Mohon tunggu...
Kundiharto
Kundiharto Mohon Tunggu... Wiraswasta - Psychology Student

Deep interest in the fields of Information Technology, Psychology, Marketing, Management, and Entrepreneurship

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Doom Spending, Bahaya Konsumerisme Digital

1 Oktober 2024   16:51 Diperbarui: 1 Oktober 2024   18:55 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika kita berbicara tentang konsumerisme digital, sering kali kita tidak menyadari bahwa konsumsi yang kita lakukan tidak hanya dipengaruhi oleh kebutuhan praktis, tetapi juga oleh rayuan yang lebih dalam dan simbolis. Dalam hal ini, Jean Baudrillard melalui konsepnya tentang seduction atau rayuan memberikan wawasan yang menarik tentang bagaimana manusia kini terlibat dalam konsumsi. Menurut Baudrillard, dalam dunia modern, rayuan dalam konsumsi tidak lagi berbasis pada kebutuhan nyata, melainkan pada manipulasi tanda---simbol-simbol yang diproduksi dan disebarkan melalui media iklan dan platform digital.

Ketika kita melihat iklan fashion, misalnya, sering kali kita tidak hanya melihat pakaian atau sepatu sebagai barang yang kita butuhkan untuk kenyamanan atau kepraktisan sehari-hari. Alih-alih, benda-benda tersebut diubah menjadi simbol status, gaya hidup, atau kepribadian yang kita ingin tampilkan. Saya pribadi sering terjebak dalam hal ini---membeli barang bukan karena benar-benar butuh, tetapi karena tergoda oleh gambaran kehidupan yang ditampilkan melalui iklan. Iklan sering kali menyisipkan pesan-pesan simbolis yang secara tidak sadar membuat kita ingin membeli sesuatu untuk menjadi "bagian" dari cerita atau citra yang mereka bangun.

Baudrillard juga berpendapat bahwa dalam konsumerisme modern, konsumen bukan lagi subjek yang secara sadar memilih barang-barang yang mereka konsumsi. Sebaliknya, konsumen telah menjadi objek dari benda-benda konsumsi itu sendiri. Misalnya, dalam hal fashion atau peralatan kecantikan, kita sering merasa bahwa barang-barang tersebut "mengendalikan" kita. Ada semacam tekanan sosial yang membuat kita merasa harus memiliki atau memakai sesuatu agar diterima atau dianggap "up to date" dalam lingkungan sosial kita.

Selain itu, munculnya mall virtual atau marketplace online semakin memperkuat fenomena ini. Di dalam ruang virtual tersebut, kita tidak hanya membeli barang, tetapi juga terlibat dalam suatu simulasi konsumsi yang tanpa disadari terus menarik kita masuk lebih dalam. Saya sering merasakan bahwa berbelanja di e-commerce seperti Shopee atau Tokopedia kadang terasa seperti masuk ke dalam "dunia lain" yang penuh dengan tawaran menarik. Bahkan sebelum saya menyadarinya, saya sudah menambahkan berbagai barang ke keranjang belanja---meskipun sebagian besar barang itu mungkin bukan kebutuhan utama.

Marketplace virtual menciptakan ruang simulasi yang sangat halus dan manipulatif. Mereka didesain untuk membuat kita terus terjebak dalam konsumsi, bahkan tanpa kita sadari. Algoritma di balik e-commerce sering kali menawarkan rekomendasi produk berdasarkan apa yang pernah kita lihat atau beli sebelumnya. Hal ini membuat kita merasa bahwa kebutuhan kita terus berkembang dan bertambah---padahal sering kali itu hanya hasil dari manipulasi tanda yang diciptakan oleh sistem e-commerce itu sendiri.

Pada akhirnya, konsumerisme digital dalam konteks seduction ini tidak hanya tentang barang yang kita beli, tetapi tentang pengalaman konsumsi yang diciptakan oleh teknologi. Dunia belanja online telah menciptakan ruang di mana manusia terperangkap dalam proses konsumsi yang terus-menerus. Setiap kali saya membuka aplikasi marketplace, saya merasa seolah-olah masuk ke dalam "mall virtual" yang tak pernah tidur---selalu ada sesuatu yang baru, selalu ada diskon yang membuat saya ingin membeli sesuatu. Dan di sinilah kita terjebak, dalam lingkaran konsumsi tanpa akhir, tanpa sepenuhnya menyadari bahwa kita telah menjadi objek dari tanda-tanda yang dimanipulasi oleh sistem.

Psikologi Konsumerisme: Kecemasan dan Hasrat Tak Terpenuhi

Kita semua pernah merasakan dorongan untuk membeli sesuatu, meskipun mungkin kita tahu barang itu tidak benar-benar kita butuhkan. Dalam dunia yang semakin didorong oleh konsumerisme digital, hal ini semakin terlihat jelas. Psikologi di balik konsumerisme ini sebenarnya sangat dalam, dan salah satu tokoh yang sering dibahas dalam konteks ini adalah Jacques Lacan, seorang psikoanalis Prancis yang terkenal dengan konsepnya tentang lacking.

Menurut Lacan, hasrat manusia sebenarnya tidak pernah benar-benar terpenuhi. Kita selalu merasa ada yang kurang, ada sesuatu yang hilang, dan inilah yang membuat kita terus mencari kepuasan. Saya pribadi pernah merasakan perasaan ini---setiap kali saya membeli sesuatu, ada kepuasan sesaat, tetapi setelah beberapa waktu, saya mulai merasa ingin membeli barang lain lagi. Lacan menyebut ini sebagai keinginan akan sesuatu yang hilang. Kita menganggap bahwa dengan membeli barang tertentu, kita bisa merasa lebih lengkap atau lebih puas, padahal kenyataannya hasrat tersebut terus berulang dan tidak pernah benar-benar berhenti.

Dalam konteks konsumerisme, kita sering kali melihat produk-produk yang dijual sebagai solusi dari perasaan kurang atau kecemasan kita. Perusahaan menggunakan strategi pemasaran yang membuat kita berpikir bahwa barang-barang tersebut dapat mengisi "kekosongan" dalam hidup kita. Inilah sebabnya kita sering kali tergoda untuk membeli barang-barang yang sebenarnya tidak kita butuhkan. Ketika saya melihat iklan gadget terbaru atau fashion trendi, sering kali saya merasa seolah-olah barang-barang tersebut dapat membuat hidup saya lebih baik---padahal mungkin itu hanya permainan psikologis yang ditanamkan oleh iklan.

Lacan menyatakan bahwa konsumsi menjadi cara kita untuk mencoba memenuhi hasrat yang tidak pernah bisa benar-benar dipenuhi. Setiap kali kita membeli sesuatu, kita merasakan kepuasan sesaat, tetapi tak lama kemudian perasaan "kurang" itu muncul kembali. Dalam konsumerisme digital, kondisi ini semakin dipicu oleh algoritma dan iklan yang terus-menerus menawarkan produk baru yang lebih menarik. Kita dibuat merasa bahwa ada hal-hal yang selalu kurang dari hidup kita, dan konsumsi menjadi solusi sementara untuk mencoba mengatasi perasaan itu.

Salah satu fenomena yang semakin marak adalah doom spending---ketika seseorang melakukan pembelian impulsif sebagai bentuk pelarian dari kecemasan atau tekanan hidup. Ini sering kali terjadi pada Generasi Z dan milenial yang hidup di era penuh ketidakpastian ekonomi dan sosial. Saya pernah berbicara dengan beberapa teman yang mengaku bahwa mereka sering kali berbelanja online saat merasa stres atau khawatir tentang masa depan. Mereka tahu bahwa pembelian itu tidak akan menyelesaikan masalah dasar yang mereka hadapi, tetapi untuk sesaat, konsumsi memberikan rasa kontrol atau pelarian dari kecemasan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun