Mohon tunggu...
Kundiharto
Kundiharto Mohon Tunggu... Wiraswasta - Psychology Student

Deep interest in the fields of Information Technology, Psychology, Marketing, Management, and Entrepreneurship

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Belajar Berhenti di Titik yang Cukup

8 Desember 2024   20:54 Diperbarui: 8 Desember 2024   21:48 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Selanjutnya, saya menemukan bahwa fenomena ini juga diperburuk oleh confirmation bias---kecenderungan kita untuk mencari informasi yang hanya mendukung pandangan kita. Saya menyadari bahwa saya sering kali hanya memilih berita atau pendapat yang sejalan dengan apa yang saya percayai. Misalnya, ketika saya ingin melihat kasus ini dari sudut pandang yang mendukung pendapat saya, saya lebih memilih artikel atau video yang memperkuat sudut pandang saya dan mengabaikan yang bertentangan. Padahal, dengan terus-menerus mencari "kebenaran" yang hanya menguntungkan diri kita, kita tidak memberi ruang untuk perspektif yang lebih luas dan pemahaman yang lebih mendalam.

Yang lebih mengganggu adalah munculnya rasa schadenfreude---kepuasan yang muncul ketika kita melihat orang lain jatuh atau menderita, meskipun kita tidak memiliki hubungan pribadi dengan mereka. Saya tidak bisa menutup mata bahwa saya pernah merasa sedikit puas ketika melihat seseorang yang "bersalah" akhirnya mendapatkan ganjaran atau hukuman yang dianggap pantas. Dalam kasus ini, apakah kita merasa puas melihat ulama tersebut mundur dari jabatannya? Apakah kita merasa bahwa dia pantas mendapatkannya? Kadang, kita merasa seolah-olah kita menjadi hakim dalam kehidupan orang lain. Ini adalah bentuk kebanggaan palsu yang tak memberikan manfaat apa pun.

Saya merasa perlu untuk mengingatkan diri saya sendiri, dan mungkin juga bagi kita semua, bahwa kita perlu lebih waspada dengan kecenderungan-kecenderungan psikologis ini. Kita harus berhenti sejenak dan bertanya pada diri sendiri: Apa yang sebenarnya kita cari dalam semua ini? Apakah kita merasa puas karena merasa benar, atau kita sedang mencari kepuasan instan tanpa memikirkan konsekuensinya? Dalam banyak hal, kita harus berhati-hati agar tidak terjebak dalam lingkaran yang tak ada habisnya ini---di mana kita sibuk mencari pembenaran dan kepuasan, tetapi melupakan efek jangka panjangnya pada kesejahteraan kita dan orang lain.

Jika kita terus menerus terjebak dalam pola ini, kita akan semakin jauh dari solusi nyata, dan lebih dekat kepada perpecahan yang tak perlu.

Dampak Negatif yang Jarang Disadari

Saya pernah terjebak dalam suasana hati yang buruk setelah berlama-lama terlibat dalam perdebatan yang tak ada ujungnya di media sosial. Rasanya, semakin sering saya melihat komentar-komentar penuh kemarahan atau ejekan terhadap suatu pihak, semakin berat pula beban pikiran saya. Terkadang, saya bertanya-tanya, apakah perasaan ini benar-benar datang dari saya, atau apakah saya terkontaminasi oleh energi negatif yang ada di luar sana? Dan lebih jauh lagi, saya mulai menyadari bahwa kebiasaan kita untuk terus mencari-cari kesalahan pada orang lain ternyata dapat berdampak buruk pada mental kita. Ini yang saya sebut sebagai polusi mental.

Polusi mental ini berawal dari kebiasaan mencari-cari kesalahan orang lain. Tanpa kita sadari, setiap komentar yang kita baca, setiap video yang kita tonton, dan setiap potongan informasi yang kita sebarkan, mengisi kepala kita dengan pikiran-pikiran negatif. Kita menjadi terobsesi dengan "kebenaran" kita sendiri, sampai lupa bahwa fokus kita sebenarnya harus lebih besar dan lebih penting. Ketika kita sering terlibat dalam drama digital ini, kita semakin terbiasa dengan pikiran-pikiran yang toxic, yang bisa meracuni cara kita melihat dunia. Apalagi, efeknya tak hanya pada satu orang, tetapi juga bisa memengaruhi bagaimana kita berinteraksi dengan orang lain di dunia nyata.

Saya juga mulai merasa bahwa distraksi sosial yang terjadi akibat kebiasaan ini semakin mengalihkan perhatian kita dari isu-isu yang lebih besar dan mendesak. Coba bayangkan, berapa banyak perhatian kita yang terbuang untuk memperdebatkan sebuah isu yang sebenarnya sudah selesai, sementara ada masalah yang jauh lebih penting yang harus kita tangani bersama. Misalnya, bencana alam yang terjadi di Sukabumi atau di berbagai tempat lain yang sering kali mendapat perhatian sesaat lalu hilang begitu saja. Atau pendidikan yang semakin memprihatinkan, yang butuh perhatian kita lebih besar dari sekadar berbicara tentang kontroversi yang tidak berujung.

Saya sendiri merasa sangat terbagi. Di satu sisi, ada banyak topik yang ingin saya angkat dan bantu sebarkan, seperti tentang pentingnya perhatian terhadap bencana alam atau upaya untuk memperbaiki sistem pendidikan. Namun, di sisi lain, saya terjebak dalam arus viral yang tidak ada habisnya. Apakah ini benar-benar membuat saya menjadi lebih baik sebagai individu atau masyarakat? Mungkin tidak. Ini hanya membuat kita semakin tenggelam dalam percakapan yang tak produktif, kehilangan fokus pada hal-hal yang benar-benar memerlukan perhatian kita.

Yang lebih mengkhawatirkan lagi adalah kerusakan hubungan sosial yang bisa timbul akibat kebiasaan ini. Saya merasa ada jurang yang semakin lebar antara satu pihak dengan pihak lainnya. Di dunia maya, kita dengan mudahnya menyebarkan kebencian dan menghakimi orang tanpa mengenal mereka secara pribadi. Padahal, kita tahu betul bahwa hubungan antar individu seharusnya dibangun atas dasar saling percaya dan saling pengertian. Tapi di media sosial, apakah itu yang terjadi? Justru sering kali kita merasa lebih mudah untuk menilai, mencaci, dan menghakimi tanpa melihat keseluruhan situasi.

Saya sendiri pernah merasakan bagaimana hubungan sosial saya sedikit demi sedikit terpengaruh oleh diskusi-diskusi yang tidak sehat ini. Dalam kehidupan nyata, saya menjadi lebih sulit untuk percaya pada pendapat orang lain yang berbeda dari saya. Saya merasa seperti ada benteng tak terlihat yang terbentuk antara saya dan mereka yang memiliki pandangan yang berbeda. Ini adalah efek samping dari kebiasaan kita untuk terus menerus memperbesar konflik dan membiarkan perbedaan pendapat menjadi jurang pemisah yang tak terjembatani.

Pada akhirnya, saya menyadari bahwa dampak dari kebiasaan ini jauh lebih besar dari yang saya kira. Kita sering kali terjebak dalam kebisingan digital, tanpa menyadari bahwa kita sedang merusak kesehatan mental kita sendiri dan hubungan sosial kita dengan orang lain. Sementara, dunia ini masih penuh dengan masalah yang jauh lebih penting dan mendesak. Jangan sampai kita kehilangan kesempatan untuk memberi perhatian pada hal-hal yang benar-benar membutuhkan bantuan kita, hanya karena kita terlalu sibuk dengan hal-hal yang sebenarnya tidak akan membawa perubahan positif.

Belajar Berhenti di Titik yang Cukup

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun