Mohon tunggu...
Abdul Malik
Abdul Malik Mohon Tunggu... Penulis seni - penulis seni budaya

penulis seni. tinggal di malang, ig:adakurakurabirudikebonagung. buku yang sudah terbit: dari ang hien hoo, ratna indraswari ibrahim hingga hikajat kebonagung

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Proses Kreatif: Perlu Riset atau Puasa Ngrowot?

6 Februari 2018   23:40 Diperbarui: 6 Februari 2018   23:59 804
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Saiful Bakri. Dok.pribadi

PROSES KREATIF:PERLU RISET ATAU PUASA NGROWOT?

Oleh Abdul Malik

Dalam menghasilkan karya seni, seniman selalu melalui fase pematangan ide dan proses kreatif menuju hasil karya seni. Ide bisa muncul dari hal-hal biasa dan sepele yang ada di sekitar kita atau tiba-tiba saja berkelebat dalam pikiran kita saat jagongan di warung kopi.

Tulisan ini tidak berpretensi menghakimi, mana yang lebih baik, apakah karya seni yang dihasilkan melalui riset dan memuat catatan kaki dari puluhan buku kepustakaan ketimbang mendapatkan ide lewat puasa ngrowot misalnya. Sepenuhnya kembali ke selera penikmat dan tentu saja kepuasaan batin sang seniman.

Tahun 2008, Hadi Sucipto (lahir di Mojokerto, 1963) guru kesenian di SMAN Gondang membaca buku Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. Setelah beberapa kali membaca di tengah kesibukan jam mengajar di tiga sekolah yang padat, Pak Cip panggilan akrabnya, terkesan dengan sosok Bu Muslimah dalam novel tersebut. Karena sosok Bu Muslimah sudah "seperti energi yang muntup-muntup di ubun-ubun", Pak Cip mulai membuat sket di kanvas ukuran 145 x 150 cm. Dalam waktu singkat lukisan tersebut selesai. Dalam acara Kick Andy Off Air di Surabaya, Pak Cip mendapatkan kesempatan menyerahkan langsung karya tersebut kepada Andrea Hirata, salah satu murid Bu Muslimah.

Nampaknya Pak Cip termasuk seniman yang peka dan mudah "terangsang" pada hal-hal atau peristiwa yang membuatnya terkesan pada pandangan pertama.Ide yang didapat kemudian "digodog" lewat proses kreatif membaca buku, mengumpulkan data dari internet, datang ke pameran seni rupa atau menonton film.

Hadi Sucipto. Dok.pribadi
Hadi Sucipto. Dok.pribadi
Tak jauh berbeda dengan Pak Cip, Hardjono WS (lahir di Bondowoso1945-meninggal di Mojokerto,2013) seniman multi talenta, juga menjadikan hal-hal biasa yang bertebaran di sekitarnya menjadi ide kreatif karya-karyanya. Novel Apa Kabar Pak Wo misalnya mendapatkan ide dari sosok Pak Wo, lelaki tua yang membersihkan musholla dan sering dolan ke rumahnya.

Berikut kutipan dari novel setebal 235 halaman tersebut:

Rumahnya kecil tepat di belakang musholla.

Tampaknya, inilah rumah terakhirnya sebelum "murco" bersama seribu bidadari yang menjemputnya dengan kereta serba emas dan intan permata.

" Tak ada yang berani menatap mukaku, apalagi menegur sapa kalau aku naik ke langit lapis tujuh dengan suara yang menggelegar disertai angin ribut berkepanjangan. Siapakah yang berani menegurku ?" katanya kalau sedang bercerita tentang "murco"nya kelak.

Ia akan memakai pakaian serba emas, kereta emas,begitu juga delapan kuda dengan diiringi seribu bidadari serba keemasan yang tak lain adalah istri Pak Wo sendiri.

"Siapakah yang berani menegurku ?" katanya sekali lagi dengan matanya yang merah karena sering pergi malam malam sebelum menuju ke musholla untuk merebahkan tubuhnya. Anehnya, tak pernah sekalipun terlambat bangun untuk sholat subuhnya. Jam berapapun ia baru tidur.

Dulu, sebelum menempati rumah kecil di belakang musholla At Taubah, pernah tinggal di sebuah rumah kecil yang tak ubahnya kandang sapi. Dan memang layak disebut kandang sapi juga, karena rumah itu bersebelahan dengan kandang sapi milik pak pala yang masih berbau kerabat dengannya

Bau tlethong sapi dibakar pemiliknya pagi pagi, bukan hal yang aneh bagi hidung Pak Wo sendiri.

Ia bisa bertahan di tempat itu sampai beberapa tahun sebelum pindah ke sebuah musholla kecil tak jauh dari rumah kandang sapinya.

Entah sejak kapan mulai mengenal adzan ataupun bedug masjid di desa itu, atau sarung dan kopyah, tetapi tiba-tiba saja Pak Wo adalah salah seorang penghuni setia di musholla terdekatnya untuk ikut bersembahyang dan selalu tepat waktu.

Mulai saat itu ia menghuni sebuah musholla kecil dan rajin membersihkan sebelum dipergunakan orang orang untuk sholat.

Dengan bahasa yang lugas, pembaca langsung bisa mendapat gambaran sosok Pak Wo. Bagi yang sering dolan ke rumah Pak Hardono WS, tentu tak asing dengan sosok Pak Wo karena sering "berbagi" rokok.

Hardjono WS. Dok.pribadi
Hardjono WS. Dok.pribadi
Saiful Bakri (lahir di Mojokerto, 1972) nampaknya dengan ikhlas memilih menjadi "sastrawan terang" dengan menulis puisi berdasarkan pengalaman keseharian. Tak perlulah puasa "ngrowot" untuk mendapatkan ide menulis puisi katanya suatu hari. Justru ketidakadilan dalam kehidupan sehari-hari merupakan "bara api" baginya buat nulis puisi. Puisi-puisinya yang terkumpul dalam buku 11 Puisi Saiful Bakri, Berita Basi dan Selamat Pagi Ngoro Industriditulisnya semasa menjadi buruh pabrik dan merupakan amanat bahwa "kesaksian harus diberikan, agar kehidupan bisa terjaga".

Berikut saya kutip puisi Inilah dari antologi bersama Selamat Pagi Ngoro Industri:

INILAH

Diantara pucat hujan/usai dihantam penjarahan/diantara banjir yang menenggelamkan kota/dan menghanyutkan desa-desa/diantara semarak togel/dan ekspor wanita diantara laris sabu-sabu dan ganja/diantara licinnya penyelundupan/mobil-mobil mewah/diantara indahnya sirkus/dimeja-meja persidangan/diantara menggemuknya/saku anggota dewan/diantara gemuruh lagu demonstran/diantara sumpah serapah buruh pabrik/yang kedodoran/diantara begal, maling, rampok, copet/yang diarak dan dibakar/diantara bom yang meledak/di jalan raya, pasar swalayan/dan rumah-rumah tuhan

Inilah negeri/yang tak pernah habis air matanya/ngos-ngosan nafasnya/lantaran pelaku korupsi/ dan orang-orang tercela/selalu luput dari penjara

Meski ditulis enam belas tahun lalu, puisi diatas masih memiliki kontekstual kekinian.

Hadi Sucipto, Hardjono WS, Saiful Bakri memiliki ide dan proses kreatif masing-masing, namun ketiganya sama-sama telah memberi makna pada hidup.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun