Ia akan memakai pakaian serba emas, kereta emas,begitu juga delapan kuda dengan diiringi seribu bidadari serba keemasan yang tak lain adalah istri Pak Wo sendiri.
"Siapakah yang berani menegurku ?" katanya sekali lagi dengan matanya yang merah karena sering pergi malam malam sebelum menuju ke musholla untuk merebahkan tubuhnya. Anehnya, tak pernah sekalipun terlambat bangun untuk sholat subuhnya. Jam berapapun ia baru tidur.
Dulu, sebelum menempati rumah kecil di belakang musholla At Taubah, pernah tinggal di sebuah rumah kecil yang tak ubahnya kandang sapi. Dan memang layak disebut kandang sapi juga, karena rumah itu bersebelahan dengan kandang sapi milik pak pala yang masih berbau kerabat dengannya
Bau tlethong sapi dibakar pemiliknya pagi pagi, bukan hal yang aneh bagi hidung Pak Wo sendiri.
Ia bisa bertahan di tempat itu sampai beberapa tahun sebelum pindah ke sebuah musholla kecil tak jauh dari rumah kandang sapinya.
Entah sejak kapan mulai mengenal adzan ataupun bedug masjid di desa itu, atau sarung dan kopyah, tetapi tiba-tiba saja Pak Wo adalah salah seorang penghuni setia di musholla terdekatnya untuk ikut bersembahyang dan selalu tepat waktu.
Mulai saat itu ia menghuni sebuah musholla kecil dan rajin membersihkan sebelum dipergunakan orang orang untuk sholat.
Dengan bahasa yang lugas, pembaca langsung bisa mendapat gambaran sosok Pak Wo. Bagi yang sering dolan ke rumah Pak Hardono WS, tentu tak asing dengan sosok Pak Wo karena sering "berbagi" rokok.
Berikut saya kutip puisi Inilah dari antologi bersama Selamat Pagi Ngoro Industri:
INILAH