Premature deindustrialization yang dialami Indonesia membawa dampak yang signifikan, terutama pada aspek ketenagakerjaan, distribusi pendapatan, dan keberlanjutan ekonomi. Seperti yang sudah kita bahas sebelumnya, fenomena ini menyebabkan hilangnya fondasi sektor manufaktur yang seharusnya bisa menjadi penggerak utama dalam menciptakan lapangan kerja formal dan meningkatkan keterampilan tenaga kerja. Dampaknya tidak hanya dirasakan pada level industri, tetapi juga menyentuh kehidupan masyarakat luas.
Kehilangan Lapangan Kerja Formal
Salah satu dampak paling mencolok dari premature deindustrialization adalah kehilangan lapangan kerja formal. Lapangan kerja formal penting karena biasanya menawarkan stabilitas, perlindungan sosial, dan peluang peningkatan keterampilan yang lebih baik dibandingkan sektor informal. Namun, dengan kolapsnya banyak industri manufaktur lokal akibat ketidakmampuan bersaing dengan produk impor yang lebih murah dan efisien, jumlah pekerjaan formal menurun drastis.
Kamu mungkin sering mendengar cerita atau bahkan mengalami sendiri, bagaimana sulitnya mencari pekerjaan tetap yang menawarkan gaji layak dan jaminan sosial. Lapangan kerja di sektor informal, seperti tenaga kerja harian, pekerja lepas, atau sektor gig economy, semakin mendominasi. Sayangnya, pekerjaan di sektor ini sering kali tidak menawarkan perlindungan yang sama dengan sektor formal, dan banyak dari kita harus bekerja tanpa jaminan kesehatan, tunjangan pensiun, atau peluang karir yang jelas.
Sektor manufaktur yang lemah ini juga membuat Indonesia kehilangan kesempatan untuk meningkatkan keterampilan tenaga kerjanya. Pekerjaan di sektor informal cenderung berteknologi rendah dan tidak menuntut keterampilan yang spesifik, sehingga pekerja yang terjebak di sektor ini mengalami stagnasi dalam karier mereka. Ini menciptakan siklus ketidakstabilan ekonomi yang sulit untuk dipecahkan.
Turunnya Kelas Menengah
Akibat dari menurunnya lapangan kerja formal dan kurangnya peluang peningkatan karier, kelas menengah di Indonesia juga terkena dampak yang cukup besar. Banyak masyarakat yang awalnya berada di kelas menengah kini jatuh menjadi kelas rentan miskin. Ini adalah salah satu dampak serius dari premature deindustrialization, di mana masyarakat yang sebelumnya memiliki penghasilan stabil, tiba-tiba harus menghadapi ketidakpastian ekonomi yang lebih besar.
Kamu mungkin pernah mendengar cerita dari orang-orang di sekitarmu, atau bahkan keluarga sendiri, tentang bagaimana situasi ekonomi yang dulunya nyaman tiba-tiba berubah menjadi tidak menentu. Pengeluaran semakin besar, namun pendapatan tetap stagnan, atau bahkan menurun. Ketika lapangan kerja formal hilang dan banyak dari kita harus beralih ke sektor informal yang tidak menentu, kemampuan untuk mempertahankan gaya hidup kelas menengah menjadi sulit. Hal ini menyebabkan penurunan daya beli, kesenjangan ekonomi yang semakin lebar, dan makin banyak orang yang rentan jatuh ke garis kemiskinan.
Penurunan kelas menengah ini juga berakibat pada stagnasi pertumbuhan ekonomi. Sebagai salah satu penggerak utama konsumsi dan investasi, hilangnya kekuatan finansial kelas menengah berpotensi menurunkan daya beli secara signifikan, yang pada gilirannya memperlambat pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
Tantangan Menuju Indonesia Emas 2045
Premature deindustrialization tidak hanya menjadi tantangan saat ini, tetapi juga menghadirkan hambatan besar bagi visi Indonesia Emas 2045. Tahun 2045 diproyeksikan menjadi momen penting bagi Indonesia, di mana kita diharapkan bisa menjadi salah satu kekuatan ekonomi terbesar di dunia. Namun, untuk mencapai Indonesia Emas 2045, salah satu syarat utamanya adalah memiliki tenaga kerja yang berketerampilan tinggi dan sektor industri yang kuat. Fenomena premature deindustrialization jelas menghambat proses ini.
Dengan semakin sedikitnya lapangan kerja formal dan tingginya ketergantungan pada sektor informal, tenaga kerja Indonesia menjadi kurang kompetitif di pasar global. Sektor informal tidak banyak memberikan kesempatan bagi pekerja untuk mengembangkan keterampilan teknis atau profesional yang diperlukan di era industri 4.0. Di sisi lain, perkembangan teknologi global terus melaju dengan cepat, dan Indonesia berisiko tertinggal jika tidak segera membangun kembali sektor industrinya yang kuat.
Jika fenomena ini terus berlanjut, mencapai visi Indonesia Emas 2045 akan menjadi tantangan berat. Saat ini, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih bergantung pada sektor-sektor dengan nilai tambah rendah, sementara negara-negara lain sudah mulai beralih ke industri dengan nilai tambah tinggi, seperti teknologi dan inovasi. Untuk bersaing di level global, Indonesia harus bisa memperkuat sektor manufakturnya, menciptakan lapangan kerja formal, dan memastikan tenaga kerjanya memiliki keterampilan yang memadai.