Mohon tunggu...
Kundiharto
Kundiharto Mohon Tunggu... Wiraswasta - Psychology Student

Deep interest in the fields of Information Technology, Psychology, Marketing, Management, and Entrepreneurship

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Belajar Berhenti di Titik yang Cukup

8 Desember 2024   20:54 Diperbarui: 8 Desember 2024   21:48 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seiring berjalannya waktu, saya mulai menyadari bahwa untuk keluar dari lingkaran setan drama digital ini, kita perlu melatih diri untuk berhenti di titik yang cukup. Salah satu cara yang sangat membantu saya adalah dengan mindfulness. Ini bukan hanya tentang meluangkan waktu untuk diri sendiri, tetapi lebih kepada kesadaran penuh dalam setiap momen. Ketika kita terbawa oleh emosi atau terpancing untuk memberikan respons berlebihan dalam perdebatan di media sosial, saya berusaha untuk berhenti sejenak dan bertanya pada diri sendiri, "Apakah ini benar-benar perlu? Apakah saya hanya bereaksi karena emosi sesaat?"

Mindfulness mengajarkan kita untuk lebih sadar akan reaksi-reaksi otomatis kita, untuk merespon dengan lebih bijak dan penuh pertimbangan. Terkadang, apa yang kita anggap sebagai "pembelaan" terhadap suatu kebenaran, pada kenyataannya hanya memperburuk suasana. Saya pribadi merasa bahwa dengan berlatih mindfulness, kita dapat mengurangi impuls untuk ikut campur dalam segala hal yang sedang viral, dan lebih fokus pada hal-hal yang benar-benar penting untuk diperjuangkan.

Selain itu, empati menjadi kunci penting dalam membantu kita berhenti di titik yang cukup. Ketika saya mulai melihat perdebatan-perdebatan panas di media sosial, saya mencoba untuk merenung sejenak dan mencoba melihat dari sisi lain. Apa yang terjadi pada pihak yang kita kritik atau cemooh? Apa yang mereka rasakan? Apakah mereka memiliki kesempatan untuk memperbaiki diri atau bangkit dari situasi yang buruk? Terkadang, kita terlalu fokus pada perasaan kita sendiri---bahwa kita merasa benar dan ingin orang lain tahu itu---tanpa memberi ruang bagi orang lain untuk berkembang atau belajar dari kesalahan mereka.

Saya rasa ini juga berlaku bagi ulama yang saat ini banyak menjadi sorotan. Walaupun kita mungkin tidak setuju dengan apa yang mereka katakan atau lakukan, bukankah kita juga punya kesempatan untuk melihat sisi lain dari cerita mereka? Apakah mereka tidak berhak untuk mendapatkan kesempatan kedua? Dengan melatih empati, kita tidak hanya membantu orang lain untuk bangkit dari kesalahan, tetapi juga memberi ruang bagi diri kita untuk lebih bijak dan lebih terbuka.

Keseimbangan emosi adalah hal yang tak kalah penting dalam proses ini. Saya sering merasa terjebak dalam kebencian yang berlarut-larut, dan sebaliknya, juga tenggelam dalam euforia ketika mendengar berita atau komentar yang mendukung pandangan saya. Kedua perasaan ini bisa sama-sama merusak. Kebencian membuat saya semakin terbawa oleh emosi negatif, sedangkan euforia bisa membuat saya merasa seolah-olah saya telah memenangkan sesuatu, padahal itu hanya ilusi dari kepuasan instan yang datang dari melihat orang lain "jatuh".

Saya belajar bahwa keseimbangan emosi adalah kunci untuk menjaga mental kita tetap sehat. Tidak perlu berlarut-larut dalam kebencian, karena itu hanya akan membuat kita semakin terjebak dalam energi negatif. Di sisi lain, euforia juga bisa membuat kita lupa pada apa yang lebih penting, yaitu tujuan besar kita untuk membawa perubahan positif. Dalam setiap perdebatan atau peristiwa yang viral, saya mencoba untuk tetap tenang, menjaga emosi, dan selalu ingat untuk bertindak dengan kesadaran penuh. Dengan demikian, saya dapat berhenti di titik yang cukup---tidak berlarut-larut dalam kontroversi yang tak berujung, tetapi tetap fokus pada hal-hal yang benar-benar bernilai.

Menggunakan wawasan psikologi seperti mindfulness, empati, dan keseimbangan emosi membantu kita untuk melangkah lebih bijak dalam menghadapi dunia digital yang penuh gejolak ini. Ketika kita mulai belajar berhenti di titik yang cukup, kita bukan hanya menjaga kesehatan mental kita sendiri, tetapi juga berkontribusi dalam menciptakan ruang sosial yang lebih sehat dan lebih penuh pengertian. Dunia ini penuh dengan masalah yang lebih besar dan lebih mendesak untuk diperbaiki, dan kita semua berperan untuk memberi perhatian pada hal-hal yang benar-benar penting.

Kewaspadaan yang Perlu Dipelajari

Saat kita melihat dunia maya yang semakin riuh dengan segala drama digital, hal pertama yang saya pikirkan adalah kesadaran akan polarisasi. Tidak semua yang viral pantas untuk diperpanjang. Saya pernah terpikir, apakah kita benar-benar perlu ikut terlibat dalam setiap masalah yang sedang ramai dibicarakan? Dalam situasi seperti ini, mudah sekali bagi kita untuk merasa terpaksa ikut campur dan mengambil posisi, apalagi ketika emosi kita sudah terbakar oleh opini yang beredar. Namun, saya belajar bahwa kita perlu lebih bijak dalam memilih hal-hal yang pantas kita bahas. Drama atau kontroversi yang sedang viral mungkin memikat perhatian kita, tetapi sering kali itu hanya memperburuk situasi tanpa membawa solusi apapun.

Filter informasi menjadi keterampilan penting yang harus kita pelajari. Tidak semua informasi yang viral itu relevan atau bermanfaat untuk dibahas lebih jauh. Saya menyadari, banyak kali kita merasa terpicu untuk berbicara atau berkomentar karena melihat banyak orang yang berbuat hal yang sama. Tapi, saat kita berhenti sejenak dan berpikir, kita akan tahu bahwa ada banyak informasi yang lebih penting dan mendesak untuk diperhatikan. Sebagai contoh, saya belajar untuk memilah mana isu yang benar-benar memerlukan perhatian lebih dan mana yang hanya membuat kita berputar-putar dalam kontroversi yang tak ada ujungnya. Melalui filter ini, kita dapat memilih untuk menginvestasikan waktu dan energi kita pada hal-hal yang lebih bermakna dan berdampak.

Terakhir, fokus pada hal produktif adalah sebuah pilihan yang harus kita buat. Kita bisa menggunakan energi kita untuk banyak hal, tapi apakah kita menggunakannya untuk sesuatu yang benar-benar memberikan manfaat? Saya sering merasa bahwa kita dapat lebih produktif jika lebih memfokuskan perhatian pada kasus-kasus yang mendesak, seperti bencana alam, ketidakadilan sosial, atau masalah-masalah besar lainnya yang memerlukan perhatian segera. Jika semua energi kita hanya tersalurkan pada perdebatan yang tiada habisnya, bagaimana kita bisa membantu memecahkan masalah yang lebih besar yang sebenarnya mempengaruhi kehidupan banyak orang?

"Viral" Menjadi Budaya "Solusi"

Saya percaya bahwa kita bisa mulai mengubah kebiasaan kita dengan menjadi agen perubahan yang lebih produktif. Alih-alih terjebak dalam drama digital yang tiada henti, kita bisa menjadi bagian dari solusi nyata yang memberikan dampak positif. Ini adalah saatnya kita menjadi masyarakat yang lebih bijak dan dewasa dalam menghadapi setiap peristiwa yang viral. Berhenti di titik yang cukup bukanlah tanda kelemahan, tetapi justru tanda kedewasaan dalam berpikir dan bertindak. Dengan fokus pada hal-hal yang lebih penting, kita bisa bersama-sama menciptakan perubahan yang lebih baik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun