Beberapa hari terakhir, saya terusik oleh sebuah fenomena yang rasanya sudah sering sekali terjadi. Kasus terbaru ini melibatkan seorang ulama dan seorang penjual es teh. Dari apa yang saya baca dan lihat di media sosial, kasus ini bermula dari pernyataan ulama tersebut yang dianggap menyinggung penjual es teh. Tidak lama kemudian, dunia maya meledak. Potongan video bertebaran, komentar berdatangan, bahkan tak sedikit yang membuat parodi dari situasi tersebut.
Di satu sisi, saya melihat ada hal yang menyenangkan hati: sang penjual es teh akhirnya mendapatkan banyak rejeki dari berita viral ini. Dia mendapat bantuan modal, tawaran umroh gratis, bahkan donasi hingga ratusan juta rupiah. Sebuah keberkahan yang mungkin tidak pernah dia bayangkan sebelumnya. Tapi di sisi lain, hati saya terasa berat. Bukan karena saya membela ulama itu---sama sekali tidak. Saya hanya merasa sedih melihat bagaimana kita, sebagai masyarakat, begitu gemar memperpanjang konflik.
Saya sering bertanya-tanya, "Sampai kapan kita harus berhenti?" Ulama tersebut sudah mundur dari jabatannya. Penjual es teh pun sudah menerima banyak bantuan. Lalu, apa lagi yang kita cari? Namun, seperti pola yang sering saya lihat di banyak kasus sebelumnya, orang-orang tetap sibuk. Mereka menggali kesalahan lain, mencari potongan video lama, menyebarkan, mengomentari, bahkan membanggakan diri sebagai "pahlawan moral" karena merasa telah berkontribusi dalam menurunkan sang ulama.
Saya mencoba mengingat pengalaman pribadi ketika saya terjebak dalam perdebatan yang tak berujung di media sosial. Rasanya seperti masuk ke dalam lubang tanpa dasar. Awalnya saya merasa menang ketika argumen saya didukung banyak orang. Tapi semakin lama, energi yang saya keluarkan terasa sia-sia. Saya kehilangan fokus pada hal-hal yang sebenarnya lebih penting: pekerjaan, waktu bersama keluarga, atau bahkan sekadar menikmati secangkir teh di sore hari.
Fenomena ini adalah cerminan dari budaya "drama digital" yang semakin mengakar di masyarakat kita. Ketika ada satu isu viral, kita seperti tak bisa menahan diri untuk ikut berkomentar, berbagi, bahkan memperbesar masalah. Padahal, kalau dipikir-pikir, apa sebenarnya tujuan kita? Apakah kita benar-benar peduli pada solusi? Atau kita hanya menikmati sensasi menjadi bagian dari keramaian?
Saya tidak ingin menyalahkan siapa pun. Mungkin kita semua pernah terjebak dalam situasi ini. Tapi, mungkin juga sudah saatnya kita mulai belajar untuk berhenti di titik yang cukup. Berhenti memperbesar masalah, berhenti mencari-cari kesalahan, dan mulai memikirkan hal yang lebih besar: bagaimana kita bisa menggunakan energi kolektif ini untuk sesuatu yang benar-benar membawa kebaikan?
Fenomena Psikologis di Balik Kebiasaan Ini
Seiring dengan berjalannya waktu, saya mulai menyadari bahwa di balik kebiasaan kita yang gemar memperpanjang konflik atau memperbincangkan masalah yang sudah selesai, ada fenomena psikologis yang mendalam. Saya tidak bisa menutup mata bahwa kita semua, tanpa terkecuali, memiliki kecenderungan untuk merasakan sesuatu---baik itu yang positif atau negatif---dari apa yang terjadi di dunia maya. Terkadang, kita mungkin tidak menyadari seberapa besar dampaknya pada mentalitas kita.
Salah satu hal yang paling terasa adalah social validation---kebutuhan untuk merasa benar atau superior di dalam grup sosial kita. Saya ingat ketika saya ikut berbicara dalam sebuah diskusi online tentang kasus ini, perasaan ingin mendapat dukungan dari teman-teman di media sosial terasa begitu kuat. Begitu banyak komentar yang sependapat dengan saya, saya merasa seolah-olah pendapat saya adalah yang paling benar. Semua orang sepakat dengan apa yang saya katakan. Tapi semakin saya memikirkan ini, saya sadar, apakah pendapat saya benar-benar objektif? Atau saya hanya mencari validasi dari orang lain yang memiliki pandangan serupa?
Inilah yang saya sebut sebagai ilusi rasa benar, yang lebih sering didorong oleh keinginan untuk merasa "terlibat" atau "terhubung" dengan orang lain. Dalam dunia maya, seolah-olah semakin banyak yang setuju dengan kita, semakin kita merasa unggul. Padahal, kenyataannya, kita tidak selalu tahu siapa yang benar-benar terdampak oleh isu yang kita perbesar itu.
Lalu, ada dopamin dari viralitas. Saya tidak bisa bohong, saya sendiri terkadang merasa seperti ada semacam "kecanduan" ketika melihat konten saya dibagikan dan mendapatkan banyak perhatian. Rasanya ada sensasi kepuasan instan ketika saya melihat video atau komentar saya viral---tiba-tiba semua orang membahasnya. Mungkin ini juga yang dirasakan oleh banyak orang yang ikut memperpanjang kontroversi. Mereka menikmati sensasi itu, menikmati momen di mana mereka merasa menjadi pusat perhatian. Semua itu datang dengan mudah, tanpa usaha yang benar-benar berarti, dan kita tak jarang terlena dengan perasaan itu. Namun, apakah kepuasan semacam itu membawa kebahagiaan jangka panjang? Tentu saja tidak.