Dari perspektif supply dan demand ini, jelas terlihat bahwa ketidakseimbangan yang terjadi di job market Indonesia menjadi salah satu faktor utama di balik tingginya tingkat pengangguran dan sulitnya mendapatkan pekerjaan. Bagi pencari kerja, ini artinya mereka harus lebih kompetitif, baik dalam hal keterampilan maupun strategi mencari pekerjaan. Sementara bagi perusahaan, mereka dihadapkan pada tantangan untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja di tengah perubahan kondisi ekonomi yang dinamis.
Apakah kamu juga merasakan ketatnya persaingan dalam mencari kerja? Atau mungkin kamu pernah merasakan perbedaan yang signifikan antara sebelum dan sesudah pandemi?
Fenomena Premature Deindustrialization di Indonesia
Fenomena premature deindustrialization merupakan isu besar yang sering kali terabaikan dalam pembahasan perkembangan ekonomi Indonesia. Jika kita melihat perjalanan ekonomi suatu negara, ada pola umum yang biasanya dilalui sebelum mencapai kestabilan ekonomi tinggi.
Tahapan Ekonomi Negara biasanya dimulai dengan Tahap 1, yaitu negara agraris, di mana mayoritas penduduk bergantung pada sektor pertanian. Seiring waktu dan dengan adanya inovasi teknologi serta perkembangan infrastruktur, negara kemudian beralih ke Tahap 2, yaitu manufaktur. Di sinilah banyak lapangan kerja diciptakan, teknologi makin berkembang, dan penduduk negara tersebut mulai beralih dari pekerjaan berbasis agraris ke industri manufaktur yang lebih stabil dan menawarkan penghasilan yang lebih baik. Pada Tahap 3, negara mulai fokus pada penyediaan jasa, seperti sektor keuangan, pariwisata, pendidikan, dan lainnya, yang umumnya didukung oleh teknologi dan perkembangan ekonomi yang sudah mapan.
Mari kita ambil contoh negara sukses yang melalui tahapan ini dengan mulus. China adalah salah satu contoh yang paling terkenal. Pada tahun 1960-an hingga awal 1970-an, China adalah negara yang sebagian besar ekonominya masih berbasis agraris. Namun, dengan strategi pembangunan yang kuat, di akhir 1970-an, China mulai beralih menjadi negara manufaktur yang tangguh. Mereka fokus pada pengembangan industri dan menciptakan pabrik-pabrik besar, yang menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi. Kini, China telah memasuki Tahap 3, di mana sektor jasa dan teknologi mengambil peran besar dalam ekonomi mereka.
Korea Selatan juga mengalami pola yang serupa. Dari negara yang hancur pasca Perang Korea, Korea Selatan dengan cepat membangun sektor manufakturnya di akhir abad ke-20. Pemerintah mereka fokus pada pendidikan dan pengembangan teknologi, yang membawa mereka ke posisi sebagai salah satu negara terdepan dalam bidang elektronik, otomotif, dan teknologi informasi. Setelah mencapai puncak dalam industri manufaktur, Korea Selatan juga beralih menjadi ekonomi yang fokus pada jasa dan teknologi.
Namun, situasi di Indonesia berbeda. Indonesia, sayangnya, tidak melalui tahapan-tahapan ini secara mulus. Premature deindustrialization berarti Indonesia langsung beralih dari negara agraris ke ekonomi jasa tanpa mencapai puncak manufaktur. Padahal, sektor manufaktur seharusnya menjadi fondasi yang kuat untuk perkembangan ekonomi jangka panjang, menciptakan lapangan kerja formal, dan meningkatkan keterampilan tenaga kerja.
Salah satu penyebab utama dari fenomena ini adalah globalisasi. Ketika pasar global mulai terbuka, pabrik-pabrik lokal di Indonesia tidak mampu bersaing dengan produk asing yang lebih murah dan lebih efisien. Produk-produk impor dari negara seperti China dan India, yang telah membangun sektor manufaktur mereka dengan kuat, mengalahkan produk-produk lokal. Akibatnya, banyak pabrik-pabrik di Indonesia kolaps dan menutup operasi mereka. Ini menjadi masalah besar, karena tanpa sektor manufaktur yang kuat, lapangan pekerjaan formal berkurang drastis, dan banyak pekerja yang beralih ke sektor informal.
Dampaknya sangat terasa, terutama pada lapangan kerja formal. Dengan semakin sedikitnya perusahaan manufaktur yang bisa bertahan, banyak pekerjaan formal hilang dan digantikan oleh pekerjaan di sektor informal yang memiliki tingkat jaminan sosial dan pendapatan yang lebih rendah. Selain itu, karena manufaktur di Indonesia tidak berkembang dengan baik, perkembangan teknologi dan keterampilan sumber daya manusia (SDM) di negara ini juga tertinggal. Pekerjaan yang tersedia di sektor informal cenderung berteknologi rendah, dan tidak membutuhkan keterampilan khusus, sehingga menghambat pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Jadi, fenomena premature deindustrialization ini bukan hanya berdampak pada sektor industri itu sendiri, tapi juga merembet ke berbagai aspek ekonomi lainnya, termasuk kesempatan kerja, kesejahteraan tenaga kerja, dan kemampuan bersaing Indonesia di pasar global. Apa yang seharusnya menjadi transisi alami dari agraris ke manufaktur, malah membuat Indonesia terjebak dalam siklus pekerjaan informal dengan prospek jangka panjang yang tidak menentu.
Fenomena ini juga menjelaskan kenapa banyak pekerja di Indonesia, meskipun sudah bekerja, masih merasa tidak aman dari segi ekonomi. Pekerjaan di sektor informal tidak memberikan jaminan sosial yang cukup, dan sulit untuk meningkatkan keterampilan. Mungkin kamu sendiri pernah merasakan dampaknya, melihat betapa sulitnya mendapatkan pekerjaan yang stabil atau mendengar cerita dari orang-orang terdekat yang terjebak dalam pekerjaan dengan pendapatan tidak pasti.