Mohon tunggu...
KUNTJOJO
KUNTJOJO Mohon Tunggu... Lainnya - Saya menikmati menulis karena saya senang bisa mengekspresikan diri dan ide-ide saya.

"Menulis sesuatu yang layak dibaca atau melakukan sesuatu yang layak ditulis."

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Peranan Faktor Kepribadian dalam Pencapaian Akademik Peserta Didik

1 Februari 2023   08:00 Diperbarui: 1 Februari 2023   08:55 824
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar The Big Five Personality Traits(Sumber: https://blog.adioma.com/5-personality-traits-infographic/)

A. Pengertian Kepribadian

Istilah kepribadian dalam bahasa Inggris dinyatakan dengan personality. Istilah ini berasal dari kata Latin persona, yang mengacu pada topeng yang digunakan oleh aktor dalam sebuah drama (Schultz & Schultz, 2017: 4). Istilah topeng berkaitan dengan salah satu atribut yang dipakai oleh para pemain sandiwara pada jaman Yunani kuno. 

Dengan topeng yang dikenakan dan diperkuat dengan gerak-gerik dan apa yang diucapkan, karakter dari tokoh yang diperankan tersebut dapat menembus keluar, dalam arti dapat dipahami oleh para penonton. Persona merujuk pada penampilan luar seseorang, wajah publik yang ditunjukkan kepada orang-orang di sekitarnya. 

Berdasarkan arti kata persona, maka, dapat disimpulkan bahwa kepribadian mengacu pada karakteristik eksternal dan terlihat oleh orang lain atau aspek-aspek yang dimiliki seseorang yang dapat diketahui orang lain. 

Dari sejarah pengertian kata personality tersebut, kata persona yang semua berarti topeng, kemudian diartikan sebagai pemaiannya sendiri, yang memainkan peranan seperti digambarkan dalam topeng tersebut. Dan sekarang ini istilah personality oleh para ahli dipakai untuk menunjukkan suatu atribut tentang individu, atau untuk menggambarkan apa, mengapa, dan bagaimana tingkah laku manusia.

Banyak ahli yang telah merumuskan definisi kepribadian berdasarkan paradigma yang mereka yakini dan fokus analisis dari teori yang mereka kembangkan. Dengan demikian akan dijumpai banyak variasi definisi sebanyak ahli yang merumuskannya. Berikut ini dikemukakan beberapa ahli yang definisinya dapat dipakai acuan dalam mempelajari kepribadian.

Gordon Allport, sosok awal yang terkemuka dalam psikologi kepribadian mempopulerkan istilah kepribadian dan merumuskan definisi pada tahun 1961. Allport mendefinisikan kepribadian sebagai "a dynamic organisation, inside the person, of psychophysical systems that create the person's characteristic patterns of behaviour, thoughts and feelings" (Maltby, Day, & Macaskill, 2017: 5). Ada beberapa pokok pikiran yang terkandung dalam definisi tersebut: organisasi dinamis; sistem psikofisik; karakteristik yang terpola; dan perilaku, pikiran, serta perasaan. 

Organisasi dinamis, di dalam diri seseorang mengacu pada proses yang terus menyesuaikan, beradaptasi dengan pengalaman,   perubahan dalam hidup, dan sejenisnya. Sistem psikofisik mengandung makna bahwa kepribadian merupakan kesatuan antara faktor mental dan biologis dan terkespresikan dalam sikap dan juga perilaku. 

Konsep karakteristik yang terpola menunjukkan bahwa kepribadian seseorang bersifat relatif stabil yang selanjutnya menjadi ciri khas orang yang bersangkutan. Stabilitas yang tersirat penting, tanpanya, semua upaya untuk mengukur kepribadian akan sia-sia (Maltby, Day, & Macaskill, 2017: 5). Perilaku, pikiran dan perasaan mengacu pada fakta bahwa kepribadian adalah komponen utama yang memengaruhi, dan dapat diketahui berdasarkan perilaku, pikiran, dan emosi yang terekspresikan.

Ciccarelli dan White (2015: 502) mendefinisikan kepribadian sebagai cara unik yang digunakan setiap individu untuk berpikir, bertindak, dan merasakan sepanjang hidup. 

Ada konsep yang artinya sering di samakan dengan kepribadian: karakter dan temperamen. Berkenaan dengan hal tersebut, Ciccarelli dan White (2015: 502) menegaskan bahwa kepribadian tidak boleh disamakan dengan karakter, yang mengacu pada penilaian aspek moral atau perilaku etis seseorang; juga tidak boleh bingung dengan temperamen, karakteristik permanen yang dimiliki setiap orang sejak lahir, seperti mudah tersinggung atau mudah beradaptasi.

Kepribadian merupakan konstruksi hipotetis kompleks yang telah didefinisikan dalam berbagai cara. Kepribadian merupakan suatu konsep yang dipakai untuk menjelaskan suatu fenomena yang kompleks. Weiten (2017: 380) menegaskan bahwa konsep kepribadian digunakan untuk menjelaskan: 1) stabilitas perilaku seseorang dari waktu ke waktu dan lintas situasi (konsistensi) dan 2) perbedaan perilaku di antara orang-orang yang bereaksi terhadap situasi yang sama (kekhasan). Apa yang disampaikan Weiten menunjukkan bahwa kepribadian seseorang cenderung konsisten. Misalnya ada orang yang dikenal sebagai seorang pendiam. Sebutan demikian karena dari waktu ke waktu dan dari situasi sat uke situasi lainnya orang tersebut menunjukkan sifat pendiam. Selain faktor konsistensi, kepribadian juga bersifat khas. 

Misalnya, ketika beberapa orang menghadapi situasi atau masalah yang sama, respons mereka belum tentu sama.  Berdasarkan dua ciri pokok kepribadian, selanjutnya Weiten (2017: 380) menyatakan bahwa kepribadian mengacu pada serangkaian sifat perilaku yang konsisten yang unik dari seseorang. Berkenaan dengan pengertian kepribadian, Santrock (2018: 144) menyatakan bahwa kepribadian mengacu pada pemikiran, emosi, dan perilaku khas yang menjadi ciri cara seseorang beradaptasi dengan lingkungannya.

Berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan pokok-pokok pengertian kepribadian sebagai berikut.

1. Kepribadian merupakan kesatuan yang kompleks, yang terdiri dari aspek psikis atau mental, seperti : inteligensi, sifat, sikap, minat, cita-cita, dan sebagainya serta aspek fisik, seperti : bentuk tubuh, sistem saraf, kesehatan jasmani, dan seterusnya.

2. Kesatuan dari kedua aspek tersebut berinteraksi dengan lingkungannya yang mengalami perubahan secara terus-menerus, dan terwujudlah pola tingkah laku yang khas atau unik.

3. Kepribadian bersifat dinamis, artinya selalu mengalami perubahan, tetapi dalam perubahan tersebut terdapat pola-pola yang bersifat tetap.

4. Kepribadian seseorang terwujud berkenaan dengan penyesuaian dirinya terhadap  lingkungan.

B. Konsep-konsep yang Berhubungan dengan Kepribadian

Ada beberapa konsep yang berhubungan erat dengan kepribadian bahkan kadang-kadang disamakan dengan kepribadian. Alwisol (2005 : 8-9) mengidentifikasi konsep-konsep yang berhubungan dengan kepribadian sebagai berikut.

1. Character (karakter), yaitu penggambaran tingkah laku dengan menonjolkan nilai (banar-salah, baik-buruk) baik secara eksplisit maupun implisit.

2. Temperament (temperamen), yaitu kepribadian yang berkaitan erat dengan determinan biologis atau fisiologis.

3. Traits (sifat-sifat), yaitu respon yang senada atau sama terhadap sekolopok stimuli yang mirip, berlangsung dalam kurun waktu (relatif) lama.

4. Type attribute (ciri), mirip dengan sifat, namun dalam kelompok stimuli yang lebih terbatas.

5. Habit (kebiasaan), merupakan respon yang sama dan cenderung berulang untuk stimulus yang sama pula.

Konsep-konsep di atas sebenarnya merupakan aspek-aspek atau komponen-komponen kepribadian karena pembicaraan mengenai kepribadian senantiasa mencakup apa saja yang ada di dalamnya, seperti karakter, sifat-sifat, dst.  Interaksi antara berbagai aspek tersebut kemudian terwujud sebagai kepribadian.

Temperamen didasarkan pada aspek biologis seseorang, baik melalui pengaruh genetik, pengaruh prenatal, atau kombinasi dari pengaruh-pengaruh tersebut, dan membentuk dasar di mana kepribadian seseorang dibangun, temperamen dan karakter adalah bagian penting dari kepribadian (Ciccarelli & White, 2015: 502).

C. Teori-teori Kepribadian

 Ada banyak teori kepribadian dan untuk memudahkan mempelajari, para ahli telah mengklasifikasikan teori-teori tersebut ke dalam beberapa kelompok dengan menggunakan acuan tertentu yaitu paradigma yang dipakai untuk mengembangkannya. Boeree (2005 : 29) menyatakan bahwa ada 3 orientasi atau kekuatan besar dalam teori kepribadian, yaitu : Psikoanalisis beserta aliran-aliran yang dikembangkan atas paradigma yang sama atau hampir sama, yang dipandang sebagai "kekuatan pertama"; Behavioristik yang dipandang sebagai "kekuatan kedua"; dan Humanistik,  yang dinyatakan sebagai "kekuatan ketiga". Selain ketiga teori tersebut, ada teori lain tentang kepribadian yaitu teori sifat (traits theory) yang belakangan ini sering dijadikan landasan teori untuk penelitian.  

1. Teori Psikoanalisis

Teori psikoanalisis merupakan karya Sigmund Freud.  Psikoanalisis  berfokus pada peran pikiran bawah sadar dalam perkembangan kepribadian. Perspektif ini juga sangat terfokus pada penyebab biologis dari perbedaan kepribadian. Beberapa pokok pikiran berhubungan dengan kepribadian menurut perspektif psikodinamika, dideskripsikan oleh Coon dan Mitterrer (2010: 424) sebagai berikut.    

  • Menurut teori psikoanalisis Sigmund Freud, kepribadian terdiri dari tiga sistem mental: id, ego, dan superego.
  • Libido, yang berasal dari naluri hidup, adalah sumber energi utama dalam kepribadian.
  • Konflik internal dapat menyebabkan kecemasan neurotik atau kecemasan moral dan mengarah pada penggunaan mekanisme pertahanan ego.
  • Kesadaran pribadi beroperasi pada tiga tingkatan: sadar, prasadar, dan tidak sadar.
  • Menurut Freud, perkembangan kepribadian terjadi dalam empat tahap psikoseksual: oral, anal, phallic, dan genital.
  • Fiksasi pada setiap tahap perkembangan psikoseksual dapat meninggalkan jejak abadi pada kepribadian orang dewasa.
  • Ahli teori Neo-Freudian menerima fitur-fitur luas dari Psikologi Freudian, tetapi mengembangkan pandangan mereka sendiri. Tiga perwakilan neo-Freudian adalah Alfred Adler, Karen Horney, dan Carl Jung.

2. Teori Behaviorisme

  Teori behaviorisme sering disebut sebagai teori perilaku.  Menurut teori ini kepribadian merupakan hasil interaksi antara individu dan lingkungannya. Ahli teori perilaku hanya mempelajari perilaku yang dapat diamati dan diukur, serta menolak teori yang mengambil peran pikiran, suasana hati, dan perasaan internal karena ini tidak dapat diukur.  Beberapa tokoh teori behaviorisme adalah J.B. Watson, E.L. Thorndike, dan B.F. Skinner. Menurut ahli teori perilaku, pengkondisian (respon perilaku yang dapat diprediksi) terjadi melalui interaksi dengan lingkungan kita yang pada akhirnya membentuk kepribadian.

3. Teori Humanistik 

Istilah psikologi humanistik (Humanistic Psychology) diperkenalkan oleh sekelompok ahli psikologi yang pada awal tahun 1960-an bekerja sama di bawah kepemimpinan Abraham Maslow dalam mencari alternatif dari dua teori yang sangat berpengaruh atas pemikiran intelektual dalam psikologi. Kedua teori yang dimaksud adalah psikoanalisis dan behaviorisme. Maslow menyebut psikologi humanistik sebagai "kekuatan ketiga" (a third force).

Meskipun tokoh-tokoh psikologi humanistik memiliki pandangan yang berbeda-beda, tetapi mereka berpijak pada konsepsi fundamental yang sama mengenai manusia, yang berakar pada salah satu aliran filsafat modern, yaitu eksistensialisme. Eksistensialisme menolak paham yang menempatkan manusia semata-mata sebagai hasil bawaan ataupun lingkungan. Sebaliknya, para filsuf eksistensialis percaya bahwa setiap individu memiliki kebebasan untuk memilih tindakan, menentukan sendiri nasib atau wujud dari keberadaannya, serta bertanggung jawab atas pilihan dan keberadaannya.

Beberapa pokok pikiran berhubungan dengan kepribadian menurut perspektif psikologi humanistik, menurut Coon dan Mitterrer (2010: 424) antara lain sebagai berikut.   

  • Teori humanistik menekankan pengalaman subjektif, pilihan bebas, aktualisasi diri, dan model positif dari sifat manusia.
  • Studi Abraham Maslow tentang aktualisasi diri menunjukkan bahwa mereka  berbagi ciri-ciri yang berkisar dari persepsi realitas yang efisien hingga pengalaman puncak yang sering terjadi.
  • Teori Carl Rogers memandang diri sebagai entitas yang muncul dari pengalaman pribadi. Pengalaman yang sesuai dengan citra diri dilambangkan (diakui kesadaran), sedangkan mereka yang tidak sesuai dikecualikan.
  • Orang yang tidak selaras memiliki citra diri yang sangat tidak realistis dan / atau ketidaksesuaian antara citra diri dan diri ideal. Orang yang kongruen atau berfungsi penuh fleksibel dan terbuka terhadap pengalaman dan perasaan.
  • Dalam perkembangan kepribadian, kaum humanis terutama tertarik pada kemunculan citra diri dan evaluasi diri.
  • Sewaktu orang tua menerapkan syarat-syarat berharga pada perilaku, pikiran, dan perasaan anak, anak mulai melakukan hal yang sama. Kondisi nilai yang terinternalisasi kemudian berkontribusi pada ketidaksesuaian dan mengganggu proses penilaian organisme.

4. Teori Sifat

Teori sifat (traits theory) memandang bahwa kepribadian dapat dipahami dengan menyatakan bahwa semua orang memiliki sifat tertentu, atau cara berperilaku yang khas. Ada beberapa tokoh teori sifat: Sheldon, Allport, Cattel, Eysenck, Robert McCrae dan Paul Costa. Gordon Allport dipandang sebagai pelopor  teori sifat modern, mengklasifikasikan sifat menjadi: common traits,  cardinal traits, central traits, dan secondary traits (Coon & Mitetter, 2010: 394).

 Common traits (sifat-sifat umum) adalah sifat-sifat yang dimiliki oleh sebagian besar anggota suatu masyarakat. Sifat-sifat umum memberi tahu kita bagaimana kemiripan orang-orang dari bangsa atau budaya tertentu, atau ciri-ciri mana yang ditekankan oleh suatu budaya, di Amerika, misalnya, daya saing merupakan sifat yang cukup umum (Coon & Mitetter, 2010: 394). Cardinal traits atau sifat-sifat utama mendominasi dan membentuk perilaku individu, misalnya altruisme atau keserakahan. Sifat utama sangat kuat, tetapi hanya sedikit orang yang memiliki kepribadian yang didominasi oleh satu sifat. Sebaliknya, kepribadian umumnya terdiri dari banyak sifat. Sifat-sifat utama juga sangat mendasar sehingga semua aktivitas seseorang dapat dilacak ke sifat tersebut, misalnya, welas asih (compassion) merupakan ciri utama dari kepribadian Bunda Teresa (Coon & Mitetter, 2010: 394).

Central  traits atau sifat-sifat sentral muncul berikutnya dalam hierarki. Ini adalah karakteristik umum yang ditemukan dalam berbagai tingkatan pada setiap orang, misalnya: mudah bergaul, jujur, ceria, cerdas, licik, dan optimis. Sifat-sifat sentral adalah blok bangunan dasar kepribadian (Coon & Mitetter, 2010: 394). Sifat sekunder (secondary traits) ada di bagian bawah hierarki dan tidak begitu jelas atau konsisten seperti ciri-ciri utama. Mereka banyak tetapi hanya ada dalam keadaan tertentu; mereka memasukkan hal-hal seperti preferensi dan sikap. Sifat-sifat sekunder adalah kualitas pribadi yang lebih dangkal seperti preferensi makanan, sikap, pendapat politik, selera musik, dan lain sebagainya (Coon & Mitetter, 2010: 394). Sifat-sifat sekunder ini menjelaskan mengapa seseorang terkadang menunjukkan perilaku yang tampaknya tidak sesuai dengan perilaku biasanya.

Cervone dan Pervin (2013: 232) berpendapat bahwa sifat mengacu pada pola yang konsisten dalam cara individu berperilaku, merasa, dan berpikir; jika menggambarkan seseorang dengan istilah sifat baik, yang dimaksudkan adalah bahwa individu ini cenderung bertindak baik dari waktu ke waktu (berminggu-minggu, berbulan-bulan, mungkin bertahun-tahun) dan di seluruh situasi (dengan teman, keluarga, orang yang baru dikenal, dan seterusnya). Banyak yang berpandangan bahwa sifat adalah inti dari kepribadian. Demikian juga, peneliti kepribadian yang terkait dengan pendekatan sifat menganggap sifat sebagai unit utama kepribadian. Jelas, lingkupnya lebih besar kepribadian daripada sifat-sifat, tetapi kajian tentang sifat-sifat nampak dominan sepanjang sejarah psikologi kepribadian (Cervone & Pervin, 2013: 232).

Berkenaan dengan sifat Maltby, Day, & Macaskill dalam bukunya berjudul Personality, Individual Differences and Intelligence (2017: 166) antara lain menyatakan:

  • Menurut Burger, sifat adalah dimensi kepribadian yang digunakan untuk mengkategorikan orang-orang menurut sejauh mana mereka memanifestasikan karakteristik tertentu.
  • Singkatnya, dalam psikologi, sifat-sifat dianggap sebagai unit dasar kepribadian. Mereka mewakili disposisi untuk merespons dengan cara tertentu.
  • Ada dua asumsi mendasari teori sifat. Pertama, bahwa karakteristik kepribadian relatif stabil dari waktu ke waktu, yang kedua adalah bahwa sifat menunjukkan stabilitas di berbagai situasi. Perilaku seseorang dapat berubah pada kesempatan yang berbeda, tetapi asumsinya adalah bahwa ada beberapa konsistensi internal dalam cara individu berperilaku.
  • Beberapa ahli teori sifat lebih tertarik untuk mendeskripsikan kepribadian dan memprediksi perilaku dari pada dalam mengidentifikasi apa yang menyebabkan perilaku.

E. Model Lima Faktor Kepribadian 

Berdasarkan hasil analisis faktor, Robert McCrae dan Paul Costa, menyatakan bahwa sebagian besar sifat-sifat kepribadian berasal dari hanya lima sifat tingkat tinggi yang telah muncul dan dikenal sebagai The Big Five (Weiten, 2017: 381). Sebutan lain untuk kelima sifat kepribadian adalah model lima faktor (five factors model) yang juga disingkat FFM. Model lima faktor  dihasilkan dari analisis data dan bukan dari eksplorasi teori (Maltby, Day, & Macaskill, 2017: 180). Biasanya peneliti yang menggunakan metode deduktif, memulai dengan hipotesis berbasis teori (deduksi teori ilmiah), kemudian mengumpulkan data untuk menguji hipotesis, dan hasilnya menerima atau menolak hipotesis yang telah dirumuskan.  Model lima faktor adalah hipotesis yang disusun berdasarkan data sebagai lawan dari model berbasis teori (Maltby, Day, & Macaskill, 2017: 180). Model ini  dirumuskan oleh Costa dan McCrae pada tahun 1992, dan instrumen penelitian yang mereka pergunakan  adalah Neuroticism, Extraversion, Openness Personality Inventory, yang sering disingkat dengan NEO-PI-R (Maltby, Day, & Macaskill, 2017: 180). Hasil dari analisis faktor adalah lima dimensi kepribadain yang mereka sebut Five Factors Model (FFM) atau the Big Five Factors:  Openness, Conscientiousness, Extraversion, Agreeableness and Neuroticism. Ana Vital memvisualisasikan The Big Five Personality Traits Model dalam bentuk infografik sebagai berikut.

Maltby, Day, dan Macaskill (2017: 180) menyatakan bahwa setiap faktor kepribadian mewakili kontinum di mana individu dapat ditempatkan sesuai dengan skor mereka dan penjelasan lebih rinci dari masing-masing faktor adalah sebagai berikut.

1. Openness 

Openness (keterbukaan) mengacu pada sikap keterbukaan terhadap pengalaman baru. Keterbukaan mencakup karakteristik yang ditunjukkan dengan keingin tahuan intelektual, pemikiran divergen dan kemauan untuk mempertimbangkan ide-ide baru dan imajinasi aktif. Individu yang mendapat nilai tinggi pada keterbukaan adalah pemikir yang mandiri dan tidak konvensional. Individu dengan skor rendah lebih konvensional dan lebih menyukai yang familiar dari pada yang baru.

2. Conscientiousness

Conscientiousness (kehati-hatian)  menggambarkan derajat disiplin diri dan kontrol. Individu dengan skor tinggi pada faktor ini ditentukan, diatur oleh, dan merencanakan acara dalam hidup mereka. Individu dengan skor rendah cenderung ceroboh, mudah teralihkan dari tujuan atau tugas yang mereka jalani dan tidak dapat diandalkan. Jika seseorang melihat lebih dekat pada deskriptor sifat yang termasuk dalam conscientiousness, ia akan melihat bahwa semuanya adalah atribut yang mungkin terlihat dalam situasi kerja.

3. Extraversion 

Extraversion (ekstraversi) merupakan ukuran kemampuan seseorang dalam bersosialisasi. Ekstraversi adalah faktor yang sama seperti yang dijelaskan oleh psikoanalis Carl Gustav Jung. Individu yang mendapat skor tinggi pada ekstraversi adalah orang yang sangat ramah, energik, optimis, dan tegas. Individu dengan skor tinggi diberi label ekstravert. Seperti deskripsi Eysenck dan Jung, individu dengan skor rendah diberi label introvert. Introvert dideskripsikan sebagai orang yang pendiam dan mandiri, daripada pengikut secara sosial.

4. Agreeableness 

Agreeableness (persetujuan) merupakan faktor yang berkaitan dengan karakteristik individu yang relevan untuk interasi sosial. Individu dengan skor tinggi pada faktor ini adalah orang yang penuh kepercayaan, suka menolong, berhati lembut dan simpatik. Mereka yang memiliki skor rendah memiliki sifat-sifat: mudah curiga, antagonis, tidak membantu, skeptis dan tidak kooperatif.

5. Neuroticism 

Neuroticism (neurotisme) merupakan factor yang menunjukkan stabilitas emosi dan penyesuaian pribadi seseorang. Individu yang mendapat skor tinggi pada neurotisme mudah mengalami perubahan suasana hati yang luas dan emosi mereka mudah berubah. Sebailknya, individu dengan skor rendah pada faktor neurotisme:  tenang, dapat menyesuaikan diri dengan baik dan tidak rentan terhadap keadaan emosi maladaptif yang ekstrim. Memang, dalam beberapa model kepribadian lima faktor, dimensi ini disebut sebagai stabilitas emosional.

E. Kepribadian dan Hasil Belajar

Kepribadain merupakan salah satu dimensi perbedaan individual peserta didik yang berkaitan dengan keberhasilan pendidikan sehingga sehingga dimasukkan dalam bidang kajian psikologi pendidikan. Berkenaan dengan hal tersebut,  Corr dan Matthews (2009: 733) menyatakan bahwa kepribadian dapat memainkan perannya dalam pendidikan dengan mempengaruhi interaksi sosial di kelas, hubungan guru-siswa, harga diri siswa, perilaku prososial, motivasi dan perilaku kelas, dan kinerja kognitif.

Telah banyak penelitian dan kajian tentang kepribadian yang dikaitkan dengan perbedaan individu baik dalam bakat akademis maupun kinerja akademis, terutama penelitian berdasarkan model lima faktor atau FFM dari Costa dan McCrae. Hill dan Roberts, menyatakan bukti pentingnya FFM menunjukkan bahwa mereka terkait dengan aspek penting dari kehidupan anak-anak, remaja, dan orang dewasa seperti kesehatan, kecerdasan dan fungsi kognitif, prestasi dan pekerjaan, serta hubungan (Santrock, 2018: 135). 

Kajian Corr dan Matthews (2009: 735-737) berdasarkan hasil penelitian tentang peranan lima faktor kepribadian dalam pencapaian akademik sebagai berikut.

1. Openness

  Sifat kepribadian openness (O) memerlukan peran aktif kecerdasan, keingintahuan, orisinalitas, imajinasi yang berkembang, kreativitas, dan berbagai minat intelektual, artistik, dan estetika. Semua atribut ini berpotensi berkontribusi pada prestasi belajar siswa. O telah ditemukan berkorelasi positif dengan nilai akhir.  Hubungan positif yang sering dilaporkan antara O dan prestasi skolastik mungkin dimediasi oleh minat dan keterbukaan terhadap kegiatan belajar. O mungkin memiliki efek positif ketika proses artistik dan kreatif dilibatkan oleh peserta didik. Selain itu, peserta didik dengan kepribadian O  mungkin mencari pengalaman pendidikan yang lebih baru dan dengan demikian mendapat keuntungan dari pendidikan lebih luas daripada rekan-rekan mereka yang kurang terbuka. O juga dapat bekerja melalui peningkatan nilai akademis, ekspektasi yang lebih tinggi untuk sukses, nilai intrinsik belajar, persepsi kegunaan belajar yang lebih besar, dan nilai sensasi saat menemukan materi baru.

2. Conscientiousness

Conscientiousness (C) secara konsisten ditemukan untuk memprediksi prestasi akademik dari masa kanak-kanak hingga dewasa,  dengan C skor tinggi teridentifikasi sebagai karakteristik penting dari siswa yang berhasil. C telah dikaitkan dengan atribut pribadi yang diperlukan untuk belajar dan pencapaian akademis, termasuk berjuang untuk sukses, berbakti, melatih pengendalian diri, terorganisir, dapat diandalkan dan efisien.

Kontrol emosional dan disiplin diri mungkin sangat penting di awal proses belajar, ketika menghadapi tugas yang diperkirakan berat, pembelajar dapat mengalami kecemasan dan ketika terjadi kegagalan dalam kontrol emosional maka fokus pada tugasnya bisa terganggu. Sangat beralasan jika peserta didik yang memiliki sifat kepribadian  C dengan skor tinggi berhasil, karena kecenderungan mereka untuk menyukai tujuan yang berorientasi pada belajarnya, sehingga berkontribusi pada kompetensi dan keberhasilan mereka di sekolah.

3. Extraversion

Pengaruh extraversion (E) pada keberhasilan akademis tampaknya bergantung pada usia, memfasilitasi keberhasilan di sekolah dasar tetapi melemahkan keberhasilan akademis di sekolah menengah dan perguruan tinggi. Sebelum usia sebelas hingga dua belas tahun tampak anak-anak ekstravert lebih unggul dari anak-anak introvert dalam prestasi sekolah, anak-anak introvert menunjukkan prestasi yang lebih tinggi dari pada anak ekstravert di kalangan remaja dan orang dewasa.

4. Agreeableness

Meskipun cikal bakal tipe A (agreeableness),  seperti orientasi prososial, berhubungan dengan penyesuaian sosial yang lebih baik dan mungkin berguna dalam lingkungan kelas pembelajaran kooperatif atau tim, hubungan antara sifat ini dan pencapaian akademis secara konsisten memiliki kepentingan yang dapat diabaikan.

5. Neuroticisme

Tipe N (neuroticisme) dengan skor tinggi memiliki unsur-unsur sifat kecemasan,  harga diri dan efektivitas yang rendah, dan kesulitan dalam mengatasi stres dan tantangan lingkungan. Sementara beberapa studi sebelumnya menunjukkan bahwa N tinggi memprediksi kinerja akademis yang lebih rendah di antara anak-anak usia sekolah, studi yang lebih baru di antara anak-anak sekolah dan mahasiswa, gagal untuk menemukan korelasi yang signifikan antara N dan pencapaian akademik. Lebih lanjut, hubungan antara N dan prestasi dapat dimoderasi oleh tingkat kemampuan dan usia. Misalnya, korelasi positif ditemukan antara N dan prestasi untuk siswa berusia dua belas hingga tiga belas tahun; tidak ada korelasi signifikan yang ditemukan untuk anak usia tiga belas sampai empat belas tahun; dan korelasi negatif ditemukan untuk mahasiswa. Temuan ini dapat dijelaskan dengan perubahan yang terjadi di lingkungan pendidikan yang menjadi semakin formal dan kompetitif, sehingga meningkatkan suasana evaluatif, dan bersamaan dengan kecemasan siswa, sehingga siswa dengan kecemasan tinggi berprestasi lebih buruk daripada rekan-rekan N mereka yang rendah. Ketidak konsistenan tersebut dapat mencerminkan peran faktor moderator. Efek motivasi dari N mungkin memiliki dampak fasilitasi pada kinerja siswa berkemampuan tinggi dan berdampak melemahkan kinerja siswa berkemampuan rendah.

Perubahan arah korelasi tersebut telah dikaitkan dengan perpindahan dari suasana sekolah dasar yang bersosialisasi, kurang kompetitif, ke suasana sekolah menengah dan pendidikan tinggi yang agak formal dan sangat kompetitif, di mana perilaku introvert seperti menghindari sosialisasi yang intensif menjadi menguntungkan. Selain itu, dibandingkan dengan ekstravert, introvert diklaim memiliki sejumlah atribut yang mendukung keberhasilan akademis, seperti kemampuan yang lebih besar dalam mengkonsolidasikan belajar mereka, kebiasaan belajar yang lebih baik, dan gangguan yang lebih rendah.

Ada beberapa penelitian lainnya yang juga mengkaitkan model lima faktor kepribadian dengan pencapaian akademik, diantaranya sebagai berikut.

  • Penelitian yang dilakukan oleh Al-Naggar dan koleganya pada 2015 dengan judul Relation between Type of Personality and Academic Performance among Malaysian Health Sciences Students,  hasilnya menunjukkan bahwa ciri kepribadian yang paling dominan adalah openness (32,8 %) dan yang paling tidak dominan adalah neuroticism (23,9%). Analisis korelasi Spearman menunjukkan bahwa ada korelasi antara IPK dengan tipe kepribadian berikut ini: openness (p = 0,001), conscientiousness (p <0,001), extraversion (p = 0,018). Analisis regresi linier berganda menunjukkan bahwa kepribadian openness dan conscientiousness  berhubungan positif dengan prestasi akademik (p = 0,047, p = 0,036; masing-masing) (Al-Naggar et al, 2015: 1).
  • Penelitian dengan judul Personality as Predictors of Academic Achievement among University Students yang dilakukan oleh Hafiz (2016), hasilnya mengungkapkan bahwa extraversion bertanggung jawab untuk mencapai kesuksesan di kalangan mahasiswa perempuan, di sisi lain, openness, agreeableness, dan conscientiousness adalah prediktor prestasi akademik di kalangan mahasiswa laki-laki (Hafiz, 2016: 37-38).
  • Hasil penelitian yang dilakukan oleh Poropat (2016) menunjukkan bahwa kesadaran (conscientiousness) adalah prediktor kepribadian terpenting dari prestasi akademik, prediktor kepribadian terkuat kedua dari prestasi akademik adalah keterbukaan terhadap pengalaman (Santrock, 2018: 135).
  • Penelitian yang dilakukan oleh Morales-Vives, Camps, dan Dueas dengan judul Predicting Academic Achievement in Adolescents: The Role of Maturity, Intelligence and Personality (2020), hasilnya menunjukkan bahwa kematangan psikologis berhubungan dengan prestasi akademik. Hanya dua ciri kepribadian yang berkorelasi dengan prestasi akademik, conscientiousness (p<0,01) dan openness to experience (p<0,01) (Morales-Vives, Camps, & Dueas, 2020: 87).

DAFTAR PUSTAKA

Al-Naggar et al. (2015). Relation between Type of Personality and Academic Performance among Malaysian Health Sciences Students. InternatIonal archIves of Medicine, Vol. 8 No. 182 doi: 10.3823/1781.

Alwisol. (2005).  Psikologi Kepribadian. Malang : Penerbit Universitas Muhammadyah Malang.

Boeree, CG. (2005).  Personality Theories :Melacak Kepribadian Anda Bersama Psikolog Dunia. (Alih bahasa : Inyiak Ridwan Muzir). Yogyakarta : Primasophie.

Cervone, D. & Pervin, L.A. (2013). Personality: Theory and Research. Hoboken: John Wiley & Sons, Inc.

Ciccarelli, S.K. & White, J.N. (2015). Psychology. Boston: Pearson.

Coon, D. & Mitterer, J.O. (2010). Introduction to Psychology: Gateways to Mind and Behavior. Belmont: Wadsworth.

Corr, P.J. & Matthews, G. (2009). The Cambridge Handbook of Personality Psychology. New York: Cambridge University Press.

Hafiz, S. (2016). Personality as Predictors of Academic Achievement among University Students. The International Journal of Indian Psychology, Volume 3, Issue 3, No. 6, DIP: 18.01.100/20160303.

Maltby, J., Day, L. & Macaskill, A. (2017). Personality, Individual Differences and Intelligence. Harlow: Pearson Education Limited.

Morales-Vives, Camps, F.E, & Dueas, J.M. (2020) Predicting Academic Achievement in Adolescents: The Role of Maturity, Intelligence and Personality. Psicothema 2020, Vol. 32, No. 1, 84-91.

Santrock, J.W. (2018). Educational Psychology. New York: McGraw-Hill Education.  

Schultz, D.P. & Schultz, S.E. (2017). Theories of Personality. Boston: Cengage Learning.

Vital, A. (2018). Big Five Personality Traits -- Infographic. Tersedia pada: https://blog.adioma.com/5-personality-traits-infographic/

Weiten, W. (2017). Psychology: Themes and Variation. Boston: Cengage Learning.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun