A. Albert Bandura dan Teori Belajar Sosial
Teori belajar sosial (social learning theory) dikembangkan oleh Albert Bandura (1925-2021).  Bandura ingin memperluas makna behaviorisme untuk memasukkan belajar dari perilaku orang lain. Dia tidak puas dengan teori stimulus-respons yang berpendapat bahwa orang memperoleh kompetensi dan pola perilaku baru melalui konsekuensi respons (Taylor & McKenney, 2008: 61). Menurut behaviorisme semua perilaku muncul dari mata rantai respons yang dipelajari, hasil dari hubungan antara satu stimulus dan respons (pengkondisian klasik) atau penguatan masa lalu (pengkondisian operan).  Tetapi banyak hasil penelitian  yang menunjukkan bahwa individu-individu di setiap usia bersifat sosial dan aktif, tidak hanya reaktif. Berkenaan dengan hal tersebut, Bandura menyatakan bahwa individu-individu bukan hanya menanggapi pengalaman langsung mereka sendiri, tetapi juga  bisa menghindar, merubah, bahkan melawan pengaruh lingkungan, dalam interaksi yang tertanam secara sosial (Berger, 2016: 45).  Bandura menjelaskan tentang kelemahan behaviorisme dan kebutuhan untuk menempatkan manusia dalam konteks sosial: "Saya menemukan teori behaviorisme ini bertentangan dengan kenyataan sosial, yang jelas bahwa banyak dari apa yang kita pelajari adalah melalui kekuatan pemodelan sosial" (Woolfolk, 2016: 438).
Bandura memaparkan kerangka konseptual pendekatannya dalam bukunya Social Learning Theory yang terbit 1977. Teorinya didasarkan pada model determinisme timbal balik. Ini berarti bahwa Bandura menolak pandangan para humanis/eksistensialis yang memandang orang sebagai agen bebas dan pandangan behavioris yang memandang perilaku sebagai dikendalikan oleh lingkungan (Taylor & McKenney, 2008: 67). Pada model determinisme timbal balik atau kausalitas timbal balik triarkis (triarchic recripocal causality), adalah interaksi dinamis antara tiga jenis pengaruh: pribadi, lingkungan, dan perilaku (Woolfolk, 2016: 439). Faktor pribadi antara lain berupa keyakinan, kemampuan kognitif, harapan, motivasi, dan seterusnya; lingkungan fisik dan sosial anatara lain berupa guru, orang tua, instruktur, pengaturan sarana belajar, dan seterusnya; dan faktor perilaku berupa tindakan individu, pilihan, dan pernyataan verbal; semuanya mempengaruhi dan dipengaruhi satu sama lain.
Bandura menggunakan istilah belajar observasional dan pemodelan secara bergantian untuk merujuk pada belajar yang terjadi dalam konteks sosial. Dia lebih suka istilah modeling dan belajar observasional daripada istilah imitasi karena dia percaya bahwa imitasi hanya satu cara di mana kita belajar dari model.
B. Konsep-konsep Pokok Teori Belajar Sosial
Teori Belajar Sosial juga disebut Teori Kognitif Sosial karena pandangannya bahwa perilaku, lingkungan, dan kognisi merupakan faktor-faktor penting dalam belajar. Bandura berpandangan bahwa individu secara sengaja dan aktif menjalankan kendali kognitif atas diri mereka sendiri dan lingkungannya. Teori belajar sosial memberikan kerangka kerja untuk memahami bagaimana orang secara aktif membentuk dan dibentuk oleh lingkungan mereka. Konsep-konsep pokok teori belajar sosial adalah belajar observasional, efikasi-diri, dan regulasi-diri.
Bandura menggunakan istilah belajar observasional (observational learning) dan pemodelan (modeling) secara bergantian untuk merujuk pada belajar yang terjadi dalam konteks sosial. Mussen, seperti yang dikutip oleh Taylor & McKenney (2008: 62), menyatakan bahwa Bandura lebih memilih belajar observasional dan pemodelan dari pada istilah imitasi  karena dia berpandangan bahwa imitasi hanya satu cara di mana pembelajar belajar dari model.  Belajar observasional  adalah proses belajar dengan mengamati tindakan yang dilakukan model, yaitu orang lain yang perilakunya dipelajari. Studi klasik Albert Bandura yang menghasilkan teori belajar observasional, seperti didiskripsikan kembali oleh Ciccarelli dan White (2015: 209-210) melibatkan anak-anak prasekolah di suatu ruangan.  Dalam satu kondisi, model berinteraksi dengan mainan secara tidak agresif, anak sama sekali mengabaikan keberadaan boneka Bobo (boneka  yang menyerupai badut). Dalam kondisi lain, model menjadi sangat agresif dengan boneka itu, model menendang dan meneriakinya, melemparkannya ke udara dan memukulnya dengan palu. Ketika anak-anak ditinggalkan sendirian di kamar dan memiliki kesempatan untuk bermain dengan mainan tersebut, kamera yang merekam melalui cermin satu arah menangkap anak yang dihadapkan pada model agresif yang memukuli boneka Bobo, meniru persis seperti modelnya. Anak-anak yang melihat model mengabaikan boneka tersebut tidak bertindak agresif terhadap mainan tersebut. Jelas sekali, anak-anak yang agresif telah mempelajari tindakan agresif mereka hanya dari melihat sang model, tanpa perlu penguatan.
Dalam penelitian selanjutnya, Bandura mempertunjukkan sebuah film tentang seorang model yang memukuli boneka Bobo. Dalam satu kondisi, anak-anak kelompok pertama melihat model itu dihargai sesudahnya. Di sisi lain, anak-anak kelompok kedua melihat model itu dihukum. Saat ditempatkan di dalam ruangan dengan mainan, anak-anak di kelompok pertama memukul boneka itu, tetapi anak-anak di kelompok kedua tidak. Namun, ketika Bandura memberi tahu anak-anak di kelompok kedua bahwa dia akan memberi mereka hadiah jika mereka bisa menunjukkan kepadanya apa yang dilakukan model dalam film tersebut, setiap anak menduplikasi tindakan model tersebut. Kedua kelompok telah belajar dari menonton model, tetapi hanya anak-anak yang menonton model sukses (dihargai) meniru agresi tanpa disuruh. Tampaknya, konsekuensi penting dalam memotivasi seorang anak (atau orang dewasa) untuk meniru model tertentu.
Pemodelan adalah proses pembelajaran melalui contoh yang menghasilkan belajar melalui peniruan. Asumsi dasar yang mendasari teori Bandura adalah bahwa perilaku dipelajari dan diatur melalui mekanisme integratif sentral sebelum eksekusi motorik dari perilaku itu (Taylor & McKenney, 2008: 61). Pemodelan, yang merupakan komponen penting dalam teori kognitif sosial, mengacu pada perubahan perilaku, kognitif, dan afektif yang berasal dari pengamatan satu atau lebih model (Schunk, 2012: 123).  Ada beberapa faktor  menyebabkan pembelajar belajar dengan  melakukan tindakan atau keterampilan yang dicontohkan oleh model.  Woolfolk (2016: 440)  menyatakan faktor yang berperan dalam modelling adalah: (1) tingkat perkembangan pembelajar, (2) kompetensi model, (3) keserupaan model dengan pembelajar, (4) tujuan dan ekspektasi, dan (5) efikasi-diri pembelajar.Â
Tingkat perkembangan pembelajar membuat perbedaan dalam belajarnya. Ketika anak-anak tumbuh dewasa, mereka dapat memusatkan perhatian untuk periode waktu yang lebih lama, lebih efektif dalam mengidentifikasi elemen penting dari perilaku model untuk diamati, menggunakan strategi memori untuk menyimpan informasi, dan memotivasi diri mereka sendiri untuk berlatih.
Faktor kedua yang mendorong pembelajar mau belajar dari model adalah status model, khususnya berkenaan dengan kompetensinya. Pada umumnya anak-anak termotivasi untuk meniru tindakan orang-orang yang memiliki kemampuan mengagumkan sehingga mereka layak dijadikan model untuk belajar.  Faktor ketiga yang mendorong pembelajar mau belajar dari model adalah adanya kesamaan tertentu pembelajar dengan model. Dengan mengamati orang lain, pembelajar dapat belajar tentang perilaku apa yang sesuai untuk dirinya serta mengidentifikasi berbagai perilaku yang mungkin dapat dilakukannya juga. Oleh karena itu, model yang memiliki persamaan dengan pembelajar lebih mudah untuk ditiru. Faktor keempat yang berpengaruh pada modeling adalah tujuan dan ekspektasi. Jika pembelajar berharap bahwa tindakan model tertentu akan mengarah pada hasil tertentu, seperti yang diharapkan dan pembelajar menghargai hasil atau tujuan tersebut, maka dia akan memperhatikan model dan mencoba mereproduksi perilaku model. Faktor terakhir, pembelajar cenderung belajar dari model jika dirinya memiliki tingkat efikasi-diri yang tinggi, jika dirinya yakin mampu melakukan tindakan yang diperlukan untuk mencapai tujuan, atau setidaknya belajar bagaimana melakukannya.
Belajar observasional tidak dapat terjadi tanpa keterlibatan  proses kognitif. Faktor kognitif berfungsi sebagai mediator  dalam proses belajar untuk menentukan apakah respons baru diperoleh. Ketika seseorang berhadapan dengan perilaku model, tidak serta merta yang bersangkutan melakukan imitasi. Imitasi dilakukan setelah melewati proses mediasi.  Bandura menyatakan bahwa belajar observasional terdiri dari empat proses mediasi: perhatian, retensi, produksi, dan motivasi (Schunk, 2012: 127).
a. Perhatian
Perhatian (attention) adalah pemusatan kesadaran pada objek yang diamati dari model. Â Perhatian merupakan mediasi pertama dalam belajar observasional. Tanpa adanya perhatian pada objek tidak akan terjadi proses belajar. Pembelajar bisa melakukan imitasi jika dirinya ada perhatian pada apa yang akan dipelajari. Pada saat tertentu seorang pembelajar dapat dihadapkan berbagai objek yang terobservasi. Â Dalam konteks ini pembelajar dituntut untuk fokus pada objek yang akan dipelajari saja.
b. Retensi Â
Retensi atau kemampuan menyimpan informasi juga merupakan bagian penting dari proses belajar observasional. Belajar observasional membutuhkan pengorganisasian, latihan, pengkodean, dan transformasi informasi model untuk penyimpanan atau retensi dalam memori pembelajar. Apa saja yang dipelajari dari model selanjutnya  disimpan sebagai dalam memori dalam bentuk gambar dan verbal, atau keduanya.
c. Produksi
Setelah pembelajar berhasil menyimpan apa yang diamatnya selanjutnya mempraktikkannya. Proses mediasi  yang demikian disebut produksi. Banyak tindakan atau prosedur sederhana dapat dipelajari hanya dengan mengamatinya.  Namun, jarang sekali perilaku kompleks yang bisa dipelajari hanya melalui pengamatan. Bandura menyatakan bahwa pembelajar seringkali memperoleh perkiraan kasar dari keterampilan yang kompleks dengan mengamati demonstrasi model (Schunk, 2012: 128). Mereka kemudian menyempurnakan keterampilannya dengan latihan, umpan balik korektif, dan belajar secara berulang. Masalah dalam menghasilkan perilaku yang dimodelkan muncul tidak hanya karena informasi tidak dikodekan secara memadai tetapi juga karena pembelajar mengalami kesulitan menerjemahkan informasi yang dikodekan dalam memori menjadi tindakan yang terbuka (Schunk, 2012: 128).
d. Motivasi
Mediasi belajar observasional selanjutnya adalah motivasi. Motivasi adalah alasan yang mendasari suatu tindakan, yang melibatkan kekuatan biologis, emosional, sosial, dan kognitif yang mengaktifkan perilaku. motivasi menentukan tingkat kesungguhan seseorang dalam melakukan sesuatu. Motivasi berhubungan dengan harapan. Menurut Bandura, Â individu membentuk harapan tentang hasil yang diantisipasi dari tindakan berdasarkan konsekuensi yang akan dialaminya (Schunk, 2012: 128).
2. EFIKASI-DIRI Â
Konsep efikasi-diri (self-efficacy) dikembangkan oleh Albert Bandura sebagai bagian dari teori belajar sosial, yang kemudian berkembang menjadi Teori Kognitif Sosial.  Efikasi-diri mengacu pada keyakinan pada kemampuan seseorang untuk mengatur dan melaksanakan tindakan yang diperlukan untuk mengelola situasi prospektif.  Bandura mengemukakan bahwa prediksi tentang kemungkinan hasil perilaku sangat penting dalam belajar karena mempengaruhi tujuan, usaha, ketekunan, strategi, dan ketahanan (Woolfolk, 2016: 444).  Beberapa pernyataan yang berisi prediksi keberhasilan, misalnya: "Saya memiliki kemampuan untuk menyelesaikan tugas ini dan saya optimis berhasil". Prediksi tersebut dipengaruhi oleh efikasi-diri, yang merupakan suatu keyakinan  tentang kompetensi atau efektivitas pribadinya dalam bidang tertentu.
Efikasi-diri adalah apa yang individu yakini dapat dia capai dengan menggunakan keterampilannya dalam keadaan tertentu. Efikasi-diri mempengaruhi kemampuan sesorang untuk belajar, motivasi dan kinerjanya, karena seseorang akan berusaha untuk belajar dan melakukan tugas-tugas yang diyakini akan berhasil dilakukanya. Ada hasil penelitian yang menunjukkan bahwa efikasi-diri berkorelasi positif dengan keberhasilan belajar.
Teori efikasi-diri Bandura telah diterapkan dalam berbagai upaya pemberdayaan. Efikasi-diri telah digunakan untuk meningkatkan keterampilan akademik anak-anak yang mengalami ketidakmampuan belajar; untuk menghasilkan tindakan yang berhubungan dengan kesehatan; untuk melatih individu dalam manajemen diri; untuk mencapai prediksi dalam pemasaran; untuk meningkatkan kepercayaan diri pada atlet; untuk memperluas pilihan dan pengembangan karir dan perilaku adiktif; dan di banyak aplikasi lain yang terlalu banyak untuk disebutkan di sini  (Taylor & McKenney, 2008: 67).
3. REGULASI-DIRI
Berdasarkan model determinisme timbal balik terjadi interaksi dinamis antara tiga jenis pengaruh: pribadi, lingkungan, dan perilaku. Itu berarti bahwa perilaku seseorang selain dipengaruhi oleh faktor lingkungan juga terjadi karena kendali dirinya.  Asumsi utama teori kognitif sosial adalah bahwa orang ingin mengontrol peristiwa yang mempengaruhi kehidupan mereka dan untuk mempersepsikan diri mereka sebagai agen (Schunk, 2012: 122).  Kesadaran seseorang bahwa dirinya sebagai inisiator atau agen dari keinginan atau tindakannya  dimanisfestasikan dalam berbagai tindakan yang dipilih karena alasan tertentu, dengan cara tertentu, dan dalam waktu tertentu; yang melibatkan proses kognitif, afektif, maupun psikomotorik. Menurut Zimmerman dan Schunk, inti dari konsepsi agensi pribadi ini adalah regulasi-diri (self-regulation), atau proses di mana individu mengaktifkan dan mempertahankan perilaku, kognisi, dan pengaruh, yang secara sistematis berorientasi pada pencapaian tujuan (Schunk, 2012: 122).
Regulasi-diri dalam belajar, menghadapkan peserta didik pada berbagai pilihan. Misalnya, dalam menyelesaikan tugas pekerjaan rumah, siswa dihadapkan pada pilihan, mengerjakan tugas pekerjaan matematika dulu, atau bahasa Inggris dulu, dikerjakan sekarang atau nanti, dikerjakan dengan belajar kelompok atau sendiri. Dalam menentukan pilihan, pengalaman, kreativitas, dan kemampuan mengantisifasi berbagai kemungkinan yang muncul ikut memegang peran. Ketika berhadapan dengan situasi tertentu peserta didik terkadang dihadapkan dengan banyak, sedikit, atau tidak ada pilihan lain. Dalam situasi yang demikian peserta didik harus belajar untuk menyesuaian regulasi-diri dengan regulasi eksternal. Misalnya ketika seorang mahasiswa bermaksud menambahkan uraian Bab II karya tulis ilmiahnya yang tentunya membutuhkan waktu, dia harus mempertimbangkan dia harus mempertimbangkan batas akhir penyelesaian tugasnya.Â
C. Penerapan Teori Kognitif Sosial dalam Proses Belajar dan Pembelajaran
Banyak ide dalam teori kognitif sosial cocok untuk diterapkan dalam proses belajar dan pembelajaran. Penerapan pembelajaran yang melibatkan model, efikasi-diri, contoh kerja, dan bimbingan dan pendampingan mencerminkan prinsip-prinsip kognitif sosial (Schunk, 2012: 156-158).
1. Model
Siswa yang mengamati guru yang sedang menjelaskan dan mendemonstrasikan konsep dan keterampilan, cenderung untuk belajar dan percaya bahwa mereka mampu untuk belajar lebih lanjut. Guru juga memberikan informasi efikasi-diri yang persuasif kepada siswa. Guru yang memperkenalkan materi pembelajaran dengan menyatakan bahwa semua siswa dapat belajar dan dengan rajin sehingga mereka akan menguasai keterampilan baru.Â
Dengan cara yang sama, model yang berasal dari teman sebaya  (peer models) dapat meningkatkan motivasi belajar siswa. Keberhasilan teman sebaya dapat meningkatkan efikasi-diri siswa-siswa lainya, bahwa mereka juga dapat melakukan hal-hal yang sama dengan model teman sebayanya.  Model teman sebaya hendaknya lebih dari satu dan dapat mewakili berbagai jenis kemampuan yang diperagakan dan diobservasi oleh siswa-siswa yang lain.Â
2. Efikasi-diri
Efikasi-diri memiliki peran penting dalam keberhasialn belajar siswa. Â Dalam menentukan metode pembelajaran yang akan digunakan, penting bagi guru untuk memepertimbangkan pengaruhnya terhadap efikasi-diri siswa serta pada intensitas belajar mereka. Guru sebagai model yang kompeten tentu berusaha mengembangkan pengetahuan dan keterampilan siswa karena itu standar dalam pembelajaran. Namun akan menjadi lebih baik lagi jika faktor kepribadian siswa, khususnya efikasi-diri, juga dikembangkan. Â
3. Contoh yang Berhasil
Contoh yang berhasil memberikan model  dengan penjelasan yang menyertai, yang menggambarkan bagaimana seorang pemecah masalah menyelesaikan tugasnya dengan baik. Para siswa perlu diberi contoh-contoh penyelesaian masalah sebelum mereka mencoba untuk memecahkan masalah sendiri. Misalnya, guru mempresentasikan langkah-langkah menyelesaikan soal mata pelajaran atau mata kuliah yang lain, yang disertai penjelasan pada setiap langkah. Seperti halnya bentuk belajar observasional kompleks lainnya, siswa tidak belajar bagaimana memecahkan masalah tertentu tetapi lebih kepada keterampilan dan strategi umum yang dapat mereka gunakan untuk menyelesaikan masalah-masalah yang lebih luas. Contoh yang berhasil juga memiliki manfaat pengembangan motivasi dan membantu meningkatkan efikasi-diri siswa.Â
4. Bimbingan dan Mentoring
Bimbingan mengacu pada situasi di mana satu atau lebih orang berfungsi sebagai agen pembelajaran untuk orang lain, biasanya dalam subjek tertentu atau untuk tujuan tertentu. Tutor berfungsi sebagai model belajar bagi siswa dengan menjelaskan dan memperagakan keterampilan, operasi, dan strategi yang dipelajari siswa. Baik orang dewasa maupun anak-anak bisa menjadi tutor yang efektif untuk anak-anak. Tutor sebaya yang efektif adalah mereka yang oleh tutee (pembelajar) dianggap mirip dengan diri mereka sendiri kecuali bahwa tutor lebih unggul dalam perolehan pengetahuan dan keterampilan. Persepsi kesamaan dapat membuat siswa percaya bahwa jika tutor dapat belajar, mereka juga dapat, yang dapat meningkatkan efikasi-diri dan motivasi siswa.
Daftar Pustaka
Berger, K. S. (2016). The Developing Person: Through Childhood and Adolescence. New York: Worth Publisher.
Ciccarelli, S.K. & White, J.N. (2015). Psychology. Boston: Pearson.
Schunk, D.H. (2012). Learning Theories: An Educational Perspective. Boston: Pearson.
Taylor, G.R. & MacKenney, L. (2008). Improving Human Learning in the Classroom: Theories and Teaching Practice. Lanham: Rowman & Littlefield Education.
Woolfolk, A. (2016). Educational Psychology. Boston: Pearson.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H