Mohon tunggu...
Kundiharto
Kundiharto Mohon Tunggu... Wiraswasta - Psychology Student

Deep interest in the fields of Information Technology, Psychology, Marketing, Management, and Entrepreneurship

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Doom Spending, Bahaya Konsumerisme Digital

1 Oktober 2024   16:51 Diperbarui: 1 Oktober 2024   18:55 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namun, seperti yang kita semua sadari, doom spending tidak pernah benar-benar menyelesaikan masalah. Setelah kepuasan sesaat dari belanja berlalu, kecemasan sering kali kembali, bahkan kadang-kadang disertai dengan penyesalan karena telah menghabiskan uang secara berlebihan. Budaya konsumerisme digital sangat mahir dalam memanfaatkan kondisi psikologis ini. Marketplace online terus mendorong kita untuk membeli lebih banyak, menawarkan diskon atau promosi menarik yang sulit untuk ditolak. Algoritma yang digunakan oleh platform e-commerce dirancang untuk memanfaatkan kecemasan dan hasrat tak terpenuhi ini, membuat kita terus-menerus terjebak dalam siklus konsumsi yang tidak pernah berakhir.

Pada akhirnya, konsumerisme digital tidak hanya tentang barang-barang yang kita beli, tetapi juga tentang kondisi psikologis yang memicu konsumsi itu sendiri. Saya sering merenung tentang bagaimana kita, sebagai konsumen, menjadi lebih rentan terhadap manipulasi tanda dan simbol dalam dunia digital. Perasaan tidak pernah cukup, rasa cemas tentang masa depan, dan keinginan untuk mendapatkan kontrol melalui konsumsi adalah fenomena yang semakin menonjol di era digital ini.

Bahaya Konsumerisme dan Perlunya Kesadaran

Seiring dengan kemajuan teknologi dan semakin kuatnya pengaruh konsumerisme digital, kita melihat pola konsumsi yang semakin cepat dan tidak terkendali, terutama di kalangan Generasi Z dan milenial. Marketplace virtual, aplikasi e-commerce, dan media sosial membuat konsumsi menjadi begitu mudah, dan sering kali, kita tanpa sadar terjebak dalam arus besar perilaku konsumtif ini. Saya sering melihat bagaimana teman-teman saya---dan bahkan diri saya sendiri---mudah tergoda oleh promosi flash sale, atau produk-produk yang dipasarkan dengan begitu apik di media sosial. Meskipun sepertinya tidak ada yang salah dengan hal ini, ada bahaya yang perlu diwaspadai.

Konsumsi, meskipun memberikan kepuasan instan, sebenarnya bisa membuat kita masuk dalam siklus konsumtif yang tidak berujung. Seperti yang saya alami sendiri, membeli barang baru memang bisa membuat kita merasa senang, tetapi kesenangan itu sering kali hanya sementara. Ketika perasaan puas itu hilang, kita merasa perlu membeli lebih banyak untuk mendapatkan kembali sensasi yang sama. Inilah yang membuat kita terjebak dalam pola belanja yang tidak sehat, yang dalam jangka panjang bisa berdampak negatif pada kesejahteraan finansial dan mental.

Fenomena doom spending yang marak di kalangan generasi muda menunjukkan betapa kuatnya pengaruh konsumerisme terhadap kondisi psikologis kita. Alih-alih mengatasi masalah yang lebih mendasar, banyak dari kita beralih ke konsumsi sebagai pelarian dari kecemasan, ketidakpastian, atau tekanan hidup. Namun, seperti yang kita tahu, pembelian impulsif tidak akan menyelesaikan masalah. Kecemasan mungkin akan kembali, bahkan semakin memburuk karena adanya penyesalan finansial setelah melakukan pembelian yang tidak diperlukan.

Untuk itulah, penting bagi kita untuk memiliki kesadaran tentang bagaimana konsumsi bekerja dalam kehidupan kita, terutama di era digital yang terus mendorong kita untuk membeli lebih banyak. Kesadaran ini bukan berarti kita harus sepenuhnya menghindari konsumsi, tetapi lebih kepada bagaimana kita bisa mengendalikan hasrat konsumtif dan berbelanja dengan bijak. Saya pribadi mencoba untuk lebih selektif dalam membeli sesuatu---apakah barang tersebut benar-benar saya butuhkan atau hanya keinginan sesaat? Apakah saya membeli karena kebutuhan atau sekadar untuk memenuhi dorongan emosional?

Kita perlu belajar untuk menghargai apa yang kita miliki dan tidak selalu mencari kepuasan melalui hal-hal material. Penting juga untuk menyadari bahwa konsumsi tidak akan pernah sepenuhnya memuaskan hasrat kita, karena seperti yang disampaikan oleh Lacan, hasrat manusia bersifat tak terpenuhi. Oleh karena itu, memahami dan mengelola keinginan konsumtif adalah kunci agar kita tidak terjebak dalam doom spending dan bisa menjalani kehidupan yang lebih seimbang, baik dari sisi finansial maupun mental.

Pada akhirnya, konsumerisme digital memang menjadi bagian tak terhindarkan dari kehidupan modern, tetapi kita sebagai individu harus lebih bijak dalam menavigasi dunia konsumsi ini. Dengan memiliki kesadaran yang lebih tinggi terhadap perilaku konsumsi kita, kita dapat terhindar dari bahaya konsumtif yang berlebihan dan menjaga keseimbangan dalam hidup.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun