kami membiarkan waktu berjalan hanya duduk bersampingan di atas ranjang. Ia memberikan pernyataan yang lucu bahwa kawannya jatuh cinta padaku. Dan kawannya itu berkenan menikahiku.

"Aku hanya seorang pelacur."

"Ya, dan dia seorang berpendidikan yang jatuh cinta pada seorang pelacur."

"Hahaha, apa kata orang jika kami menikah nanti? Sepertinya hubungan kami begitu lucu."

"Aku sudah menjelaskan padanya. Dia tidak mau mengerti. Dia begitu ngotot ingin menikahimu."

"Aku hanya seorang pelacur. Jika ia bersungguh-sungguh, sudah tentu akan menemuiku untuk menyampaikan sendiri hajatnya bukan melalui perantara."

"Aku datang padamu atas inisiatif sendiri. Besok jika kau bertemu dengannya jangan beberkan kedatanganku ini. Dan jangan sekali-kali membuka mulut bahwa aku adalah pelanggan setiamu."

"Tak usah risau, aku akan menjaganya."

"Terima kasih, aku harus pulang sekarang."

"Kau terburu-buru sekali. Padahal aku ingin melayanimu."

"Ahh, kau begitu dicintai kawanku. Aku tidak enak padanya."

"Hei, belum juga aku menjadi istrinya."

"Bisa saja kau akan menjadi istri kawanku."

"Belum tentu aku menerima."

Apakah perempuan sepertiku memang pantas dipersunting olehnya? Kabar tentang keinginannya untuk menikahiku membuat pikiranku runyam. Selama ini laki-laki hanya ingin menikmati tubuhu. Anehnya dia ingin lebih dari itu, dia ingin menikahiku. Padahal di luar sana begitu banyak perempuan yang lebih baik dariku. Aku hanya perempuan hina.

13. Aku gelisah dalam kamar. Kedua mataku sulit terpejam. Berkali-kali aku membaringkan tubuhku tapi tak bisa terelap. Segera aku membuka pintu kamar. Aku harus menemui pelacur itu. Sekaranglah saatnya kusampaikan keinginanku padanya.

14. Beruntung kau tidak melihatku. Apa jadinya jika kau tahu aku baru saja menemui pelacur itu. Bisa dipastikan kau akan menghajarku. Sekalipun aku membisu tentang kedekatanku dengannya, kebenaran tetaplah kebenaran, aku seringkali dilayani perempuan yang kau cinta. Kau berjalan begitu tergesa menerobos pintu masuk bordil. Sampai-sampai kau tidak menyadari kita berpapasan di jalan. Mungkin karena sengaja kututupi wajahku dengan kera bajuku, sehingga kau sulit mengenaliku. Aku kasihan padamu kawan. Lantaran Laila kau jadi aneh.

15. Aku terkejut dengan kedatangannya. Aku jadi kaku. Pura-pura kurapikan rambutku, sembari menunggunya membuka mulut. Dia pun tampak canggung. Lama-lama dia memberanikan diri menggeser duduknya di dekatku. Kami bersampingan di sisi ranjang. Dekatnya kami, aku bisa mencium wangi parfumnya. Tiba-tiba ia menggenggam tanganku, memandang mataku lekat-lekat. Aku bisa melihat matanya yang binar dibalik suasana kamar yang remang. Dia tidak hanya berani menyentuh tanganku, wajah dan bibirku dia cium.

16. Alam tahu aku munafik. Pada kesempatan lain di atas mimbar aku kerap menyuarakan bahaya zina. Pada malam ini aku tidur dengan pelacur yang kucintai. Ketika persanggamaan kami berakhir, aku menyampaikan keinginanku padanya. 

"Seorang pelacur juga berhak mengecap kebahagiaan," tegasku padanya. Dia malah meletupkan tawanya. "Aku begitu bahagia dengan duniaku ini," timpalnya. Atas permintaanku dia menjelaskan latar belakangnya menjadi pelacur. Alasan yang sangat klise, lagi-lagi karena persoalan ekonomi di negeri ini. Kebutuhan mendesak, dia butuh uang. Tidak punya jalan lain selain menjual diri. Awalnya hanya mencoba, lamalama larut dalam dunia gelap. "Aku akan segera menikahimu, tenanglah!" aku mengusap wajahnya.

17. Kebahagiaan yang dia janjikan padaku ternyata hanya sesaat. Sekarang dia mendekam di dalam bui atas tuduhan pembunuhan. Buah perkawinanku dengannya, menghasilkan dua anak. Aku harus membesarkan anak-anakku seorang diri. Mustahil aku akan kembali di dunia pelacuran lagi, aku sadar diri, aku tidak menarik lagi. Lagi pula insyaf sudah kutanamkan kuat-kuat dalam diriku. Aku memiliki tanggung jawab kepada anak-anakku serta janji setia kepadanya.

18. Lanangku, pesanmu hanya satu untuk sudi menerima menantu dan cucuku. Aku tidak harus terus-terusan menuruti egoku. Setelah kupikir-pikir, memang baiknya aku mengindahkan seruanmu itu. Untuk kali pertama aku akan menemui mereka. Jika mereka berkenan aku ingin hidup bersamanya, hingga kau terbebas dari hukuman.

19. Setan betul-betul menguasaiku. Aku bisa menerima istriku adalah bekas pelacur. Tapi aku tidak bisa membenarkan bahwa kau sendiri ternyata sering menganggahi istriku ketika masih pelacur. Setelah aku menikah dengannya, bisik-bisik dari orang-orang kerap terdengar bahwa kau pernah menjadi pelanggan setia istriku. Aku meminta pada istriku untuk membeberkan semuanya. Dia mengakui itu. Aku benar-benar cemburu, aku sangat mencintainya. Maka kudatangilah rumahmu. Setan bersemayam dalam diriku. Aku membacokmu berkali-kali. Di dalam bui ini baru aku menyesal.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun