PROSES KREATIF:PERLU RISET ATAU PUASA NGROWOT?
Oleh Abdul Malik
Dalam menghasilkan karya seni, seniman selalu melalui fase pematangan ide dan proses kreatif menuju hasil karya seni. Ide bisa muncul dari hal-hal biasa dan sepele yang ada di sekitar kita atau tiba-tiba saja berkelebat dalam pikiran kita saat jagongan di warung kopi.
Tulisan ini tidak berpretensi menghakimi, mana yang lebih baik, apakah karya seni yang dihasilkan melalui riset dan memuat catatan kaki dari puluhan buku kepustakaan ketimbang mendapatkan ide lewat puasa ngrowot misalnya. Sepenuhnya kembali ke selera penikmat dan tentu saja kepuasaan batin sang seniman.
Tahun 2008, Hadi Sucipto (lahir di Mojokerto, 1963) guru kesenian di SMAN Gondang membaca buku Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. Setelah beberapa kali membaca di tengah kesibukan jam mengajar di tiga sekolah yang padat, Pak Cip panggilan akrabnya, terkesan dengan sosok Bu Muslimah dalam novel tersebut. Karena sosok Bu Muslimah sudah "seperti energi yang muntup-muntup di ubun-ubun", Pak Cip mulai membuat sket di kanvas ukuran 145 x 150 cm. Dalam waktu singkat lukisan tersebut selesai. Dalam acara Kick Andy Off Air di Surabaya, Pak Cip mendapatkan kesempatan menyerahkan langsung karya tersebut kepada Andrea Hirata, salah satu murid Bu Muslimah.
Nampaknya Pak Cip termasuk seniman yang peka dan mudah "terangsang" pada hal-hal atau peristiwa yang membuatnya terkesan pada pandangan pertama.Ide yang didapat kemudian "digodog" lewat proses kreatif membaca buku, mengumpulkan data dari internet, datang ke pameran seni rupa atau menonton film.

Berikut kutipan dari novel setebal 235 halaman tersebut:
Rumahnya kecil tepat di belakang musholla.
Tampaknya, inilah rumah terakhirnya sebelum "murco" bersama seribu bidadari yang menjemputnya dengan kereta serba emas dan intan permata.
" Tak ada yang berani menatap mukaku, apalagi menegur sapa kalau aku naik ke langit lapis tujuh dengan suara yang menggelegar disertai angin ribut berkepanjangan. Siapakah yang berani menegurku ?" katanya kalau sedang bercerita tentang "murco"nya kelak.
Ia akan memakai pakaian serba emas, kereta emas,begitu juga delapan kuda dengan diiringi seribu bidadari serba keemasan yang tak lain adalah istri Pak Wo sendiri.
"Siapakah yang berani menegurku ?" katanya sekali lagi dengan matanya yang merah karena sering pergi malam malam sebelum menuju ke musholla untuk merebahkan tubuhnya. Anehnya, tak pernah sekalipun terlambat bangun untuk sholat subuhnya. Jam berapapun ia baru tidur.
Dulu, sebelum menempati rumah kecil di belakang musholla At Taubah, pernah tinggal di sebuah rumah kecil yang tak ubahnya kandang sapi. Dan memang layak disebut kandang sapi juga, karena rumah itu bersebelahan dengan kandang sapi milik pak pala yang masih berbau kerabat dengannya
Bau tlethong sapi dibakar pemiliknya pagi pagi, bukan hal yang aneh bagi hidung Pak Wo sendiri.
Ia bisa bertahan di tempat itu sampai beberapa tahun sebelum pindah ke sebuah musholla kecil tak jauh dari rumah kandang sapinya.
Entah sejak kapan mulai mengenal adzan ataupun bedug masjid di desa itu, atau sarung dan kopyah, tetapi tiba-tiba saja Pak Wo adalah salah seorang penghuni setia di musholla terdekatnya untuk ikut bersembahyang dan selalu tepat waktu.
Mulai saat itu ia menghuni sebuah musholla kecil dan rajin membersihkan sebelum dipergunakan orang orang untuk sholat.
Dengan bahasa yang lugas, pembaca langsung bisa mendapat gambaran sosok Pak Wo. Bagi yang sering dolan ke rumah Pak Hardono WS, tentu tak asing dengan sosok Pak Wo karena sering "berbagi" rokok.

Berikut saya kutip puisi Inilah dari antologi bersama Selamat Pagi Ngoro Industri:
INILAH
Diantara pucat hujan/usai dihantam penjarahan/diantara banjir yang menenggelamkan kota/dan menghanyutkan desa-desa/diantara semarak togel/dan ekspor wanita diantara laris sabu-sabu dan ganja/diantara licinnya penyelundupan/mobil-mobil mewah/diantara indahnya sirkus/dimeja-meja persidangan/diantara menggemuknya/saku anggota dewan/diantara gemuruh lagu demonstran/diantara sumpah serapah buruh pabrik/yang kedodoran/diantara begal, maling, rampok, copet/yang diarak dan dibakar/diantara bom yang meledak/di jalan raya, pasar swalayan/dan rumah-rumah tuhan
Inilah negeri/yang tak pernah habis air matanya/ngos-ngosan nafasnya/lantaran pelaku korupsi/ dan orang-orang tercela/selalu luput dari penjara
Meski ditulis enam belas tahun lalu, puisi diatas masih memiliki kontekstual kekinian.
Hadi Sucipto, Hardjono WS, Saiful Bakri memiliki ide dan proses kreatif masing-masing, namun ketiganya sama-sama telah memberi makna pada hidup.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI