Mohon tunggu...
Kundiharto
Kundiharto Mohon Tunggu... Wiraswasta - Psychology Student

Deep interest in the fields of Information Technology, Psychology, Marketing, Management, and Entrepreneurship

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Doom Spending, Bahaya Konsumerisme Digital

1 Oktober 2024   16:51 Diperbarui: 1 Oktober 2024   18:55 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pexels/AS Photography 

Saya ingat betul, dulu kalau kita butuh beli sesuatu, mulai dari kebutuhan rumah tangga sampai barang elektronik, pilihan pertama pasti pergi ke toko atau mal. Masih terbayang serunya berjalan-jalan di supermarket besar, kadang sekadar lihat-lihat saja, atau membawa pulang barang yang bahkan nggak ada di daftar belanja. Waktu itu, drugstore, minimarket, atau pusat perbelanjaan fisik memang menjadi tempat yang kita datangi untuk membeli barang-barang sehari-hari. Tapi, lihatlah sekarang, semuanya sudah berubah.

Budaya belanja online semakin hari semakin mengakar. Kita bisa lihat fenomena ini dari semakin banyaknya orang yang lebih memilih membuka aplikasi Shopee, TikTok Shop, atau Tokopedia daripada pergi ke toko langsung. Mungkin kamu juga salah satunya, termasuk saya juga, yang kadang lebih senang scroll barang di online shop daripada harus keluar rumah. Rasanya, dunia sekarang benar-benar bergerak ke arah digital dengan cepat. Dan ini tidak terjadi secara kebetulan. Ada faktor besar yang memengaruhi pergeseran ini: disrupsi digital.

Transformasi besar terjadi ketika toko-toko fisik mulai bermigrasi ke platform online. Di masa lalu, drugstore adalah tempat kita mendapatkan segala macam barang dengan mudah. Sekarang, fungsinya sudah tergantikan oleh marketplace virtual. E-commerce mulai menawarkan segalanya, dari kebutuhan sehari-hari sampai barang mewah, hanya dengan beberapa kali klik. Bahkan, TikTok Shop kini menawarkan pengalaman belanja yang jauh lebih interaktif---di mana kita bisa langsung membeli barang yang kita lihat di video.

Semakin hari, aplikasi-aplikasi e-commerce ini juga semakin dominan. Dulu, mungkin kita hanya mengenal satu atau dua marketplace besar seperti Bukalapak atau Lazada. Tapi sekarang, hampir setiap orang punya aplikasi Shopee atau Tokopedia di ponselnya, dan TikTok Shop baru-baru ini juga semakin ramai dibicarakan. Tidak hanya menyediakan barang yang kita butuhkan, tapi juga menghadirkan berbagai macam promosi dan diskon yang bikin kita sulit menolak.

Yang menarik adalah bagaimana perubahan ini mengubah cara kita berbelanja. Saya masih ingat masa-masa di mana belanja harus dijadwalkan, menyiapkan waktu khusus untuk pergi ke toko. Tapi sekarang, kita bisa belanja kapan saja, di mana saja. Aktivitas belanja tradisional ini pelan-pelan mulai ditinggalkan. Saya pun mulai merasakan bahwa keluar rumah hanya untuk berbelanja terasa seperti sesuatu yang jarang dilakukan. Semua kebutuhan, dari makanan, pakaian, hingga gadget, bisa datang ke rumah tanpa perlu repot-repot keluar. Rasanya benar-benar praktis!

Perubahan ini juga mencerminkan bagaimana dunia bisnis berubah, di mana konsumen kini mencari cara belanja yang lebih mudah dan efisien. Maka tak heran, online shopping menjadi semakin populer, bukan hanya karena kepraktisannya, tapi juga karena disrupsi digital yang terus mengubah cara kita hidup.

Dari Drugstore Menuju Mall Virtual

Jika kita bicara tentang belanja di masa lalu, ada sebuah konsep menarik yang dipopulerkan oleh Jean Baudrillard dalam bukunya The Consumer Society. Dia menyoroti bahwa di dunia modern, berbagai objek konsumsi sudah menjadi bagian dari kehidupan kita sehari-hari. Saya jadi teringat masa kecil, di mana belanja adalah sesuatu yang begitu "nyata" dan "fisik." Pusat perbelanjaan seperti supermarket besar, toko kelontong, dan mal menjadi simbol kemakmuran, di mana kita bisa mengakses hampir semua kebutuhan dalam satu tempat.

Namun, Baudrillard dengan tajam menjelaskan bahwa konsumerisme ini tidak hanya tentang kebutuhan fisik. Lebih dari itu, minat konsumsi kita dibentuk dan dirancang melalui berbagai objek baru yang memanipulasi selera dan keinginan. Bayangkan saja, di supermarket atau pusat perbelanjaan, kita tidak hanya membeli barang yang kita butuhkan, tetapi juga tergoda oleh barang-barang yang sebenarnya kita tidak pikirkan sebelumnya. Itu karena semuanya telah disusun secara apik untuk menarik perhatian kita. Begitu juga dengan "drugstore" besar, yang dulu sangat populer, contohnya seperti Parly 2 di Prancis, pusat perbelanjaan fisik yang bukan sekadar tempat belanja, tetapi juga pusat rekreasi dan aktivitas sosial.

Parly 2, yang digambarkan Baudrillard sebagai salah satu pusat perbelanjaan terbesar di Eropa, lebih dari sekadar tempat berbelanja. Ada lebih dari 200 toko, tempat olahraga, perpustakaan, hingga tempat ibadah dan perumahan di sekitarnya. Drugstore ini benar-benar mengubah cara hidup masyarakat. Semua kategori komoditas ada di sana, mulai dari barang kebutuhan sehari-hari hingga barang-barang mewah yang memikat kita. Rasanya, saat kita berada di sana, seluruh hidup kita bisa dihabiskan di dalamnya---tidak hanya berbelanja, tetapi juga bersosialisasi dan bersantai.

Tapi lihatlah sekarang. Semua itu sudah berubah, dan digitalisasi membawa kita ke fase baru. Drugstore fisik seperti Parly 2 mulai bertransformasi, tidak lagi sekadar bangunan fisik, tetapi berubah menjadi marketplace virtual. Semua kebutuhan kita yang dulu ada di drugstore fisik, sekarang sudah bisa diakses dengan satu sentuhan di layar ponsel kita. Marketplace seperti Shopee, Lazada, dan Tokopedia kini berperan seperti Parly 2 di era modern---menyediakan berbagai barang, tetapi dalam bentuk digital.

Saya pernah merasa, dulu ada daya tarik tersendiri saat berjalan di lorong-lorong mal, melihat barang-barang yang dipajang dengan apik, menggoda kita untuk membeli. Namun kini, semua itu bisa kita rasakan melalui layar ponsel, dengan tampilan barang yang dibuat sedemikian menarik. Hasrat konsumsi kita dipacu oleh iklan-iklan yang terpampang di berbagai media sosial dan aplikasi belanja. Pengalaman ini mungkin berbeda dari cara lama, tapi dampaknya tetap sama---kita tetap tergoda untuk membeli, bahkan sering kali lebih dari yang kita butuhkan.

Yang dulu fisik, sekarang menjadi virtual. Perubahan ini bukan hanya sekadar memindahkan proses belanja dari offline ke online, tetapi juga menyentuh cara kita memandang konsumsi itu sendiri. Dunia digital tidak lagi sekadar tempat mencari informasi, tapi sudah menjadi mal virtual di mana kita dapat membeli hampir segala sesuatu. Transformasi ini membuat saya berpikir, seberapa jauh kita akan melangkah ke depan dalam dunia digital? Apakah drugstore fisik seperti Parly 2 suatu hari nanti akan benar-benar lenyap, digantikan sepenuhnya oleh marketplace virtual? Hanya waktu yang bisa menjawab.

Perubahan Budaya Konsumerisme di Era Digital

Jika kita bicara tentang bagaimana transformasi drugstore menjadi e-commerce, hal ini bukan sekadar perubahan fisik dari toko ke platform digital. Sebaliknya, ini adalah pergeseran mendasar dalam cara kita hidup, bekerja, dan---tentu saja---berbelanja. Ketika saya memikirkan momen di mana saya dulu harus keluar rumah, pergi ke pusat perbelanjaan untuk membeli kebutuhan sehari-hari, sekarang semua itu sudah bisa dilakukan hanya dengan beberapa kali klik di smartphone. Dari pakaian, makanan, hingga peralatan rumah tangga, semuanya tersedia dalam format digital, dan bisa tiba di depan pintu kita hanya dalam beberapa jam atau hari.

Transformasi drugstore ini benar-benar terlihat jelas di e-commerce seperti Shopee, Lazada, Tokopedia, dan banyak lagi. Mekanisme yang dulu diterapkan di drugstore fisik---dari penataan produk, promosi, hingga pengelolaan alur pelanggan---kini diterapkan dalam format digital yang lebih modern dan dinamis. E-commerce menyediakan segala kebutuhan manusia secara virtual, dan mereka bahkan lebih efektif dalam menarik minat konsumen. Produk-produk tidak hanya dipajang, tetapi juga dipromosikan dengan algoritma pintar yang menyesuaikan selera kita, sering kali membuat kita membeli lebih banyak dari yang kita butuhkan.

Menurut Barry Smart, seorang sosiolog terkenal, ada tiga ciri utama perubahan konsumerisme yang terlihat jelas di era digital ini:

1. Skala Global dan Jangkauan Konsumsi yang Semakin Meluas

Konsumerisme di era digital bukan lagi terbatas pada satu wilayah atau negara. Sekarang, saya bisa membeli produk dari Tiongkok, Eropa, atau Amerika Serikat dengan mudah melalui e-commerce. Skala global ini membuat kita tidak hanya terhubung dengan produk lokal, tetapi juga dengan barang-barang dari seluruh dunia. Ketika dulu saya harus menunggu teman atau kerabat yang bepergian ke luar negeri untuk membawa oleh-oleh, sekarang saya bisa memesannya langsung dari platform e-commerce. Dan yang paling menarik, produk-produk dari luar negeri kini lebih terjangkau karena kita tidak perlu membayar mahal untuk biaya pengiriman atau bea cukai yang tinggi.

2. Dominasi Digital dalam Aktivitas Konsumsi

Dominasi digital ini sangat nyata. Saya seringkali menemukan diri saya berbelanja bahkan tanpa keluar rumah. Ponsel saya menjadi jendela ke dunia konsumerisme digital, di mana iklan-iklan yang saya lihat di Instagram atau Facebook secara langsung memengaruhi keputusan pembelian saya. Dari rekomendasi influencer hingga ulasan produk, semuanya mendominasi aktivitas konsumsi kita. Kita tidak lagi membeli barang berdasarkan kebutuhan yang direncanakan, tetapi berdasarkan pengaruh dari dunia digital.

Saya teringat bagaimana dulu saya harus memeriksa toko fisik satu per satu untuk menemukan barang yang cocok. Tapi sekarang? Semua informasi tersedia secara instan melalui ponsel saya. Konsumsi digital ini memberi kecepatan yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya. Dari pembelian produk hingga pembayaran, semuanya bisa dilakukan dalam hitungan detik.

3. Proliferasi Tanda-tanda Konsumsi dan Manipulasi Visual

Barry Smart juga berbicara tentang bagaimana tanda-tanda konsumsi dan manipulasi visual telah berkembang pesat melalui media digital. Di era fisik, kita mungkin melihat iklan di billboard atau majalah, tetapi sekarang semua itu sudah dipindahkan ke media digital yang jauh lebih personal dan persuasif. Saya sering kali terkejut melihat betapa efektifnya iklan-iklan yang muncul di media sosial atau e-commerce. Gambar produk yang dipromosikan selalu terlihat sempurna, dan sering kali membuat kita berpikir bahwa kita "membutuhkannya," padahal sebenarnya tidak.

Proliferasi ini bukan hanya tentang tampilan produk yang menggiurkan, tetapi juga tentang bagaimana algoritma mengontrol apa yang kita lihat. Setiap kali saya mencari sesuatu di internet, iklan serupa mulai muncul di mana-mana, seolah-olah dunia digital tahu persis apa yang saya inginkan sebelum saya menyadarinya. Manipulasi visual ini sangat efektif dalam menarik minat konsumen, dan sering kali kita menjadi korban dari dorongan impulsif untuk membeli sesuatu.

Mall Fisik Berevolusi Menjadi Mall Virtual

Dulu, mall fisik menjadi tempat utama bagi orang-orang untuk memenuhi kebutuhan konsumsi mereka. Tapi sekarang, mall-mall ini mulai kehilangan pengaruhnya. Bukan karena orang tidak suka belanja, tapi karena mall virtual menawarkan sesuatu yang lebih menarik: kecepatan, efisiensi, dan kemudahan pengiriman.

Saya sendiri merasa bahwa belanja di mall virtual jauh lebih praktis. Tidak perlu antri, tidak perlu mencari tempat parkir, dan tentu saja tidak perlu berkeliling mencari barang yang diinginkan. Semua itu sekarang bisa dilakukan dari kenyamanan rumah, bahkan sambil duduk santai di sofa. Barang yang saya beli bisa tiba dalam waktu singkat, dan jika ada masalah, pengembalian barang pun bisa dilakukan dengan mudah.

Transformasi ini benar-benar merubah cara kita hidup. Budaya konsumerisme kini lebih didorong oleh kebutuhan akan kenyamanan dan kecepatan, dan dunia digital menawarkan itu semua. Belanja bukan lagi tentang pengalaman fisik, tetapi tentang efisiensi dan kecepatan di era virtual.

Munculnya Doom Spending di Kalangan Gen Z dan Milenial

Membahas pertumbuhan e-commerce di Indonesia rasanya tidak bisa dilepaskan dari fenomena yang berkembang di kalangan Gen Z dan milenial. Indonesia sendiri diproyeksikan memiliki pertumbuhan e-commerce tertinggi di dunia pada tahun 2024. Ini bukan prediksi sembarangan---setiap hari, kita melihat betapa banyaknya platform e-commerce yang hadir dengan berbagai tawaran menggiurkan. Dari diskon besar-besaran, flash sale, hingga gratis ongkir, semua itu sangat mengundang untuk melakukan pembelian secara impulsif. Dan saya yakin kita semua pernah mengalaminya.

Generasi Z dan milenial menjadi konsumen utama dari pertumbuhan ini. Saya sendiri sering melihat teman-teman atau bahkan diri saya sendiri yang kerap berbelanja online hanya karena tergoda promo atau bahkan tanpa benar-benar butuh. Shopee, Tokopedia, hingga Bukalapak telah menjadi tempat belanja virtual yang seolah-olah selalu hadir di saku kita, siap memanjakan hasrat konsumtif kapan saja. Shopee, secara khusus, telah menjadi favorit di antara generasi muda berkat gamifikasi dan interaksi yang mereka tawarkan, seperti Shopee Games, Shopee Live, dan Shopee PayLater, yang membuat berbelanja terasa lebih menyenangkan.

Namun, seiring dengan kenyamanan dan kemudahan berbelanja online, muncul fenomena baru yang dikenal sebagai doom spending. Ini adalah fenomena di mana generasi muda, khususnya Gen Z dan milenial, terjebak dalam perilaku konsumtif yang berlebihan, bahkan saat mereka belum benar-benar mapan secara finansial. Doom spending ini biasanya dipicu oleh dorongan emosional---entah karena stres, kecemasan, atau ketidakpastian akan masa depan. Di sinilah saya merasa relate karena, di era pandemi dan ketidakpastian ekonomi yang melanda beberapa tahun terakhir, banyak dari kita yang merasa tertekan dan kemudian mencari pelarian melalui belanja online.

Riset menunjukkan bahwa generasi ini sering menggunakan konsumsi sebagai cara untuk meredakan kecemasan terkait ekonomi dan masa depan. Saya ingat pernah membaca sebuah artikel yang menyatakan bahwa orang-orang muda cenderung merasa lebih baik setelah berbelanja, meskipun mereka tahu bahwa pembelian tersebut sebenarnya tidak diperlukan. Rasanya seolah-olah belanja bisa menjadi semacam "terapi" bagi jiwa yang sedang gelisah. Namun, di balik kepuasan sementara itu, sering kali muncul penyesalan setelahnya---terutama ketika tagihan kartu kredit atau paylater mulai berdatangan.

Fenomena doom spending ini tidak bisa dianggap remeh. Meski terlihat sepele, belanja impulsif yang dilakukan untuk meredakan stres atau mengatasi ketidakpastian sebenarnya bisa menimbulkan masalah jangka panjang. Konsumsi berlebihan tanpa perencanaan bisa berdampak buruk pada kesehatan finansial seseorang. Apalagi di zaman sekarang, di mana media sosial kerap memengaruhi gaya hidup kita. Melihat teman atau influencer pamer barang-barang mewah sering kali membuat kita merasa "harus" ikut-ikutan, meskipun kemampuan finansial kita belum tentu mendukung.

Salah satu contoh nyata adalah tren belanja saat midnight sale. Ketika saya coba refleksikan, berapa kali saya ikut flash sale atau midnight sale hanya karena merasa "ini kesempatan yang sayang dilewatkan"? Padahal, produk yang saya beli sebenarnya bukan kebutuhan mendesak. Pada akhirnya, fenomena doom spending ini memperlihatkan bagaimana teknologi dan kebiasaan konsumsi digital bisa memengaruhi emosi dan perilaku kita secara signifikan.

Seduction dan Manipulasi Tanda dalam Konsumerisme Digital

Ketika kita berbicara tentang konsumerisme digital, sering kali kita tidak menyadari bahwa konsumsi yang kita lakukan tidak hanya dipengaruhi oleh kebutuhan praktis, tetapi juga oleh rayuan yang lebih dalam dan simbolis. Dalam hal ini, Jean Baudrillard melalui konsepnya tentang seduction atau rayuan memberikan wawasan yang menarik tentang bagaimana manusia kini terlibat dalam konsumsi. Menurut Baudrillard, dalam dunia modern, rayuan dalam konsumsi tidak lagi berbasis pada kebutuhan nyata, melainkan pada manipulasi tanda---simbol-simbol yang diproduksi dan disebarkan melalui media iklan dan platform digital.

Ketika kita melihat iklan fashion, misalnya, sering kali kita tidak hanya melihat pakaian atau sepatu sebagai barang yang kita butuhkan untuk kenyamanan atau kepraktisan sehari-hari. Alih-alih, benda-benda tersebut diubah menjadi simbol status, gaya hidup, atau kepribadian yang kita ingin tampilkan. Saya pribadi sering terjebak dalam hal ini---membeli barang bukan karena benar-benar butuh, tetapi karena tergoda oleh gambaran kehidupan yang ditampilkan melalui iklan. Iklan sering kali menyisipkan pesan-pesan simbolis yang secara tidak sadar membuat kita ingin membeli sesuatu untuk menjadi "bagian" dari cerita atau citra yang mereka bangun.

Baudrillard juga berpendapat bahwa dalam konsumerisme modern, konsumen bukan lagi subjek yang secara sadar memilih barang-barang yang mereka konsumsi. Sebaliknya, konsumen telah menjadi objek dari benda-benda konsumsi itu sendiri. Misalnya, dalam hal fashion atau peralatan kecantikan, kita sering merasa bahwa barang-barang tersebut "mengendalikan" kita. Ada semacam tekanan sosial yang membuat kita merasa harus memiliki atau memakai sesuatu agar diterima atau dianggap "up to date" dalam lingkungan sosial kita.

Selain itu, munculnya mall virtual atau marketplace online semakin memperkuat fenomena ini. Di dalam ruang virtual tersebut, kita tidak hanya membeli barang, tetapi juga terlibat dalam suatu simulasi konsumsi yang tanpa disadari terus menarik kita masuk lebih dalam. Saya sering merasakan bahwa berbelanja di e-commerce seperti Shopee atau Tokopedia kadang terasa seperti masuk ke dalam "dunia lain" yang penuh dengan tawaran menarik. Bahkan sebelum saya menyadarinya, saya sudah menambahkan berbagai barang ke keranjang belanja---meskipun sebagian besar barang itu mungkin bukan kebutuhan utama.

Marketplace virtual menciptakan ruang simulasi yang sangat halus dan manipulatif. Mereka didesain untuk membuat kita terus terjebak dalam konsumsi, bahkan tanpa kita sadari. Algoritma di balik e-commerce sering kali menawarkan rekomendasi produk berdasarkan apa yang pernah kita lihat atau beli sebelumnya. Hal ini membuat kita merasa bahwa kebutuhan kita terus berkembang dan bertambah---padahal sering kali itu hanya hasil dari manipulasi tanda yang diciptakan oleh sistem e-commerce itu sendiri.

Pada akhirnya, konsumerisme digital dalam konteks seduction ini tidak hanya tentang barang yang kita beli, tetapi tentang pengalaman konsumsi yang diciptakan oleh teknologi. Dunia belanja online telah menciptakan ruang di mana manusia terperangkap dalam proses konsumsi yang terus-menerus. Setiap kali saya membuka aplikasi marketplace, saya merasa seolah-olah masuk ke dalam "mall virtual" yang tak pernah tidur---selalu ada sesuatu yang baru, selalu ada diskon yang membuat saya ingin membeli sesuatu. Dan di sinilah kita terjebak, dalam lingkaran konsumsi tanpa akhir, tanpa sepenuhnya menyadari bahwa kita telah menjadi objek dari tanda-tanda yang dimanipulasi oleh sistem.

Psikologi Konsumerisme: Kecemasan dan Hasrat Tak Terpenuhi

Kita semua pernah merasakan dorongan untuk membeli sesuatu, meskipun mungkin kita tahu barang itu tidak benar-benar kita butuhkan. Dalam dunia yang semakin didorong oleh konsumerisme digital, hal ini semakin terlihat jelas. Psikologi di balik konsumerisme ini sebenarnya sangat dalam, dan salah satu tokoh yang sering dibahas dalam konteks ini adalah Jacques Lacan, seorang psikoanalis Prancis yang terkenal dengan konsepnya tentang lacking.

Menurut Lacan, hasrat manusia sebenarnya tidak pernah benar-benar terpenuhi. Kita selalu merasa ada yang kurang, ada sesuatu yang hilang, dan inilah yang membuat kita terus mencari kepuasan. Saya pribadi pernah merasakan perasaan ini---setiap kali saya membeli sesuatu, ada kepuasan sesaat, tetapi setelah beberapa waktu, saya mulai merasa ingin membeli barang lain lagi. Lacan menyebut ini sebagai keinginan akan sesuatu yang hilang. Kita menganggap bahwa dengan membeli barang tertentu, kita bisa merasa lebih lengkap atau lebih puas, padahal kenyataannya hasrat tersebut terus berulang dan tidak pernah benar-benar berhenti.

Dalam konteks konsumerisme, kita sering kali melihat produk-produk yang dijual sebagai solusi dari perasaan kurang atau kecemasan kita. Perusahaan menggunakan strategi pemasaran yang membuat kita berpikir bahwa barang-barang tersebut dapat mengisi "kekosongan" dalam hidup kita. Inilah sebabnya kita sering kali tergoda untuk membeli barang-barang yang sebenarnya tidak kita butuhkan. Ketika saya melihat iklan gadget terbaru atau fashion trendi, sering kali saya merasa seolah-olah barang-barang tersebut dapat membuat hidup saya lebih baik---padahal mungkin itu hanya permainan psikologis yang ditanamkan oleh iklan.

Lacan menyatakan bahwa konsumsi menjadi cara kita untuk mencoba memenuhi hasrat yang tidak pernah bisa benar-benar dipenuhi. Setiap kali kita membeli sesuatu, kita merasakan kepuasan sesaat, tetapi tak lama kemudian perasaan "kurang" itu muncul kembali. Dalam konsumerisme digital, kondisi ini semakin dipicu oleh algoritma dan iklan yang terus-menerus menawarkan produk baru yang lebih menarik. Kita dibuat merasa bahwa ada hal-hal yang selalu kurang dari hidup kita, dan konsumsi menjadi solusi sementara untuk mencoba mengatasi perasaan itu.

Salah satu fenomena yang semakin marak adalah doom spending---ketika seseorang melakukan pembelian impulsif sebagai bentuk pelarian dari kecemasan atau tekanan hidup. Ini sering kali terjadi pada Generasi Z dan milenial yang hidup di era penuh ketidakpastian ekonomi dan sosial. Saya pernah berbicara dengan beberapa teman yang mengaku bahwa mereka sering kali berbelanja online saat merasa stres atau khawatir tentang masa depan. Mereka tahu bahwa pembelian itu tidak akan menyelesaikan masalah dasar yang mereka hadapi, tetapi untuk sesaat, konsumsi memberikan rasa kontrol atau pelarian dari kecemasan.

Namun, seperti yang kita semua sadari, doom spending tidak pernah benar-benar menyelesaikan masalah. Setelah kepuasan sesaat dari belanja berlalu, kecemasan sering kali kembali, bahkan kadang-kadang disertai dengan penyesalan karena telah menghabiskan uang secara berlebihan. Budaya konsumerisme digital sangat mahir dalam memanfaatkan kondisi psikologis ini. Marketplace online terus mendorong kita untuk membeli lebih banyak, menawarkan diskon atau promosi menarik yang sulit untuk ditolak. Algoritma yang digunakan oleh platform e-commerce dirancang untuk memanfaatkan kecemasan dan hasrat tak terpenuhi ini, membuat kita terus-menerus terjebak dalam siklus konsumsi yang tidak pernah berakhir.

Pada akhirnya, konsumerisme digital tidak hanya tentang barang-barang yang kita beli, tetapi juga tentang kondisi psikologis yang memicu konsumsi itu sendiri. Saya sering merenung tentang bagaimana kita, sebagai konsumen, menjadi lebih rentan terhadap manipulasi tanda dan simbol dalam dunia digital. Perasaan tidak pernah cukup, rasa cemas tentang masa depan, dan keinginan untuk mendapatkan kontrol melalui konsumsi adalah fenomena yang semakin menonjol di era digital ini.

Bahaya Konsumerisme dan Perlunya Kesadaran

Seiring dengan kemajuan teknologi dan semakin kuatnya pengaruh konsumerisme digital, kita melihat pola konsumsi yang semakin cepat dan tidak terkendali, terutama di kalangan Generasi Z dan milenial. Marketplace virtual, aplikasi e-commerce, dan media sosial membuat konsumsi menjadi begitu mudah, dan sering kali, kita tanpa sadar terjebak dalam arus besar perilaku konsumtif ini. Saya sering melihat bagaimana teman-teman saya---dan bahkan diri saya sendiri---mudah tergoda oleh promosi flash sale, atau produk-produk yang dipasarkan dengan begitu apik di media sosial. Meskipun sepertinya tidak ada yang salah dengan hal ini, ada bahaya yang perlu diwaspadai.

Konsumsi, meskipun memberikan kepuasan instan, sebenarnya bisa membuat kita masuk dalam siklus konsumtif yang tidak berujung. Seperti yang saya alami sendiri, membeli barang baru memang bisa membuat kita merasa senang, tetapi kesenangan itu sering kali hanya sementara. Ketika perasaan puas itu hilang, kita merasa perlu membeli lebih banyak untuk mendapatkan kembali sensasi yang sama. Inilah yang membuat kita terjebak dalam pola belanja yang tidak sehat, yang dalam jangka panjang bisa berdampak negatif pada kesejahteraan finansial dan mental.

Fenomena doom spending yang marak di kalangan generasi muda menunjukkan betapa kuatnya pengaruh konsumerisme terhadap kondisi psikologis kita. Alih-alih mengatasi masalah yang lebih mendasar, banyak dari kita beralih ke konsumsi sebagai pelarian dari kecemasan, ketidakpastian, atau tekanan hidup. Namun, seperti yang kita tahu, pembelian impulsif tidak akan menyelesaikan masalah. Kecemasan mungkin akan kembali, bahkan semakin memburuk karena adanya penyesalan finansial setelah melakukan pembelian yang tidak diperlukan.

Untuk itulah, penting bagi kita untuk memiliki kesadaran tentang bagaimana konsumsi bekerja dalam kehidupan kita, terutama di era digital yang terus mendorong kita untuk membeli lebih banyak. Kesadaran ini bukan berarti kita harus sepenuhnya menghindari konsumsi, tetapi lebih kepada bagaimana kita bisa mengendalikan hasrat konsumtif dan berbelanja dengan bijak. Saya pribadi mencoba untuk lebih selektif dalam membeli sesuatu---apakah barang tersebut benar-benar saya butuhkan atau hanya keinginan sesaat? Apakah saya membeli karena kebutuhan atau sekadar untuk memenuhi dorongan emosional?

Kita perlu belajar untuk menghargai apa yang kita miliki dan tidak selalu mencari kepuasan melalui hal-hal material. Penting juga untuk menyadari bahwa konsumsi tidak akan pernah sepenuhnya memuaskan hasrat kita, karena seperti yang disampaikan oleh Lacan, hasrat manusia bersifat tak terpenuhi. Oleh karena itu, memahami dan mengelola keinginan konsumtif adalah kunci agar kita tidak terjebak dalam doom spending dan bisa menjalani kehidupan yang lebih seimbang, baik dari sisi finansial maupun mental.

Pada akhirnya, konsumerisme digital memang menjadi bagian tak terhindarkan dari kehidupan modern, tetapi kita sebagai individu harus lebih bijak dalam menavigasi dunia konsumsi ini. Dengan memiliki kesadaran yang lebih tinggi terhadap perilaku konsumsi kita, kita dapat terhindar dari bahaya konsumtif yang berlebihan dan menjaga keseimbangan dalam hidup.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun